BAB 14

42.2K 4.6K 185
                                    

Nila memarkir mobil-nya di depan sebuah rumah yang cukup besar dengan pagar rendah berwarna cokelat tua. Bagian depan rumah itu disinari lampu jalan sehingga ia bisa melihat dengan jelas bahwa nomor rumah itu sama dengan nomor rumah orang tua Reiga yang dikirimkan Mama-nya kemarin. Diambilnya bungkusan yang sudah disiapkannya untuk orang tua Reiga, dia sudah sengaja ijin pulang cepat agar bisa membelinya sebelum ke sini, jadi dia berharap orang tua Reiga akan menyukainya.

Sebenarnya ia enggan pergi ke rumah ini karena ia benar-benar tidak punya bayangan apa yang akan dihadapinya. Ketika kemarin ia membahasnya dengan Hani dan Rudi, mereka malah tertawa terbahak-bahak ketika Nila bilang ia takut disuruh mengupas buah, apapun itu. Tetapi, Hani berkata, "Baguslah lo malah mengkhawatirkan itu daripada mikirin kemungkinan nyokapnya Reiga tiba-tiba nyodorin lo tanggal tunangan sama Reiga!"

Dan, tawa mereka kembali pecah.

Karena itulah sekarang jantungnya berdebar-debar. Mestinya ia menolak saja ketika kemarin Mama-nya memintanya untuk pergi.

"No! Lo udah memutuskan untuk memperjuangkan Reiga. Jadi, hal-hal seperti ini enggak boleh buat lo gentar, Nila! Lo pasti bisa! Ooossh!!" seru Nila, menyemangati dirinya sendiri sebelum ia turun dari mobil.

Nila berdiri di depan pagar merapihkan dress kerja dan blazer-nya sebelum membunyikan bel. Setelah beberapa saat, wajah sumringah Mama-nya Reiga muncul di penglihatannya.

"Malam, tante..." ucapnya ketika Mama-nya Reiga membukakan pagar. Ketika Nila mengulurkan tangan untuk salim, Mama-nya Reiga malah memeluknya.

"Tante senang kamu mau ke sini, Nila," ucap Mama-nya Reiga sambil mengelus-ngelus punggung Nila.

"Makasih sudah mengundang saya, tante," ucap Nila.

Mereka kemudian menyusuri jalan setapak yang terbuat dari batu dan memasuki rumah. Di ruang keluarga sudah ada Papa dan Opa-nya Reiga yang menyambutnya. Papa-nya Reiga masih terlihat tampan meski dengan rambut kelabu yang disisir klimis dan kerutan di wajahnya.

"Selamat malam, Om, Opa," ucap Nila.

"Ayo, ayo... silahkan, Nila," ucap Opa. "Wah, kamu bawain Opa martabak, ya?" tanya Opa, menyadari Nila memegang bungkusan di tangannya dan Nila mengangguk.

"Kamu tahu saja makanan kesukaan saya! Hahaha!" Papa-nya Reiga tertawa dan hendak mengambil bungkusan itu sebelum Mama-nya Reiga mengambilnya.

"Entar saja. Habis makan malam. Dan, enggak boleh banyak-banyak!" ucap Mama-nya Reiga galak.

"Nila bantuin siapin makanan ya, Tante."

"Hush! Kamu itu tamu... masak tamu bantu-bantu. Tante sudah ada yang bantu, kok," ucap Mama-nya Reiga sembari mengusap tangan Nila.

"Tapi, tante..."

"Sudah, Nila..." Opa merangkul Nila dan membawanya duduk di sebelahnya. "Ayo temenin Opa nonton ini... seru sekali ini pertandingan final Liga Champion 1999."

Mata Nila melebar ketika mendenganya, "MU lawan Munchen, Opa?"

"Loh? Nila tahu bola juga, kah?" tanya Papa-nya Reiga, tampak terkesan.

Kepala Nila mengangguk cepat, matanya mulai tertarik kepada layar televisi

"Saya MU Fan, Om!" Nila berseru dengan semangat.

Mereka kemudian bahkan menyanyikan lagu anthem MU dengan bersaut-sautan. Mama-nya Reiga yang sedang meletakkan martabak di piring tersenyum melihatnya.

"Mama lagi nempatin apa?" tanya sebuah suara pria sambil melihat martabak di atas piring dengan seksama.

"Oh, ini martabak manis. Nila yang bawa..." jawabnya sambil melirik ke arah Nila yang sedang menonton pertandingan bola.

Not A MatchWhere stories live. Discover now