Kadang-kadang gue heran kenapa cewek ini masih bekerja di Aegis Advertise, kantor agensi periklanan yang menurut Irham levelnya hanya pertengahan dari agensi periklanan lain. Kintani bisa menjadi bagian dari Leo Burnett Group, bekerja di dalam gedung yang lebih besar dengan view indah menghadap pemandangan kota yang bakal membuat inspirasinya terus mengalir. Dan gaji yang luar biasa. Jadi hanya Kintani sendiri dan Tuhan yang tahu kenapa dia masih betah bekerja di kantor ini, dengan atasan sengeselin Irham.

"Ini, kan, udah waktunya jam darurat kecolongan tidur, Kin. Tapi tadi gue sedang fight sebenernya."Semenjak gue menjalin hubungan dengan Luh selama tujuh tahun, selama itu pula gue menutup pintu hati gue terhadap perempuan lain. Jadi, setelah putus, seharusnya inilah saat yang tepat bagi gue perlahan-lahan membuka kembali hati gue buat perempuan lain. Tapi mau segera dapetin penggantinya Luh gimana kalau interaksi gue dengan perempuan malah sekaku ini.

"Dan gue ngelihat elo yang paling butuh diselamatkan pertama kali dari teror cowok sensitif di ruangan itu—" Dia menunjuk ruangan Irhan. "—meskipun gue tahu lo sahabatnya, tapi ya kita sama-sama tahu kalau di kantor dia semonster apa kalau udah nyangkut urusan kerjaan."Mata besarnya mengedip, dan gue suka sembulan lesung pipinya saat tersenyum.

Waktu sedang kumpul bareng di 365 Eco Bar, Rikas pernah ngasih pertanyaan kepada Irham, kenapa di umurnya sekarang dia kayak nggak memperlihatkan sedikit pun keseriusannya buat berkomitmen dengan satu perempuan. Rikas sama Dewi—yang sekarang masih terjalin kuat meskipun mereka LDR-an. Terus gue sama Luh—iya, ini gue lagi nyeritain masa lalu. Sementara Irham hanya kencan semalam dengan perempuan yang ditemuinya di bar atau Tinder. Kemudian dengan entengnya dia menjawab, "Karena gue percaya kalau kebanyakan cewek nggak bawa mutual gen secara barengan pas lahir. Dia yang beruntung punya packaging oke, biasanya isi kepalanya kopong kayak tahu. Berlaku sebaliknya juga. Jadi sangat mustahil gue bisa dapetin paket komplet kayak Maudy Ayunda."

Dan, yah, kehadiran Kintani ini kayak membumihanguskan keyakinan Irham. Dia punya dua kualitas dalam satu sosok yang akan membuat siapa pun terpesona—mungkin secara nggak langsung gue juga mengakuinya. Secara fisik, Kintani ini tipe model iklan sabun era Luna Maya sama Dian Sastro. Tinggi, langsing, kulit bersih, rambut hitam sebahu yang sering dibiarin tergerai. Secara non fisik, gue terkagum-kagum sama kinerja otaknya selama bekerja setim sama dia.

Misalkan saat gue bermonolog, mencoba mempersentasikan konsep iklan di meja gue, Kintani yang berada di samping meja gue mendengarkan dengan tangan berada di kibor komputer. Begitu persentasi kecil gue selesai, dia berkata, "Bentar, ya, Sam," lalu berjalan ke mesin pencetak kertas. Setelah itu dia kembali dan menyerahkan beberapa lembar hasil visualisasi dari apa yang gue katakan sambil bilang, "Ini udah gue buatin konsep yang lebih ringkas, supaya elo nggak lupa pas presentasi di depan bapak sensi di ruangan itu." Wajahnya menunjuk ruangan Irham. Sementara gue cuma bengong menatap dia dan kertas di tangan gue. Gue sempat mengira kalau dia ini sejenis robot android yang diciptakan masa depan supaya hidup gue di kantor ini nggak suram-suram banget.

"Jadi gue harus ngapain selain bilang terima kasih atas kopi-kopi buatan elo nih Kin?"

"Harus, ya, memangnya?"

"Yah, biar gue nggak dikatain temen nggak tahu diri aja." Gue mengulas senyum, yang membuat Kintani berpikir beberapa saat.

"Gimana kalau makan malam di—"Ucapan Kintani nggak berlanjut saat getar ponsel gue menggerung di atas meja.

Gue menginterupsi obrolan dengan mengangkat tangan ke arah lawan bicara gue. Saat menengok, gue mendapati nama Nana, satu-satunya adik gue, di layar ponsel. Di tengah kesibukan bisnisnya, dia nggak akan nelepon gue kalau nggak ada urusan yang bener-bener darurat. Diliputi kekhawatiran mengenai keadaan Mam dan Dad, gue langsung menerimanya.

Head Over Heels (Kisah Cinta Ironis Sam dan Luh)Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora