BAB 5

47.2K 5.2K 267
                                    


Nasi goreng belakang kantor adalah salah satu menu makan siang favorit Nila, tetapi saat ini ia tidak bernafsu untuk makan. Pikirannya masih melayang ke Reiga dan Sylvia. Apalagi setelah meeting tempo hari, Reiga beberapa kali menelepon dan mengiriminya pesan untuk mengajaknya bertemu, tetapi ia tidak mengubrisnya. Ia tidak dapat menemui Reiga dengan keadaan hati tidak menentu seperti ini.

Ya, Hani memang memintanya untuk memikirkan keputusannya dengan hati dan sebenarnya Nila sudah memutuskan untuk menjauh dan melupakan Reiga sesaat setelah jari-jari tangan Reiga bertautan dengan Sylvia. It is obvious they love each other. Lagipula enggak ada alasan lain baginya untuk berhubungan dengan Reiga di luar urusan pekerjaan.

"Angkatlah, Nil. Enggak baik menghindar terus..." ujar Hani yang hari itu sedang makan siang dengannya di kedai nasi goreng di gang belakang kantornya. Ia memberi lirikan ke ponsel Nila yang menunjukkan nama "Reiga".

"Biarin aja, gue lagi enggak mood ngomong sama dia," ucapnya kesal sambil menggigit kerupuk, menimbulkan suara gigitan yang renyah.

"Gue benci ngomong ini, tapi... I told you so..." ucap Hani. "Bener, kan lo nyerah sama Reiga setelah lihat betapa sempurna ceweknya..." satu alis Hani terangkat.

Sendok di tangan Nila terjatuh dan ia menggigiti bibirnya. "It's not about that..." ucapnya setelah diam sejenak. "Gue enggak tahu aja harus ngomong apa lagi sama dia. Kerjaan kan udah beres..."

Hani menyunggingkan senyum dan mendekatkan wajahnya kepada Nila, ia berdesis, "A...li...bi..." Senyum Hani tambah lebar, "Lo beneran enggak bisa bohong, deh kalau soal beginian. Poker face lo cuma kepake pas nego kontrak!"

"Lo beneran mau gue bunuh, ya Han?" desisnya sambil menusuk-nusukkan sendoknya ke nasi gorengnya dengan bibir mencibir. Terkadang punya sahabat yang tahu segalanya itu sangat menyebalkan, terutama kalau dia enggak bisa dibohongin.

"See... I told you so," Hani mengangkat bahu dan tersenyum.

***

Omongan Hani beberapa hari yang lalu memang menohok Nila. Ia akui ia memang menaruh harapan dengan Reiga setelah makan malam mereka di nasi goreng Kebun Sirih. Obrolan mereka ternyata bisa nyambung dan ia merasa nyaman dengannya. Tetapi, ia langsung merasa rendah diri begitu bertemu dengan Sylvia.

Nila menyandarkan kepalanya ke kursi, telinganya disumpalnya dengan teriakan Kurt Cobain. Ia benar-benar harus memperbaiki moodnya beberapa hari ini karena Pak Yustis dan Rudi serta teman-teman satu divisinya sudah memberinya pandangan curiga. Apalagi Hani yang terus-terusan menyindirnya. Pekerjaannya yang segunung memang membantunya mengalihkan pikiran, tapi tidak membantu mengenyahkan perasaannya. Tidak ada yang lebih ampuh dari musik epik Nirvana untuk mengusir kegalauan. Andai para ABG sekarang mengenal Nirvana, mereka enggak akan sibuk curhat di sosial media.

Saat itulah tiba-tiba ada panggilan masuk di teleponnya. Karena ia kira dari Reiga, ia mengacuhkannya. Tapi, telepon itu terus berdering dan ketika ia mengecek layarnya dan melihat "Rumah Eyang" di layarnya, ia cepat-cepat mengangkatnya. "Halo, Eyang?"

"Kamu lama banget ngangkatnya. Sedang kerja?" tanya Eyang dengan suara aristokrat-nya yang biasa.

"Iya, Eyang. Tapi, bisa ngomong kok kalau sama Eyang, sih. Ada apa?" tanyanya sambil memperbaiki sikap duduknya.

Diam sebentar kemudian Eyang melanjutkan, "Opa Pratama... Itu... Opa-nya Reiga, pingin lapis legit langganan Eyang..." ucap Eyang, seperti agak bingung.

"Eng, terus? Hubungannya apa sama Nila?" tanyanya santai, lebih ke pura-pura bego, sih sebenarnya. Ia sudah bisa menebak ke arah mana pembicaraan ini akan berakhir.

Not A MatchWhere stories live. Discover now