"Itulah kenapa di ponsel ada yang namanya aplikasi alarm, Babe. Lo bisa pake itu buat bangunin kalau lo ketiduran."

"Kalaupun dia mau ngapa-ngapain gue, Net," selaku sambil berpikir, "dia bakal ngelakuinnya pas kami masih pacaran. Bukannya gue kepengin, ya, tapi itu kedengaran kayak ... kita punya ketertarikan dan keterikatan satu sama lain. Tapi kenyataannya dia sangat-sangat melindungi kerhormatan gue."

"Nyosorin pipi sama bibir pas kalian lagi nonton film The Best of Me di sofa yang lagi gue dudukin ini masuk kategori melindungi kehormatan, ya?"

Mukaku langsung memerah. Aku nyaris menceritakan setiap detail kisahku kepada sahabatku ini. Termasuk malam saat hubunganku dengan Sam berakhir. Dia datang ke apartemen, membawa sekotak ayam goreng dan soda, memelukku sambil mendengarkan curhatanku sambil tersedu-sedu. Malam selanjutnya setelah aku berada di titik menyesali keputusan emosionalku, dia menyudutkanku, membawaku pada kenyataan bahwa aku sudah menyia-nyiakan seorang laki-laki yang menyayangiku.

"Gue cuma bisa nyaranin supaya elo hati-hati aja. Dan hati-hati gue ini maknanya luas lho, Babe." Annet menatapku penuh arti, dan aku selalu mencoba menebak makna di balik tatapannya itu. Hati-hati Sam melakukan sesuatu yang tidak terpuji kepadaku, atau dia melakukan sesuatu yang perlahan-lahan bisa membuatku berputar kembali ke titik nol dalam usaha melupakannya?

"Eh, Luh." Aku disadarkan oleh suara khas pagi-pagi Sam, yang terdengar ngebas dan agak serak. Sosok tinggi dengan kemeja rapi, celana jins, dan sepatu bot itu berdiri di hadapanku. Aroma cokelat yang menguar dari tubuhnya seakan memberi tahu bahwa dirinya sudah siap untuk memulai hari.

"Sam," ucapku sambil menelan ludah karena tertangkap basah melamun di depan kamarnya. "Aku mau balikin ini, tapi ragu antara langsung balikin atau aku cuci dulu."

"Oh, nggak perlu dicuci, Luh." Dia menerima bantal dan selimut dariku, kemudian kami sama-sama mematung sambil saling berhadapan seperti bocah SMA yang naksir satu sama lain tapi masih malu-malu.

Momen seperti inilah yang kutakutkan ketika akhirnya dia tinggal bersamaku. Sementara faktanya adalah, memang seperti inilah kami biasa melewati hari. Saling terdiam seolah itu sudah cukup menjelaskan perasaan masing-masing. Kikuk dan tidak tahu harus ngapain, yang kemudian diakhiri dengan cengiran satu sama lain sebelum berpisah untuk kegiatan masing-masing. Dia berangkat ke kantornya, sementara aku terduduk di sofa mencari-cari loker yang cocok untukku.

"Makasih, Sam," ucapku. "Oh, ya, lain kali kalau aku ketiduran di sofa, bangunin aja. Daripada ngasih selimut terus kamu tidur kedinginan di kamar."

"Gue ada sleeping bag, kok," balasnya. "Dan gue nggak tega bangunin lo yang tidurnya senyenyak itu."

Dulu aku punya konsep kalau setelah Sam tinggal bersamaku, kami akan berteman. Kami memang tidak berhasil membawa hubungan kami ke arah yang lebih serius bernama pernikahan, tapi bukan berarti kami tidak bisa kembali ke titik dimana aku sama dia kembali menjadi seorang teman. Dan selayaknya pertemanan pada umumnya, kami akan saling membantu. Termasuk kalau aku ketiduran di sofa, dia punya dua pilihan sebagai seorang teman. Pertama, membangunkanku meskipun aku sedang nyenyak. Atau kedua, memberikan selimutnya untuk kupakai meskipun dia tidur di kamarnya tanpa selimut. Bergelut dengan dingin AC atau kepanasan kalau dia memilih mematikannya.

Dan ternyata dia memilih yang kedua.

Sekarang aku benar-benar terlambat menyadari ini. Imbauan Annet mengenai aku yang harus berhati-hati pada Sam, sepertinya lebih merujuk pada permasalahan semacam ini. Perempuan mana yang nggak meleleh kalau lama-lama diberikan perhatian kecil namun membekas seperti ini, meskipun perhatian itu datang dari seseorang yang sangat jelas seharusnya dihindari?

Head Over Heels (Kisah Cinta Ironis Sam dan Luh)Where stories live. Discover now