Empat puluh tujuh

8.7K 369 14
                                    

"Aku udah nggak kenapa napa, Ilham! Kamu tuh belebihan banget, ya. Aku gak bakalan keguguran hanya dengan jalan sendiri keluar kamar nyamperin kamar inap mama di rawat."


"Dia gak mau bayi kamu kenapa napa, Dri!" Geisa menengah mengingatkan dengan sebuah senyuman lebar. Berdiri di sebrang ranjang Sania yang tengah terbaring. Sedangkan Indri, duduk di kursi dengan memandang lamat lamat wajah mamanya yang sudah keriput dengan Ilham yang berdiri di sampingnya.

"Dia berlebihan Ges." kekeh Indri.

Geisa dan Indri memang sudah berbaikan, Geisa datang langsung memeluk tubuh sahabatnya yang tengah tertidur berbaring di ranjang. Mengucapkan 'maaf' berulang kali hingga telinga Indri terasa panas.

Selepas kepergian Gilang di rumahnya Geisa memang langsung bersiap siap setelah di rasakan pengaruh alkohol itu pergi.

"Lo memang baik Ham!" Geisa menatap Ilham dengan sebuah senyuman tipis yang singkat, "Gue bahagia liat Indri bahagia sama lo!"

"Sutt!" Indri mengedip mata saat pandangan Geisa turun terarah ke arahnya.

"Apaan sih lo, lebay tahu. Gue sama Ilham gak ada apa apa kok."

"Sekarang engga, tapi sebentar lagi beda?!" potong Ilham.

"Ham!" potong Indri.

"Aku bener bener sayang sama kamu Dri!" Ilham tidak menggubris Indri yang terus berusaha memotong ucapannya dengan tangan yang terus menepis sentuhannya.

"Gue tahu lo suka, bukan, sama Ilham?!" Indri mengangkat wajah menatap Geisa yang seketika kikuk. "Gue gak mau liat lo sedih."

"Tapi gue gak mungkin maksain hati seseorang Dri! Lo tahu bukan, lo tahu gue pernah gagal itu pun kita sama sama sayang. Apalagi mencintai dengan sepihak."

"Gue yakin, Ilham pasti sukanya sama lo. Gue yakin Ilham hanya mau buat gue tegar, bukan cinta."

"Enggak!" Sahut Geisa dan Ilham hampir bersamaan, keduanya bertatapan sesaat setelah Geisa lebih dulu melepas pandangannya.

"Cukup, ya Dri! Lo jangan munafik. Lo jangan pura pura buta buat lihat ketulusan perasaan seseorang sama lo."

"Dri, harus gimana sih supaya kamu bisa percaya?"

"Kamu sadar gak Ham?" Indri beranjak berdiri, menatap tajam tepat pada bola mata Ilham. "Kamu lihat keadaan aku, aku hamil anak Leon dan proses perceraian aku pun masih belum jelas."

"Aku gak peduli, aku ingin aku yang di panggil ayah sama anak kamu nanti. Aku mau aku yang jadi orang pertama yang dia anggap ayahnya, aku mau jadi orang pertama yang dia lihat di dunia ini. Aku mau, aku yang dia cari jika aku gak ada. Bukan, bukan Leon, bukan laki laki lain."

Clek...

Baru saja mulut Indri terbuka akan menyahut, suara orang yang membuka pintu membuatnya terhenti dan menoleh. Bersamaan Ilham dan Geisa.

"Hay, Fais!" Geisa mengangkat sebelah tangan, melambai dengan sebuah senyuman saat wajah Fais menyembul.

"Hey!" Fais membalas senyuman Geisa."

"Fais, ada apa?" Indri mengercit kening, "Tunggu, sejak kapan lo kenal Fais?" Indri memicingkan mata menatap Geisa yang hanya kikuk menggaruk kepala dengan sebuah cengiran.

"Bu, ini semuanya sudah beres tinggal satu tanda tangan Ibu dan semuanya kembali menjadi milik kekuasaan Ibu." Fais tidak mempedulikan pertanyaa  bos-nya, dia memberikan beberapa dokumen yang harus segera dapat tanda tangan Indri.

"Dia yang kemarin kesini Dri." Geisa menjawab saat Indri selesai menanda tangani.

"Jadi, kamu yang donorin darah ke mama saya?"

Kepala Fais menganguk perlahan, ke marin setelah pendonoran darah Fais memang langsung pulang dan menunda tujuannya untuk tanda tangan karna mendengar kondisi Indri yang sedang tidak baik.

Geisa hanya bercerita sedikit tentang Sania yang sudah dapat donor darah tanpa memberi tahu nama si pendonor.

"Makasih ya, kalo kemarin gak ada kamu saya gak tahu mama saya gimana."

"Tidak apa apa kok Bu, itu pun saya kesini tidak sengaja."

"Ges, boleh saya bicara sebentar?" ragu ragu Fais mengatakannya.

"Boleh."

"Sejak kapan nih?" Ilham membuka suara saat melihat wajah Fais dan Geisa tersenyum canggung.

"Ges, dia bagian staf penting di kantor gue, ya jangan sampai dia lecet?!" canda Indri yang langsung dapat lototan Geisa sambil beranjak pergi.

"Lo kira gue apa."

"Selamat, ya!" Ilham menatap wajah Indri lamat lamat setelah kepergian Fais dan Geisa.

"Buat?"

"Akhirnya perusahaan itu kembali ke tangan kamu, dan perumahan yang kamu bangun tinggal 20 persen ke tahap penyelesaian."

"Iah!" Indri beranjak menuju sopa. "Aku gak nyangka, aku gak pernah bisa bayangkan kalo akhirnya hidup aku harus seperti ini."

Ilham mengekor, dia duduk di sopa terpisah di samping Indri.

"Hidup itu seperti teka teki Dri. Kita hanya tinggal mencari jawaban untuk mengisi setiap lembarnya hingga selesai."

"Aku akan menyuruh pengacara ternama yang aku kenal buat mengurus perceraian kamu." Ilham menggenggam tangan Indri hangat. "Aku mohon, terima aku di hidup kamu lebih dari sekedar teman!"

             ____________

"Lihat itu!" Geisa melempar sebuah amplot putih yang berisi hasil tes DNA di atas Leon yang tengah menyandar ke tumpukan bantal.

"Apa ini?"

"Itu adalah bukti, kalo anak yang gue kandung adalah anak lo, Leon Wijaya! Anak yang harus mati gara gara ulah biadap lo."

Tangan Leon yang tengah membuka lipatan demi lipatan kertas terhenti, wajahnya terangkat menatap wajah Gebi yang sembab tapi penuh keamarahan.

Dengan cepat Leon buru buru membuka kertas itu lalu membacanya teliti.

"Gue tahu, gue ingat kejadian yang ada di cctv itu! Gue ingat, sebelumnya gue pernah memesan minuman di cafe dan sejak itu gue merasa minuman yang gue pesan ganjil. Gue merasa tertarik gairah dan di sebrang jalan kebetulan ada Gilang yang sedang mabok.

"Gue yakin lo nyuruh seseorang buat melakukan semua drama ini! Gue gak akan percaya begitu saja apa yang keluar dari mulut lo Leon."

Leon mengangkat wajah, tubuhnya tegang. "Ya, gue memang di balik semua itu. Kenapa? Mau tungtut gue?" Leon melipat kembali kertas itu lalu dia masukan ke dalam amplop.

"Biadap!"

Plak

Tangan Gebi mendarat di wajah Leon, membuat Leon meringis dengan rahang mengeras menatap Gebi dengan marah.

"Gue nyesel, gue nyesel kenapa gue harus kenal orang kaya lo!"

Gebi beranjak pergi. Meninggalkan Leon dengan segala amarah yang tertumpuk. Melangkah lebar lebar dengan air mata yang menetes.

Meninggalkan rumah sakit lalu melambai pada taxi yang lewat bergegas menuju rumah sakit jiwa yang berada di kawasan jakarta.

            ___________
  





"

wanita lain ( End )Where stories live. Discover now