Empat puluh lima

8.4K 369 10
                                    

'Dreett'

Indri menatap layar ponsel yang berkedip, Hana baru saja masuk untuk melihat kondisi Leon dan Ilham tengah mengobrol sesuatu dengan beberapa polisi di kursi tunggu tepat di depan ruangan.

Ilham terlihat melirik Indri yang beranjak menjauh sambil menempelkan ponsel di kuping kanannya.

Dia membiarkannya, saat ini yang harus di pokuskan adalah kasus Leon, dan Ilham tetap akan menyeret laki laki itu ke jeruji besi walau dengan kondisi seperti apapun.

"Hallo!"

"Bu Indri, saya tunggu kedatangannya segera!" suara di sebrang telepon melengking membuat jantung Indri yang tengah berpacu normal sontak menegang.

Tidak biasanya dokter memperintah tegas. Ada apa? Indri mengangguk kepala. "Tiga puluh menit saya akan segera sampai dok!"

Indri menarik tas yang memang tadi dibiarkan di kursi samping Ilham. Dia beranjak pergi tanpa mengingat Ilham yang membawanya ke rumah sakit di mana Leon di rawat.

Indri! Mau kemana? Ilham menyadari kepergiannya yang tanpa pamit langsung mengakhiri topik diskusi lalu beranjak berlari mengejar Indri.

"Dri, kamu mau kemana?" Ilham sudah berada di belakang Indri, mengejarnya dengan napas yang tersenggal.

"Aku harus balik Jakarta sekarang juga Ham! Ada urusan mendadak."

"Tapi kamu gak ingat ke sini sama siapa? Kamu asal pergi untung aku lihat tadi."

Indri menepuk jidat pelan, "Maaf aku lupa."

Tiga puluh menit lebih dua puluh detik, mobil yang di kemudi Ilham meluncur menerobos jalanan yang sedikit agak lenggang memasuki parkiran rumah sakit yang Indri sebut saat di perjalanan.

"Kondisi Ibu anda memburuk!" Dokter Nazwa membenarkan letak kaca matanya.

Indri terpaku, di sebrang bangku yang terpisah hanya dengan meja kaca hitam dengan beberapa dokumen kerjaan.

"Apa itu akan berpengaruh besar pada paru parunya Dok?"

"Setelah melalui seken pemeriksaan. Ini hasilnya Bu." Dokter Nazwa menyerahkan selembar kertas tebal berwarna hitam dari dalam amplop coklat.

"Ini apa Dok?" Indri menunjuk sesuatu yang melintas seperti melilit tulang kerongkong paru paru.



Dokter Nazwa mengangguk pelan, garis air mukanya berubah. "Ini yang saya bilang... cairan itu melilit dan menyebar di paru parunya-!"

"Lalukan apapun yang bisa menyelamatkan Ibu saya dok!" Indri memotong. Cairan panas yang sejak tadi di tahannya kini lolos jatuh meleleh di ekor matanya.

"Saya akan segera melakukan oprasi. Silahkan segera urus biaya admistrasinya dulu Bu, saya sudah mengarahkan beberapa suster untuk mempersiapkan oprasinya sekarang juga."

               ___________

"Gilang?!" Geisa yang baru saja sadar dan bangun, beranjak dari ranjang menuju dapur kaget tidak percaya ada Gilang di sopa tengah. Tengah menonton acara televisi dengan beberapa minuman kaleng di atas meja kaca.

Gilang menghentikan tegukan minumnya, menoleh mendapatkan Geisa berdiri dengan tangan yang menyentuh pelipis wajah. Sepertinya rasa pusingnya belum beranjak sembuh sepenuhnya.

"Hai tante.." Gilang mengangkat sebelah tangan, nyengir. Tubuhnya masih telanjang memperlihatkan bekas memar di beberapa titik tertentu hanya celana jans selutut dengan ikat pinggang yang terlihat masih menempel di tubuhnya dan kalung kain yang entah. Tidak ada yang tahu itu kalung apa karna bentuknya yang aneh.

wanita lain ( End )Where stories live. Discover now