Chapter 22

9.2K 1.3K 135
                                    

            Ten terbatuk pelan begitu ia terhempas keluar dari dalam koper. Kaki dan tangannya terikat. Yoojung yang mendapati Ten masih hidup menghembuskan nafas lega.

Syukurlah.

Mata Ten terbuka dan langsung bertatapan dengan Taeyong yang kini mengangkat kepalanya dengan menarik rambutnya. "Hai, brengsek!" sapa Taeyong dengan senyumnya.

Ten tak menjawab. Kepalanya masih terasa sakit akibat pukulan balok kayu dari Lucas. Taeyong melepas jambakannya pada Ten membuat kepala pemuda Thailan itu terantuk lantai kayu ruangan. Pemuda bersurai merah itu kembali berdiri, memasukkan kedua tangan ke dalam saku celananya dan menatap Mark. "Mau kita apakan dia?"

Lucas memiringkan kepalanya, melipat tangan ke dada. "Masukkan dia ke peti mati saja dulu. Kita akan membutuhkannya lagi untuk bermain-main." Peti mati yang dimaksud Lucas adalah sebuah ruangan lain berukuran kecil yang sebenarnya adalah ruangan eksekusi mereka untuk para wanita yang mereka culik.

Mark mengangguk, lantas tanpa disuruh menarik kerah Ten dan menyeret pemuda itu masuk ke dalam 'peti mati' yang dimaksud.

Taeyong dan Lucas bersamaan membalikkan tubuh mereka berjalan kembali mendekati Yoojung. Gadis dihadapan mereka menatap mereka berdua tajam. Sungguh mereka tak mendapati rasa takut dalam sorotan mata itu. Padahal Lucas dan Taeyong sama-sama mengharapkannya.

"Bagaimana.. bagaimana kalian bertiga.." Yoojung menggigit bibirnya. Emosinya bergejolak tak menentu.

"Ah, Lucas temanku. Kau tahu pembunuhan di Busan? Dia yang melakukannya." Taeyong mencoba menjawab kebingungan Yoojung. "Dan Mark, dia adikku. Kau tahu, marga kami sama. Lee."

Yoojung menyipit. "Jangan-jangan Nyonya Lily pemilik gedung Taeil yang dimaksud itu.."

Taeyong memotong perkataan Yoojung. "Dia ibu kami, Lee Eun Soo. Dari marganya menjadi Lily."

Yoojung semakin bingung. Bagaimana bisa Mark adalah adiknya. Padahal menurut perkataan Paman Mon si penjaga gedung Taeil, Nyonya Lily hanya memiliki satu anak laki-laki dan satu anak perempuan. Dan si anak perempuan telah meninggal.

Taeyong kembali duduk di atas kursi berhadapan dengan Yoojung sementara Lucas membalikkan badan berjalan menuju lemari es. Mengambil sebotol air dingin dan menyandarkan tubuhnya di kulkas menyimak Taeyong.

"Pasti kau bingung tentang identitas anak perempuan ibu kami? Iya, kan?" tanya Taeyong. Yoojung tak menjawab. "Sebenarnya.. ibu kami tak punya anak perempuan. Gadis itu hanya anak angkat. Adik perempuanku sekaligus kakak perempuan Mark. Kau tahu, dia sangat manis. Sepertimu."

"Kau membunuhnya?"

Taeyong terkekeh mendengar pertanyaan Yoojung. Ia menggeret kursi semakin mendekati Yoojung hingga tangannya bisa menggapai Yoojung. Membelai rambut gadis mungil di hadapannya sembari memasang senyum memuakkan itu. "Tidak. Aku tak akan membunuhnya. Dia manis seperti anak kucing. Bagaimana bisa aku membunuhnya?"

"Lalu kenapa dia bisa meninggal?"

Mark keluar dari 'peti mati' dan langsung bergerak mendekati Yoojung untuk menjawab pertanyaan itu. "Dia bunuh diri."

Yoojung mendesih. "Bohong."

Lucas jengah mendengar nostalgia dua kakak adik dihadapannya. "Hentikan. Aku bosan! Bisakah kita memulai permainannya?"

Semuanya masih terasa samar bagi Yoojung meski akhirnya ia tahu ada 3 psiko gila dibalik semua kejadian yang ia timpa sebelumnya. Dan melihat ketiga psiko tersebut membuat Yoojug tak habis pikir, bagaimana bisa dalam satu kota berkumpul 3 psiko gila yang saling bekerja sama. Benar-benar luar biasa gila.

Mark menarik tiga koper di sudut ruangan dan menjejernya rapi dihadapan Yoojung. Lucas berdiri di belakang Yoojung dan terus membelai rambut panjang Yoojung bak membelai seekor anak anjing. Sedangkan Taeyong tetap di posisinya. Duduk sembari menyilangkan kakinya. "Nah, sekarang kita mulai lagi dari awal. Diantara tiga koper itu, salah satunya adalah hadiahmu. Pilihlah!"

"Apa yang terjadi jika aku salah pilih?"

Mark menjentikkan jarinya. "Tak akan ada yang terjadi. Hanya, pilih saja!"

"Kau bercanda? Mana seru jika begitu!" Lucas menimpali. Lantas menundukkan kepalanya dan berbisik di telinga Yoojung. "Satu luka untuk satu pilihan yang salah!" ujarnya sukses membuat jantung Yoojung berpacu. Luka apa yang dimaksud.

Lantas Taeyong mengeluarkan sebuah pisau lipat di dalam hoodienya. "Tenang saja. Ini tidak akan sakit!"




To be continued.

Pendek yaa? Yaudahlaya~ mian..😉😉

APARTMENT 127 [SUDAH TERBIT - PREORDER DIBUKA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang