Dua puluh delapan

8.3K 495 52
                                    

"Aku hamil!" sebuah tespek bergaris dua merah terulur di hadapan Leon. Membuat tubuh kekar Leon terasa lemas tak tersisa tenaga.

Leon berpaling menatap wajah Gebi yang menyembul di balik punggung tegapnya. Menatap bergantian antara tespek dengan wajah Gebi yang terhias sebuah lengkungan tipis.

"K-kamu hamil?" ulang Leon perlahan telapak tangan yang sejak tadi tersembunyi di balik saku celana terulur bergetar menerima tespek.

"Aku hamil dua bulan!" Gebi berjalan memutari meja kaca yang di penuhi peralatan kerja Leon lalu duduk di kursi  yang bisa berputar itu dengan posisi nyaman, senyaman mungkin.

"Kenapa?" Gebi kembali bersuara saat Leon merapatkan mulutnya hanya melihat gerakannya lalu mengekorinya membuat Gebi kembali bersuara.

"Bukannya ini yang kamu mau dari Indri? Kemauan yang tidak pernah bisa dia beri buat kamu?" Gebi tersenyum masam di akhir kalimatnya.

"Aku sudah serahin semua hal buat kamu!" Gebi beranjak dari duduknya lalu memutari kembali meja dan berdiri tepat di samping Leon. Sebelah tangnnya terulur bergerai memainkan kerah kemeja Leon, "Dan seluruh tubuh aku tanpa kamu minta pun."

Leon hanya menggosok gosok wajahnya dengan telapak tangan. Kekesalan dan kemarahannya bercampur aduk membuat ketampanannya tertutupi.

                     •••••••••

"Gilang!" Sania, wanita yang memeluk Indri erat kini melonggarkan pelukannya dengan kepala terangkat.

"Gilang! Kaka nggak nyangka kalo bocah yang memeras kaka itu kamu." Indri tersipu, "Tapi kalo pun kaka tahu kaka justru akan dengan senang hati ngasih kamu uang. Kamu nggak kangen?"

Hah! "Untuk apa? Lagi pula kalo aku tahu itu kamu nggak akan mau aku memeras kamu." Gilang menadah wajahnya keatas. Mencoba melawan rembesan panas yang sudah banyak membasahi lengkup wajahnya hingga mengenai baju biru polosnya.

"Kemari sayang! Mama sudah tau semuanya. Kaka kamu sudah jelasin semuanya sama mama." Sania perlahan melangkahkan kakinya menghampiri Gilang yang bergeming.

Sebelah tangan Sania terulur menyentuh bahu Gilang. Membuat Gilang pelan pelan melepaskan tangan wanita yang dia panggil mama dari bahunya dan tersenyum masam bersamaan gelengan pelan.

"Aku sudah nggak perlu penjelasan apapun dari dia Ma. Dan sekarang suruh dia pergi dari rumah kita!" sebelah tangan Gilang terkepal lurus di bawah menahan amarah, membuat urat urat nadi di tangannya mengencang.

Gilang mengusap air matanya dengan kasar lalu menoleh. Membalikan tubuh sambil berseru, "Kamu tidak akan kuat lama lama di tempat seperti ini. Kamu tidak terbiasa seperti kami yang tinggal dan berhuni di rumah tanpa alas lantai mengkilat putih seperti rumahmu dan rumah suamimu!"

Indri menggeleng pelan dengan selaput putih yang mulai menghalangi pandangannya.

"Kamu sudah bahagiakan bukan. Memiliki seorang suami kantoran dan besar dengan harta yang berlimpah jadi ... untuk apa kamu mencari kami?" Gilang melangkahkan kaki mendekat dengan Sania yang mengikutinya pelan di belakang. Air mata wanita itu tidak berhenti berjatuhan di kelopak matanya.

"Bukankah kamu sudah cukup bahagia. Bahkan bahagia walau suami kamu punya simpanan lain tidak ada bedanya tidak kalah samanya dengan bajingan  itu?" nada suara Gilang meninggi telunjuk tangannya terangkat menunjuk entah kearah mana tidak pasti.

Raut wajah merah dengan kesedihan bercampur aduk bersama kemarahan urat urat tubuhnya menonjol semakin transparan terlihat bersamaan tatapan kosong Gilang.

wanita lain ( End )Where stories live. Discover now