7. Annyeonghaseyo, Christopher Park!

1.2K 185 21
                                    

"Siv, aku udah ambil keputusan yang tepat, kan?"

Siva terlihat menimbang sambil memindai penampilan Maura siang itu.

Cool! Maura terlihat santai tapi memesona dengan skinny jeans hitam, ankle boots berwarna cokelat tua, dan kaos body fit berwarna putih dilapisi dengan kimono blazer hitam bermotif batik.

"Aku dukung kamu, Mol. Kamu sama Praska emang perlu dijauhin sebentar. Kalian terlalu deket dan nggak pernah pisah makanya bisa jadi mulai bosen. Dengan kerja sama si Park-Park itu, kamu bisa dapat duit banyak. Kamu juga bisa sekalian nulis novel buat kontes itu, Mol!"

Maura menoleh, meringis ngeri ke arah Siva lalu menyusul duduk di kasur gadis itu. "Nggak yakin, Siv. Jadi LO kayak gitu bakalan lebih hectic. Nggak yakin bisa ada waktu buat ngetik novel dan ikutan kontes itu, Siv."

Siva mendengkus lalu memutar bola matanya. "Momol, inget. Kamu tuh lagi butuh banyak pemasukan. It's okay lah hutang kamu ke kantor bakalan lunas dalam waktu dua bulan dengan gaji dari Christopher Park. Tapi, setelahnya kamu juga harus tetep hidup, kan? Kamu masih butuh uang buat survive! Siapa tahu novel kamu menang, kamu jadi punya saving nanti sambil nyari kerjaan tetap yang lain."

Perkataan Siva ada benarnya juga. Maura jadi agak malu karena belakangan ini otaknya jadi rada telat buat diajak berpikir taktis dan praktis.

"Percaya deh, suasana baru bikin inspirasi berdatangan, Mol. Apalagi katanya dia lagi ngerjain tesis. Berarti akan ada waktu di mana dia stay still buat ngerangkum hasil kegiatannya dalam sehari. Di saat itu, kamu juga bisa ikutan nulis novel kamu bab per bab. Cukup delapan ratus kata per hari. Pasti kamu bisa selesai tepat waktu!"

Tawa Maura merebak begitu saja. Siva segera dia peluk erat-erat. Senang rasanya punya sahabat seperti Siva. Biar orangnya agak nyeleneh karena hidupnya berorientasi untuk oppa-oppa Korea saja, tapi Siva masih bisa berpikir realistis. Bahkan di saat seperti ini, Siva bisa memberi solusi dan opini.

"Makasih ya, Siv. Kamu emang sahabat terbaiknya aku!"

"Iya sama-sama. Eh, tapi nanti kalau Christopher Park itu ganteng dan masih single, kamu suruh dia buat macarin aku, ya!"

***

"La, kok aku nerveous, ya." Maura menarik tangan Laula yang berjalan di depannya. Mereka memang sedang menuju tempat pertemuan dengan Christopher di sebuah cafe di Kawasan Kota Tua.

Christopher yang minta. Katanya, mulai mengerjakan lembar awal tesisnya di tempat itu terasa sangat menyenangkan. "Tenang aja, Ra. Chris baik kok orangnya. Santai, ok?"

Maura mengangguk. Lalu melanjutkan perjalanan dengan lebih percaya diri dari sebelumnya.

Begitu pintu cafe terbuka, suasana vintage yang elegan langsung menyapa. Cafe itu memang termasuk cafe kelas atas. Terletak di pusat bangunan sejarah Jakarta, menyajikan makanan internasional, dan ya, semua orang nyaris ingin makan di sana andai saja harga menunya tidak membuat dompet kosong mendadak.

Dua gadis itu berjalan dengan santai menyeberangi ruangan dan beberapa sudut mini bar. Kemudian menaiki tangga menuju lantai dua dan langsung mendekati seorang pemuda yang sedang berkutat dengan laptop di meja dekat jendela besar.

Laula tersenyum. Sementara Maura terpana sejenak.

Itu dia yang namanya Christopher Park. Duduk saja sudah bikin terpesona. Dilihat dari samping saja sudah bisa kelihatan tampannya. Gila!

Christopher Park dan background Museum Fatahillah di luar sana menjadi perpaduan yang sangat sempurna. Maura maju mengikuti langkah Laula. Hingga akhirnya mereka tiba di meja itu, membuat Christopher terusik dan mengangkat wajahnya.

FAIR UNFAIROù les histoires vivent. Découvrez maintenant