18. Doa Yang Terbang Bersama Lampion

1K 180 3
                                    

Chris menghabiskan satu hari penuh dengan tergolek lemah di kamar setelah kejadian kesurupan. Seluruh sendi dan ototnya seolah mengalami penurunan fungsi. Padahal, sebenarnya itu hanya akumulasi dari kesehatan Chris yang kebetulan menurun karena kelelahan.

Maura dengan setia mendampingi Chris. Ada di dekat Chris nyaris 24 jam. Membuat Darma dan yang lainnya terheran-heran betapa Maura begitu menyayangi Chris. Rela menjaga Chris sepanjang waktu.

Chris juga diam-diam terharu dengan kesungguhan Maura dalam melayani dan menjaganya. Chris merasa goyah. Mulai ada gelihat lain di hatinya selain misi yang harus ia tuntaskan.

Kehangatan Maura seolah membelokkan arah dunia Chris.

Keesokan harinya, ketika Chris merasa tubuhnya lebih baik, Maura mengajaknya pergi jalan-jalan. Mereka pergi ke Kawah Sileri, pergi melempar batu dan mengucap keinginan di Sumur Jalatunda, menonton film dokumenter Dieng di Dieng Theater, juga pergi ke Telaga Warna dan Telaga Pengilon untuk hunting foto.

Semua itu Maura lakukan agar Chris kembali cerah seperti sedia kala. Chris dan keindahan alam biasanya akan bersatu, membentuk semesta yang sempurna.

Benar saja, Chris mulai bisa tertawa-tawa dan bergerak aktif. Pemuda itu bahkan pergi ke Batu Ratapan Angin, mengambil banyak foto di sana. Juga memakan banyak kentang spiral dan jamur crispy khas Dieng.

Paling membuat Maura bahagia, Chris akhirnya kembali mendapatkan selera humor dan selera makannya. Chris menyukai manisan buah carica khas Dieng. Chris juga menghabiskan bermangkuk-mangkuk mi ongklok.

Semua itu rasanya sudah cukup bagi Maura. Dia lebih memilih Chris yang bertingkah seperti anak kecil dan gila daripada harus melihat pemuda itu tergeletak tidak berdaya seperti kemarin.

Mereka sampai melewatkan hari pertama rangkaian acara Dieng Culture Festival. Maura dan Chris gagal menikmati sajian jazz berkelas nasional di antara sensasi dinginnya pegunungan.

Tapi Chris berhasil mengejar sunrise di Bukit Sikunir. Pemuda itu bahagia bukan main saat berhasil membidik matahari yang merekah saat fajar.

"Aku suka di Dieng," kata Chris saat malam ketiga tiba. Dia dan Maura ada di tengah acara pertunjukan musik akustik sambil menunggu pesta kembang api dan festival lampion dimulai.

"Tapi aku lebih suka sama perhatian yang kamu kasih ke aku seharian kemarin." Chris terkekeh sendiri. Sementara Maura hanya bisa memutar bola matanya sambil menyenggol siku Chris dengan sebal.

"Jangan gombal. Nggak cocok!"

"Seriusan, Maura. Dieng emang nggak terkalahkan, tapi kalau nggak ada kamu, aku nggak akan se-happy sekarang."

Mereka berdua terdiam setelahnya. Lalu bergerak mengambil jatah lampion dari panitia. Bersiap di tempatnya untuk menyalakan dan melepas lampion itu bersama ribuan lampion dari tangan pengunjung yang lainnya.

"Aku tahu ini nggak bener, tapi ... aku suka kalau kamu perhatian sama aku. Aku bahkan ngerasa nggak perlu acting buat jadi suami bohongan kamu, Maura."

Maura menelan ludah diam-diam. Dia juga heran, kenapa dia dan Chris bisa seluwes itu berdrama sebagai pasangan suami istri di depan Bu Aning dan Pak Amim. Mereka terlalu natural untuk dikatakan sebagai pasangan pura-pura.

"Kalau cinta itu kayak penginapan, aku pengen banget buat bisa singgah dan tinggal lama di hati kamu, Maura. Bukan pura-pura. Bukan sebagai tour companion. Bukan sebagai pasangan bohongan."

"Chris, jangan aneh-aneh deh!" Sial, muka Maura memerah sekarang. Udara dingin Dieng, alunan akustik lagu cinta yang mendayu-dayu, juga hawa-hawa hangat dari orang yang berbahagia di sekitarnya, membuat hatinya terbawa perasaan. Bahkan ketika Chris berkata hal yang begitu cheesy di telinga.

FAIR UNFAIRWhere stories live. Discover now