Chapter 32

10.2K 1.1K 188
                                    

Lucas mencengkeram tangan Yoojung kuat agar gadis itu terus memegang pisaunya. Mata pisau itu mengarah pada Kangjoon, ayah Yoojung. Yoojung menggeram marah hingga ia rasa ia sudah mencapai titik puncak batas kesabarannya.

"Kau bisa, aku akan membantumu." Bisik Lucas. Yoojung menggeleng dalam pelukan Lucas di belakang tubuhnya. Mati-matian ia melepas jari-jarinya dari pisau dalam genggamannya. Mata sayu Kangjoon menatap lemas putrinya. Barangkali ajalnya memang sudah dekat, ia pasrah. Daripada memikirkan ajalnya, ia lebih mengkhawatirkan putrinya.

"Ayaah..." Lirik Yoojung dengan bibir bergetar.

Sedangkan itu, dengan mata yang bengkak Ten menatap Yoojung dengab perasaan tak menentu. Ia merasa bersalah karena semua ini terjadi karena kelalaian dirinya. Jika saja ia bisa menjaga Yoojung dengan benar, semua ini tak akan terjadi. Mendadak semua hal di masa lalunya menyerangnya bertubi-tubi.

Dahulu, ia masuk ke akademi kepolisian karena rasa bersalah yang ia pendam. Ia masuk ke sana agar ia dapat melindungi banyak orang termasuk orang-orang yang ia cintai.

Ia pernah gagal menjaga mamanya. Kegagalan yang menghasilkan mimpi buruk bagi Ten sepanjang hidupnya. Kala itu, di dalam bis yang ia tumpangi bersama mama yang akan mengantar mereka ke SMP—tempat Ten akan melanjutkan sekolah. Hari pertamanya masuk ke SMP dimana seharusnya menjadi hari bahagianya karena pada hari itu juga adalah hari ulang tahunnya.

Gejolak bahagia itu harus menghilang sekejap berganti kepanikan begitu bis yang mereka tumpangi mendadak berhenti. Lima pria berwajah mengerikan masuk mencondongkan pistol. Mereka adalah gerombolan narapidana yang kabur dan membajak bis. Semua orang mencicit ketakutan sehingga Ten nyaris mengompol. Mama memeluknya erat memberikan ketenangan pada Ten bahwa mama akan melindunginya.

Ten tak mengerti apa-apa. Ia hanya terus ketakutan dan semakin panik begitu seorang narapidana menarik kerahnya hendak menjadikannya sandera. Orang-orang berpakaian tentara mengepung bis. Lima orang narapidana kabur itu berteriak marah menyuruh mereka menyingkir membiarkan bis pergi atau semua orang di dalam bis akan dihabisi.

Melihat Ten menangis, tanpa berpikir panjang mama mengamuk marah. "Jangan sentuh anakku!" Tangannya meraih tubuh Ten kembali dalam pelukannya. Semua terjadi dalam sekejap begitu indera pendengarannya menangkap suara letusan pistol dan pekikan ketakutan semua orang. Mama rubuh bersama Ten dalam pelukannya. Ten pingsan lantaran ia terlalu syok berpikir bahwa peluru itu mengenainya.

Namun begitu ia sadar, yang ia lihat hanyalah pamannya dengan tatapan khawatir. Tersenyum miris merasa lega akhirnya ia siuman. Begitu ia menanyakan dimana mama, hanya tatapan pamannya lah yang memberikan jawabannya. Mama telah pergi karena melindunginya.

Semenjak saat itulah ia bertekad untuk menjadi lebih kuat. Ia tak mau menjadi pihak yang dilindungi, namun menjadi pihak yang melindungi. Itulah mengapa akhirnya ia masuk ke akademi kepolisian dan menerima tawaran Tuan Kangjoon.

Melihat situasi yang sama kembali ia hadapi, dimana ia tak berdaya melindungi seseorang yang harus ia lindungi, Ten merasa marah. Ia benci ketidakmampuan dirinya. Maka, tanoa berpikir panjang, ia berteriak maraj tepat ketika mata pisau nyaris melukai leher Kangjoon. "BUNUH AKU! BUNUH AKU SAJA, BRENGSEK!"

Pergerakan Lucas dan Yoojung terhenti. Mereka berdua menatap Ten secara bersamaan. Kangjoon memberikan tatapan menolak pada Ten. Biarlah dirinya yang menjadi korban kali ini. Ten masih terlalu muda untuk itu. Ia harus hidup lebih lama. Ten harus menjaga putrinya.

Lucas tersenyum miring. "Uwah, kau mengajukan diri, huh?" Terkekeh pendek. Yoojung tak tahu harus merasa lega atau bagaimana. Namun apapun itu, ia tetap saja haris mengalami situasi mengerikan.

"Kumohon, hentikan!" Yoojung menangis. Sungguh ia tak sanggup melihat kematian seseorang lagi. "Bunuh aku saja. Bunuh aku.. huhu.."

Lucas menekuk bibirnya ke bawah mendengar ucapan Yoojung. "Kau tak boleh mati dahulu, cantik. Permainan kita belum selesai."

Lucas menarik nafas panjang. Ia tak suka seseorang yang memohon kematian kepadanya. Ia bukan malaikat pencabut nyawa, pada nyatanya. Ia hanya memudahkan para malaikat pencabut nyawa saja. Ia lebih senang melihat seseorang memohon kehidupan kepadanya. Seseorang yang takut akan kematiannya sendiri, dengan begitu permainan akan menyenangkan.

"Bagaimana? Sayang sekali aku belum tertarik denganmu." Lucas menatap Ten memasang wajah memelas. "Jangan khawatir. Akan tiba waktunya aku akan mengantarmu pada ajalmu."

Jadi, Lucas akhirnya mengarahkan kembali mata pisau dalam genggaman Yoojung pada leher Kangjoon. Yoojung memejamkan matanya yang basah oleh air mata. Ten berteriak marah menyumpah serapahi Lucas. "Bunuh aku, brengsek!! Kau tuli?! Bunuh aku, bajingan!"

Sedangkan Kangjoon hanya terdiam, menatao sendu Yoojung. "Maafkan ayah, Yoo. Ayah tak bisa melindungimu."

Lucas terkekeh. "Drama macam apa ini?" Ucapnya sakartis. Ia mendorong paksa tangan Yoojung, mengendalikannya dengan paksa berayun kasar pada leher Kangjoon. Yoojung memekik begitu dirasa mata pisau itu mulai menekan masuk mengiris kulit dan daging. "Hentikan.. huhuu.. hentikaaan.. kumohon.." ia meronta. Suara ayahnya yang mengorok karena pisau itu terus menggorok lehernya membuat tangisan Yoojung semakin kencang. Ia lemas. Cipratan darah mengenai pakaian dan wajahnya.

"Aaaa..huhuhuu... Hentikaan.. ayahh! Maaf! Huaaaa.."

Lucas terkekeh bak iblis dalam kegelapan yang paling pekat. Hasratnya terus meningkat begitu melihat darah merah yang mengalir menakjubkan membasahi tangannya dan tangan Yoojung. Mata Kangjoon terbelalak seiring nyawanya yang kian mengabur.

Pisau itu terus menggorok perlahan leher Kangjoon. Lucas bersenandung riang dalam hatinya bak melihat pertunjukan musik klasik. Begitu mata pisau telah mencapai ujung, disanalah pada akhirnya Kangjoon tak lagi bernafas. Kepalanya terkulai ke belakang dengan mata yang terbelalak.

Ten mengutuki dunia. Ten mengutuki takdir. Sedangkan Yoojung tak berani membuka matanya sama sekali. Ia sudah membunuh ayahnya dengan kedua tangannya sendiri. Lucas melepas tangannya dari tangan Yoojung. Pisau jatuh berdenting di lantai seketika. Lucas menunduk dan meraihnya kemudian menyimpannya kembali dalam saku jinsnya. Jangan sampai ia meninggalkannya disini sehingga Ten menjadikannya sebagai senjata.

Ketika Yoojung hampir roboh karena syok, Lucas menangkapnya. Mengangkatnya sekali sentakan dalam gendongannya. Ia tersenyum puas menatap Yoojung yang kini terdiam dengan tatapan kosong. Gadisnya pintar. Dan ia akan membuatnya semakin pintar.

Lucas membawa Yoojung masuk ke kamar mandi. Menurunkan gadis itu tepat di bawah shower dan menyalakan shower yang mengenai mereka berdua. Darah yang mengotori wajah Yoojung luruh bersamaan dengan air yang menerpa wajahnya. Mengalir, membaur bersama air masuk ke dalam lubang pembuangan.

Jiwa Yoojung kosong. Ia terlalu syok akan apa yang terjadi. Otaknya tak dapat berpikir apapun. Emosinya tak menentu sehingga ketika Lucas melucuti seluruh pakaiannya, Yoojung hanya terdiam. Bahkan ketika Lucas mulai melumat bibir plumnya, Yoojung tak berkutik.

Tangan kekar Lucas menggerayangi setiap lekuk tubuh Yoojung. Bibirnya menciumi setiap inci keindahannya. Ia senang gadisnya tak memberontak lagi. Kemudian ia melepas pakaiannya sendiri. Telanjang berdua tanpa sehelai kainpun berguyur air di atas kepala mereka.

Seringai Lucas menyiratkan rasa lapar akan mangsanya. Menatap tubuh porselen indah itu membuatnya menelan ludah beberapa kali.

"Kau.." Lucas berkata lirih. Tangannya membelai pipi Yoojung. "Aku akan menjadikanmu milikku."










To be continued.

APARTMENT 127 [SUDAH TERBIT - PREORDER DIBUKA]Where stories live. Discover now