3. Tidur Yuk, Sepuluh Menit Aja!

1.7K 199 18
                                    

"Momol!"

Praska mengulurkan sekotak susu untuk Maura yang dengan cueknya sedang tidur terlentang sambil menutupi muka di bawah sebuah pohon di salah satu sudut Monas.

"Bangun ih!" katanya lagi sambil menendang-nendang pelan kaki Maura. Maura mengerang lalu menyingkirkan kedua tangan yang tadinya ia silangkan di depan muka. Sinar matahari menyeruak menembus sela-sela dedaunan dan menyinari dari belakang sesosok laki-laki dengan rambut rapi dan dibalut pomade sedemikian rupa.

Walau backlight, Maura masih bisa melihat bibir laki-laki yang kini berdiri menjulang di dekatnya itu menyunggingkan senyum semanis madu. Sesaat Maura lupa soal masalahnya, yang ada di otaknya saat itu hanya tiba-tiba semuanya menjadi melambat, tanpa ada suara. "Kamu kok jadi kelihatan ganteng gitu ya, Mas, kalo kena sinar matahari? Ah, jadi mirip malaikat."

Maura meneruskan ocehannya yang lama-lama menyerupai sebuah curhatan yang tumpah ruah di buku diary. "Kenapa kamu jadi begitu gagah, ya? Aku baru sadar kalau badan kamu bagus banget. Menjulang. Kayak tower. Sedangkan aku lebih mirip kayak karpet usang. Tergeletak gitu aja. Nunggu apakah bakal ada yang mungut dan nyuci supaya bisa dipakai lagi, atau malah akan dibuang dan diganti yang lain."

Alis Praska menyatu, agak bingung dia melihat Maura menggerutu seperti itu.

"Aku nggak pernah mempersiapkan diri buat ngalamin pengkhianatan kayak gini, Mas. Aku nggak siap. Cowok yang datang ke kantor siang itu bener-bener bikin hidup aku susah. Terus kemarin siang aku lihat kamu sa ... ah nggak lupain aja."

Praska semakin mengernyitkan dahi. Maura terlihat stres sekali kali hari itu. Kalau bukan karena dia diberi tahu Siva bahwa Maura sedang ada di Monas, pasti Praska tidak akan tahu bahwa gadisnya sekarang ini sedang merana sendirian. Sampai mengoceh begitu.

"Praska, andaikan masalahku itu sinar matahari, aku berharap kamu lagi ngelakuin itu buat aku. Berdiri, ngelindungin aku dari sinar matahari itu."

Praska mendengkus dan berkata, "Wake up, please."

Maura menggelengkan kepalanya pelan, tanda menolak uluran tangan Praska yang menyuruhnya bangun. "Aku heran. Tadinya aku rasanya pengen mati aja gara-gara masalah itu. Tapi kenapa, begitu aku lihat kamu, masalah itu seolah-olah jadi bukan apa-apa, ya? Kenapa masalah itu menghilang begitu kamu dateng? Padahal kamu dateng baru sebentar, kamu ngomong aja belum. Ngasih nasihat buat aku aja belum, tapi kenapa ... tapi kenapa ak ...."

Kotak susu di tangan Praska melayang dan mendarat di perut Maura yang langsung bergegas mendudukkan diri sambil menggerutu dan mendorong lengan Praska yang menyusulnya duduk. "Tega banget sih, Mas. Nggak bisa ya kamu pura-pura romantis kayak aku tadi? Aku kan udah usaha. Jadi sia-sia kan usahaku ...."

"Lagian kamu, tapi kenapa tapi kenapa tapi kenapa mulu. Yang tadi tuh bukan romantis tahu! Tapi norak!" Praska mencubit dengan sangat keras pipi Maura sampai gadis itu berteriak kesakitan. Sebenarnya dia tidak bermaksud untuk menyakiti gadis itu, Praska hanya ingin berusaha membangunkan Maura dari ruang gelapnya, ia curiga jiwa Maura sedang dirasuki roh kegelapan yang membuatnya terus menerus putus asa dan mengeluh.

Padahal ia kenal betul siapa Maura, Maura yang ia kenal adalah tembok baja yang nggak kenal roboh, kebal serangan, dan juga tidak tahu malu. "Maura, come on! Maura yang aku kenal bukan Maura yang kayak gini. Maura yang aku kenal adalah Maura yang menerima tantangan buat summit Semeru dalam waktu 10 menit, sekalipun kamu tahu itu adalah tantangan yang mustahil kamu taklukan. Sekarang sadar lah."

"Aku sadar kok hidup aku lagi di ambang kehancuran." Maura menekuk mukanya sampai tidak bisa dikenali lagi sebagai tanda bahwa dia sedang sedih bukan main. Sedetik kemudian ia membuang mukanya ke arah lain karena tidak tahan dengan tatapan kejam dari Praska.

FAIR UNFAIRWhere stories live. Discover now