4. Gunanya Sahabat

1.5K 176 28
                                    

"Ra, nurut sama ibu, Nak. Rumah ini dijual aja, kamu tinggal sama ibu dan keluarga baru kita nanti di Batu. Suami ibu punya banyak usaha di sana. Kamu bisa bantu-bantu bahkan mulai bikin usaha sendiri nanti."

Niat hati ingin menanggungnya sendirian. Tapi apa daya, katanya naluri seorang ibu itu kuat. Ya, meskipun Maura sudah lama tidak merasakan kedekatannya dengan Rinan, ibunya.

Rinan dan Ardian bercerai atas dasar ketidak puasan hidup. Katanya, suami Rinan yang baru lebih kaya ke mana-mana dibanding Ardian. Mereka bercerai saat Maura berumur 12 tahun. Di tahun yang sama setelah ibunya resmi pergi dari rumah, saat itulah ada tetangga baru yang datang di kompleks rumah, Praska dan keluarganya.

Sejak saat itulah Maura kehilangan cintanya untuk seorang ibu. Saat itu, dia sudah cukup mengerti secara garis besar. Cinta ibu kepada ayahnya tidak lebih besar dari materi. Padahal, selang beberapa tahun setelah bercerai, Ardian mengalami kebangkitan.

Paling tidak, Maura lancar menuntaskan pendidikannya meski harus terpuruk di dua semester terakhir kuliah. Dia harus belajar mengelola keuangan agar bisa selamat hingga sarjana dengan sisa-sisa tabungan peninggalan ayahnya yang meninggal karena kecelakaan.

"Nggak, Bu. Sampai kapan pun, Maura nggak bakalan jual rumah ini. Ini rumah ayah, di sini Maura ngerasa ayah masih ada buat nemenin Maura. Nggak kayak Ibu yang justru ninggalin Maura sama ayah gitu aja."

Maura membuang wajah ke arah lain. Ke mana saja, yang penting bukan ke arah Rinan yang duduk di sofa di depannya.

Agaknya, Maura juga bingung. Rinan itu sudah lama sekali tidak datang ke Jakarta. Hampir dua tahun mungkin. Tapi, giliran datang sekarang malah pas Maura sedang luntang-lantung kelabakan mencari pekerjaan.

"Terus, kamu mau gimana, Nak? Ibu mintain uang ke Ayah Galih kamu nggak mau. Ibu kasih saran jual rumah juga nggak mau."

"Maura masih bisa usaha yang lain buat nyari uang itu, Bu. Ibu nggak usah sok ngertiin Maura lah. Dengan Ibu ngasih saran ini-itu, jangan harap itu bisa mengubah cara pandang Maura ke Ibu yang matrealistis itu."

Maura berdiri. Dosa sih rasanya bicara sekasar itu kepada orang tua.

Tapi mau bagaimana lagi, Maura butuh mengeluarkan unek-uneknya.

Setelah kemarin dia bertemu Praska di Monas untuk menuntaskan kerinduannya yang lebih sering bertepuk sebelah tangan, hari ini Maura juga ingin memberi tahu ibunya bahwa rasa sakit karena ditinggal pergi itu masih membekas dan tidak akan kelar sampai kapan pun.

Maura mengepalkan tangan. Pelik sekali hidupnya saat ini.

Ibunya pernah berkhianat. Lalu, apakah Praska juga akan mengkhianatinya?

"Maura mau pergi dulu. Assalamu'alaikum!"

Rinan menghela napas. Bahkan, putrinya yang sudah tumbuh dewasa menolak saat ia mencondongkan wajah agar mau mencium pipi sebentar saja.

Hanya berjabat tangan sekilas, itu pun tanpa kontak mata.

Rinan berjalan hingga ke pintu gerbang. Melihat Maura yang berjalan hingga ke depan kompleks dengan langkah lesu. Sebagai ibu, meski ia memang pernah berkhianat kepada suami, tapi rasa kasih kepada buah hatinya sendiri tidak mungkin ikut dikhianati.

***

Hari ini, pencarian masih menunjukkan angka 0 untuk sebuah hasil.

Maura tampaknya harus lebih gigih lagi dalam mencari pekerjaan yang tepat. Pekerjaan yang sesuai dengan skill dan jenjang pendidikannya. Juga yang bisa memberikan penghasilan mumpuni agar bisa melunasi hutang-hutangnya.

FAIR UNFAIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang