8. Pengidap Narkolepsi vs Korban Cemburu Akut

1.3K 202 22
                                    

Malam ini malam terakhir Maura tinggal di rumah. Ada Siva yang membantu packing. Juga membantu menghabiskan persediaan makanan di dapur. Setelah selesai mengemasi barang, dua gadis itu lantas tengkurap di kasur Maura.

Laptop di depan keduanya menyala. Menampilkan sebuah website yang berisi tentang informasi mengenai narkolepsi. "Mol, narkolepsi ini ngeri banget." Siva meringis ngeri sambil menoleh ke arah Maura yang terlihat serius, bahkan ponselnya yang berkedip menampilkan panggilan masuk dari Praska tidak digubris sama sekali.

"Aku takut nih kalau ada apa-apa sama dia selama jalan sama aku gimana ya, Siv?"

Siva menggeleng. Dia sendiri juga tidak yakin dan tidak tahu harus berkata apa. Seumur hidup, belum pernah ia berkenalan langsung dengan pengidap narkolepsi.

"Terus kalau dia kena katapleksi gimana, Mol? Masa iya dia nggak boleh emosi yang berlebihan? Lah kalau ada yang lucu terus Chris pengen ketawa ngakak, atau ada yang sedih terus dia mau nangis, masa iya mau dilarang?"

Maura menghela napas. Sialan memang Laula. Pantas saja bayarannya besar. Ternyata orang yang harus dia temani adalah orang dengan kondisi fisik yang lain daripada yang lain. Sehat, ganteng, kaya, pintar, apa gunanya itu semua kalau sebentar-sebentar ketiduran?

"Tapi, Siv. Di sini ditulis kalau narkolepsi bisa diminimalisir gejalanya dengan mengubah pola hidup. Ngerasa nggak sih kalau hal itu bakalan jadi kerjaan utamaku selama jalan sama dia? Pantesan aja Laula bilang kalau kerjaan ini bakalan lebih mirip sama baby sitting daripada jadi LO."

Siva tertawa tertahan. Iya memang, kalau begitu kasusnya, Maura sama saja bekerja untuk seorang bayi besar. Bukan jadi liaison officer yang keren kayak orang-orang yang mendampingi artis itu.

"Gaji 14 juta per bulan dengan konsekuensi majikan kamu bisa tiba-tiba tidur sih antara ngeri nggak ngeri. Biar oppa-oppa ganteng juga kalau kerjaannya tidur mulu mana enak? Haha." Akhirnya, jebol juga pertahanan Siva untuk menahan tawa.

Maura merengut. Prihatin sekali hidupnya sekarang ini. Kalau bukan karena terlilit hutang, mana mau dia mengambil pekerjaan yang risikonya besar?

Tidak lama kemudian, ponsel Maura berkedip lagi. Nama Praska terpampang di sana. Siva mengamati gerak-gerik Maura lalu sudah bisa menebak kalau pasangan itu pasti sedang mengalami guncangan. Sudah tua tapi sebentar-sebentar marahan. Labil!

"Angkat lah, Mol. Hitung-hitung salam perpisahan."

Ah, iya benar juga. Ini malam terakhir Maura bisa bebas. Besok malam dia sudah tinggal di apartemen Chris di daerah Margonda, memulai serangkaian kegiatan, menjalani hari-hari menjadi baby sitter. Maura merengut tanpa sadar.

Bersamaan dengan berhentinya panggilan dari Praska, pintu rumah Maura diketuk dengan keras. Suara Praska terdengar sampai ke kamar. Siva dan Maura berdiri lalu saling melempar kode. "Temuin gih sana!" perintah Siva.

Maura mengangguk. Dia segera keluar dari kamar, menuju pintu depan, dan membukanya dengan malas. Praska ada di sana. Wajahnya super masam!

"Kenapa teleponku nggak diangkat?"

Belum juga memberi intro ini itu, Praska sudah memburu Maura dengan suaranya yang khas, nada menghujat.

"Buat apa? Mau ngomongin apa?" Maura mendengkus. Bukannya menyuruh Praska masuk, dia malah melangkah ke luar, menutup pintu rumahnya rapat-rapat.

"Kok gitu, sih?" Praska balas mendengkus. Lalu meraih bahu Maura agar gadis itu mau menghadapnya. "Jangan kayak anak kecil pakai ngambek-ngambekkan kayak gini. Kamu masih marah gara-gara aku cuekin kamu di pertemuan kita sama Laula malam itu?"

FAIR UNFAIRWhere stories live. Discover now