Chapter 35

9.2K 1.1K 221
                                    

Ten menarik nafas panjang, menghirup oksigen dalam-dalam menggali sisa tenaganya. Dia belum makan selama beberapa hari dan hanya bisa meneguk air ludahnya. Akibat butannya waktu selama berada dalam ruangan bernama 'peti mati' itu, Ten tidak tahu sudah berapa lama ia disekap disana.

Kegelapan menghajar pandangannya. Ia menyeret kakinya, merangkak menggunakan tangannya. Sungguh kedua kakinya tak lagi berfungsi. Ketakutanpun mengabur bersamaan harapannya untuk bertahan hidup. Hanya amarah dan tekad untuk melindungi Yoojung dengan sisa tenaganya.

Suara injakan dedaunan kering di belakangnya membuat dirinya was-was. Ia yakin Taeyong sudah sadar dan pasti akan segera datang menangkapnya dan Yoojung kembali. Yoojung harus selamat dan sebagai gantinya ia rela menjadikan dirinya sebagai tumbal.

Ten bersandar pada sebuah pohon, mengintip jauh dalam kegelapan di belakangnya. Sepoi angin malam nyaris membuatnya bergidik kedingingan ditambah nyeri pada seluruh tubuhnya yang sukses membuat Ten terus mengutuk.

Siluet hitam datang mendekat, sosok tinggi berhodie hitam dengan surai merah yang menyala efek terpaan cahaya rembulan. Si bajingan Taeyong terhenti, memiringkan kepalanya dan tersenyum menemukan Ten di balik pohon.

"Kau buruk dalam bersembunyi, bodoh!"

Ten mendesis. Bahkan ia tak memiliki niatan untuk bersembunyi dari si sinting itu.

"Mana gadisku?"

Pertanyaan itu sontak mengundang kekehan Ten. "Sejak kapan dia menjadi gadismu?" Ia balik bertanya, masih dalam posisi yang sama bersandar pada pohon. Taeyong datang mendekat dan berjongkok menatap Ten. Kepalanya dimiringkan memasang ekspresi simpati. "Kau tahu? Kau terlihat menyedihkan."

Ten mengeraskan rahangnya mendengar ucapan Taeyong.

Sial.

"Sejak pertama kali aku membawa gadis itu kemari, pada malam itu aku sudah tidur dengannya. Dia sudah menjadi milikku." Ucapan Taeyong menarik amarah Ten keluar. Pemuda Thailand itu mengumpat marah dengan tangannya yang bergerak cepat menarik kerah Taeyong. Namun Taeyong dengab cepat menepis tangan Ten dan membalikkan serangan Ten.

Dengan kuat, Taeyong mencekik leher Ten menekannya kuat pada pohon tempat sandaran Ten. Kedua Tangan Ten otomatis berpindah berusaha melepaskan cekikan Taeyong. Wajahnya memerah, pasukan oksigen dalam paru-parunya menipis.

Namun bukan dengan cara mencekik Ten yang ingin Taeyong lakukan untuk mengantarkan kematian pemuda Thailand itu. Tidak menarik. Pisau lipat di saku hoodie nya menantinya.

Dalam pasokan oksigen yang semakin menipis, dan nyawa yang nyaris melayang, Taeyong melepas cekikannya. Ten menghirup oksigen dengan rakus hingga terbatuk. Pemuda bersurai merah itu terkekeh puas dengan permainannya.

Setelah memberi sedikit kebaikan hatinya dengan memberi waktu Ten bernafas lega, Taeyong mendorong bahu Ten menghantam pohon sandarannya dengan keras. Lantas tanpa ba-bi-bu Taeyong menarik pisau lipat di saku hoodie nya dengan tangan lainnya yang bebas. Mengayunkannya secepat kedipan mata, begitu dalam membuat goresan horizontal pada leher Ten.

Sraaat!!

Percikan merah keluar mengotori wajah Taeyong diikuti rembesan cairan merah lainnya yang begitu banyak. Ten memegang lehernya dengan mata terbelalak. Kerongkongannya terasa lebih kering. Tangannya bergetar seiring nyawa yang kian melayang.

"Aak.. aku.. akkhaan.."

Suaranya tersendat. Susah payah ia berucap dengan bibirnya. Aliran darah segar mulai mengotori bajunya sendiri.

Yoojung-ssi, maafkan aku.

Sepersekon detik kemudian, kedua tangann Ten terkulai ke bawah. Taeyong menarik sudut bibirnya membentuk lekukan yang menyiratkan kepuasan dalam dirinya. Kepalanya mendongak menatap langit kelabu di atas sana. Senyumnya menghilang.

APARTMENT 127 [SUDAH TERBIT - PREORDER DIBUKA]Where stories live. Discover now