BAB 6

43.8K 5.5K 260
                                    

"Terus lo bilang apa pas dia lihat lo nangis?" tanya Hani, mengepit ponselnya dengan bahu dan telinga sambil mengambil chicken wings beku di kulkas dan memberikannya kepada Phil untuk digoreng.

Diam sejenak sebelum akhirnya terdengar Nila menjawab, "Gue bilang, eng, gue kegigit cabe rawit..."

"Ha?!? Dan, dia percaya?!?"

"Keliatannya dia percaya-percaya aja. Soalnya dia cuma ketawa dan ngasih gue tissue," ucap Nila ragu-ragu.

"Unbelievable!" seru Hani, kemudian tertawa membuat Phil yang sedang menggoreng chicken wing mengernyitkan alis. "Jadi, lo patah hati nih ceritanya? Pasti sekarang lo lagi makan es krim, kan? Sama kayak waktu lo tahu kalau ternyata Rudi sudah nikah..." Hani mengingat kala Nila bercerita kalau ia bertemu dengan pria baik di kantornya, bernama Rudi, tapi ternyata dia sudah menikah. Kala itu Nila langsung memakan 2 es krim cone dari restoran cepat saji.

"Gue memang lagi makan Ben & Jerry's, sih. Tapi, bukan karena patah hati. Yaaa... karena lagi pingin aja..." suara Nila terdengar terbata-bata di telepon.

"Nila, gue tahu lo mulai ada rasa sama Reiga... jadi, enggak apa-apa untuk mengakui kalau lo patah hati."

"Gue enggak patah hati, Han. Sama dengan kasusnya Rudi, gue hanya kehilangan harapan."

"Ini enggak sama dengan kasus Rudi... Rudi udah nikah, Reiga belum," ucap Hani, terlihat Phil menggeleng-geleng, Hani hanya mengangkat alinya. "Selama belum nikah, he's still considered as available."

"Hhh..." desahan nafas Nila terdengar berat. "Gue udah bilang kalau gue enggak se-desperate itu untuk ngerebut cowok orang dan bersaing lawan Sylvia adalah kompetisi yang enggak akan gue menangkan."

Kali ini Hani yang mendesahkan nafas, ucapan Nila barusan membuat tensinya naik, "Nila, gue tahu lo sudah bosan denger ini, tapi lo beneran enggak bisa punya penyakit rendah diri akut seperti sekarang. Forget about your past! Lo udah beda sekarang, bukan lagi anak kecil yang..."

"Han..." Nila memotong omelan Hani. "Gue agak capek hari ini. I think I have to hang up. Bye..." Nila memutus sambungan teleponnya tanpa menunggu tanggapan dari Hani.

Hani mendengar nada putus sambungan telephone. Ia berdecak kesal dan mencoba menelepon sekali lagi, tetapi sebuah tangan mengambil telepon itu. "Phil, kembalikan. Aku perlu nelepon Nila, dia lagi butuh aku marahin!" ketusnya.

"Dengan topik yang sama?" tanya Phil tenang sambil meletakkan handphone milik Hani di saku belakang celananya. "Kamu sudah tahu dia kayak apa dan kamu sudah marahin dia berulang kali soal ini," ucapnya sambil mengusap-ngusap lengan Hani.

"Tapi, dia enggak bisa seperti ini terus. Menutup diri sama cowok karena enggak percaya diri!" Hani berseru kesal.

"Dan kamu adalah orang yang paling tahu jelas kenapa dia bisa seperti itu," ujar Phil dengan lembut. "Kalian sudah berteman selama 20 tahun lebih dan selama itu pula kamu sudah dampingi dia dan ngomelin dia soal ini. Jadi menurut aku, this time you have to let her go..."

"Tapi..." sanggah Hani.

"Dia sudah dewasa, Han. You have to let her making her own decision. Yang bisa kamu lakukan adalah menjadi sahabatnya ketika keputusan itu salah," Phil mengusap-ngusap pipi Hani dan tersenyum. "Okay?"

Hani menatap suaminya dengan lembut dan melingkarkan tangannya di leher Phil, "Do you know how much I love you?" tanyanya.

Phil menarik istrinya itu ke dalam pelukannya dan menciumi kepalanya, lalu ia berbisik, "Eng, can you prove it in bed? "

Not A MatchWhere stories live. Discover now