BAB 17

46.4K 4.6K 141
                                    

Angin yang bertiup pelan dan sinar mentari pagi menemaninya di balkon beralaskan lantai kayu. Ia bersender di pagar pembatas, satu tangannya memegang ponsel yang menyanyikan suara Hani dengan nyaring. "Gimana? Gimana? Mereka udah putus tapi dua minggu kemarin dia nemenin Sylvia?" tanyanya dengan nada skeptik.

Nila menyelipkan anak rambutnya ke telinga, mencegah angin meniupnya dan menempel di bibirnya. "Well, itu katanya. Ada ketakutan Sylvia akan bunuh diri dengan kondisi jiwanya yang seperti itu."

"Terus, dia akan terus nemenin Sylvia sampai sembuh gitu?" tanya Hani lagi.

"Enggak. Reiga bilang dia yang netapin batas waktu dua minggu. Mereka udah sepakat untuk enggak berhubungan lagi sehari sebelum kick-off party kemarin. Lagipula, Sylvia sudah bertekad untuk menata kehidupannya kembali, mantan suaminya juga sudah bersedia mencabut restraining order kalau Sylvia sudah membaik."

"Terus lo bisa percaya sama semua itu karena?"

Diam sejenak, Nila memikirkan cara terbaik untuk memberitahukan kepada Hani.

"Hey, morning..." sebuah suara menyapa Nila dari belakang dan memberi kecupan di pelipisnya. "Oh, kamu lagi telepon... sorry... aku tunggu di dalam..." Dan, asal suara itu memberinya usapan lembut di punggungnya.

Nila menggigit bibir, lalu menarik nafas panjang. "Han..."

"Kenapa pagi-pagi lo bisa sama Reiga?" tanyanya dan Nila bersiap-siap menjauhkan ponsel dari telinganya. Ia menghitung dalam hati. "Ya Tuhaaaaann! Lo udah enggak perawan, Nil?!?" seru Hani, kencang sekali bahkan tanpa memakai speaker phone.

"Seriously, Hani!?!? Dari semua hal yang bisa lo teriakin lo milih teriakin itu?!?"

Kemudian terdengar suara terbahak-bahak dari sahabatnya itu, "Hahahaha... maaf... maaf... abis gue excited, sih." Kemudian sahabatnya itu melanjutkan dengan nada jahil, "Terus, sakit enggak?"

Nila mendesah dan memutar bola mata-nya, "Geez, Hani... we did absolutely nothing..."

"Halaah, enggak mungkin. Setidaknya ciuman, kan?"

***

-flashback-

Semalam...

"Sampai akhirnya aku jatuh cinta sama kamu..."

Itu pertama kalinya Nila mendengar ungkapan itu dari seorang pria dan saking terkejutnya Nila hanya diam terpaku. Ia mencoba mematrikan apa yang ia rasakan saat itu di hatinya.

Seperti ada ledakan sehingga tubuhnya serasa berputar.

Ada rasa hangat yang menjalar di seluruh tubuhnya yang membuat wajahnya memerah.

Nafasnya tersengal seperti seluruh udara tertarik dari jalur pernapasannya.

Ujung jemarinya seperti teraliri listrik ketika Reiga menyentuhnya dan menjalin jari-jari mereka.

Manik mata mereka bertemu, "Jangan tanya aku kenapa atau kapan atau bagaimana, karena aku enggak tahu semua itu." Reiga mendekatkan wajahnya kepada wajah Nila, menikmati betapa wajah itu bersemu merah. "Aku hanya tahu ada suatu waktu ketika aku bangun di pagi hari, aku langsung ingin melihat kamu. Ada suatu kala ketika aku makan nasi goreng, aku ingin kamu menemaniku makan. Dan, ada suatu saat ketika aku mendengar lagu Creep diputar, aku ingin menyanyikannya bersama kamu. That's why I know I have to cut my tie with Sylvia."

Udara terasa menyesakkan saat itu hingga Nila menarik nafas panjang-panjang. Ia masih tidak mempercayai pendengarannya. "Really?" tanya Nila, hampir tak mampu berkata-kata.

Not A MatchWhere stories live. Discover now