Chapter 6

13.8K 1.7K 268
                                    

[ Melihatmu dari dekat membuat darahku berdesir. ]

◾◽◾

          "Hei, apakah kau baik-baik saja?"

Seseorang menepuk pelan pipi Yoojung. Perlahan ia membuka matanya. Pandangannya sedikit kabur awalnya, namun perlahan ia dapat melihat jelas presensi sosok pemuda dengan tindik di telinganya tengah menatapnya. Memastikan bahwa Yoojung telah benar-benar sadar setelah pingsan tadi, pemuda tersebut bangkit dari duduknya dan mengambil segelas air putih.

Buru-buru Yoojung bangkit dari posisi tidurnya, dan duduk menatap punggung pemuda bersurai hitam tersebut.

"Ke..kenapa aku ada disini?" tanya Yoojung bingung. Ia mengerjap beberapa kali.

Ten membalikkan badannya dan bergerak mendekat membawakan segelas air putih lantas memberikannya kepada Yoojung. "Aku menemukanmu pingsan di apartemen 127. Jadi, aku membawamu kemari."

Ragu, Yoojung meminum air putih tersebut perlahan sembari matanya memeriksa sekitar ruangan. Sepertinya saat ini ia berada di apartemen Ten, tepatnya berada di ruang tamu lantaran sekarang ia tengah berbaring di atas sofa. Ten memperhatikan Yoojung sebentar kemudian berdeham.

"Kau tak apa?"

Sedikit gugup Yoojung meletakkan gelas ke atas meja dan mengangguk kecil. "Ah, aku baik-baik saja. Hanya.." tangan Yoojung meraba bagian belakang kepalanya yang sedikit terasa sakit. "Sepertinya seseorang memukulku dari belakang. Seseo.." seakan tersadar Yoojung menghentikan perkataannya.

Ia teringat bagaimana sebelum ia tersadar berada di apartemen Ten, seseorang memukul bagian belakang kepalanya dengan benda keras. Tentang begaimana ia menemukan sebuah foto polaroid dirinya. Ya, foto yang diambil tepat saat ia berada di dalam kamar apartemen 127. Foto yang membuatnya bergidik ngeri karena menyadari bahwa ia saat itu berada bersama sang penguntit hanya berdua di dalam ruangan.

"Bagaimana kau bisa datang ke apartemen 127 dan menolongku?"

Ten terdiam sebentar. "Kau ingat kan, aku melihatmu di balkon apartemen 127 tadi?" tanya Ten yang dijawab anggukan Yoojung. Kemudian Ten melanjutkan, "lantas aku hanya ingin memastikan bahwa kau baik-baik saja disana. Tapi, aku malah menemukanmu pingsan disana."

"Kenapa kau ingin memastikan bahwa aku baik-baik saja?" Yoojung merasa curiga.

Ten terdiam kembali. "Well...." Ten hendak melanjutkan namun mendadak ponselnya bergetar. Pemuda itu langsung bangkit dari duduknya dan mengambil handphone di atas meja. Menatap nama penelpon dan menolehkan pandangannya ke Yoojung. "Aku harus mengangkat telpon dulu." ucapnya kemudian segera pergi masuk ke dalam kamar dan menutup pintu.

Yoojung mendecih. Bukankah ini seperti Ten sedang menghindari sebuah topik?

Yoojung hendak kembali meraih gelas untuk meminum kembali namun matanya bertumpu pada sebuah kamera yang terletak di meja yang sama. Matanya beralih menatap pintu ruangan dimana Ten sedang menelpon, meyakinkan dirinya bahwa pemuda itu akan menghabiskan waktu cukup lama disana. Maka, ia akan dapat melihat isi kamera tersebut.

Lantas dengan cepat yoojung menurunkan kakinya dari atas sofa, sedang tangannya bergerak cepat mengambil kamera di atas meja dan mulai memeriksa isi memori card nya. Jantungnya mendadak berdegup kencang. Perasaan yang dirasakannya sekarang adalah rasa tegang dan takut yang datang bersamaan.

Bagaimana jika tidak ada foto apapun yang berarti dalam kamera tersebut?

Bagaimana jika bukan Ten pelakunya? Atau bagaimana jika benar ia menemukan foto-foto dirinya dalam kamera tersebut.

Yoojung menarik nafas panjang sebelum membuka folder memori card. Lantas jarinya bergetar menekan tombol dan membuka memori card tersebut. Matanya mulai menyipit sedang keningnya mulai berkerut semakin ia melihat satu persatu foto yang tersimpan dalam kamera tersebut.

Ya Tuhan! Apakah benar Ten pelakunya? Yoojung menemukan banyak sekali foto dirinya. Ia menghitung hapir ratusan atau mungkin ribuan foto dirinya yang diambil dengan kamera tersebut. Yoojung bergidik ngeri melihat satu persatu foto. Apalagi ia menemukan foto tersebut mengarah ke jendela kamarnya. Foto yang diambil dari jendela kamar apartemen 127. Ia yakin sekali.

Nafas Yoojung tak beraturan. Mendadak ia kembali ketakutan. Lantas buru-buru ia meletakkan kembali kamera tersebut ke atas meja. Mengatur nafasnya berharap saat Ten kembali keluar dari kamar tak merasa curiga dengannya.

Pikiran Yoojung berkecamuk. Jika yang dipikirkannya benar, bukankah berarti saat ini berbahaya berada satu apartemen dengan Ten? Dan juga, jika saat itu ia melihat Ten disini menyiram bunga sedang saat ia di apartemen 127 seseorang memotret dan bahkan memukulnya, apakah berarti bukan hanya Ten pelakunya?

Mungkinkah ada seorang lagi bersama Ten, menguntitnya?

Beberapa menit kemudian Ten keluar dari dalam kamar, memasukkan handphone ke dalam saku celananya dan berjalan mendekati Yoojung. Gadis itu langsung berdiri begitu ia keluar selepas menerima telpon tadi. "Aku harus pulang sekarang." Ucap gadis tersebut dengan cepat dan lebih nampak seperti tergesa-gesa.

"Oh, baiklah. Aku akan mengantarmu."

Yoojung dengan cepak berbalik dan mengangkat tangannya sedikit. "Tidak usah. Terimakasih, aku akan pulang sendiri." Jawabnya dengan senyum terpaksa.

Ten mengangguk paham dan melambaikan tangan. "Hati-hati."

---

Yoojung berbaring ke atas ranjang selepas membersihkan diri. Ia tak bernafsu untuk makan malam. Rupanya ia pingsan dan baru bangun beberapa jam kemudian. Ia tak tahu ia pingsan begitu lama. Mengingat Ten yang katanya mengaku menolongnya, membuat Yoojung berpikir banyak.

Jika Ten memang berniat menolongnya, mengapa isi kamera pemuda tersebut berisi semua fotonya dari berbagai kegiatan hariannya? Sungguh itu membuat Yoojung kembali bergidik mengingatnya.

Mungkin mulai sekarang ia harus mewaspadai Ten. Kembali berpikir isi kamera tersebut, mengapa ia tak menemukan foto di hari kecelakaan mama?

Ah, tentu saja ia tak dapat menemukannya. Toh, ia hanya melihat sebagian isi kamera tersebut. Mengerikan sekali melihat fakta bahwa ia baru melihat sebagian isi kamera tersebut dan yang ia lihat adalah seluruh fotonya. Padahal ia melihat kamera tersebut menyimpan ribuan foto.

Yoojung memejamkan matanya rapat. Ia begitu takut sekarang. Bahkan ia menutup rapat tirai jendela kamarnya dan merekatkan isolasi disana. Insomnia yang dideritanya membuatnya terus mengutuki diri. Ia ingin segera terlelap dan melupakan ketakutannya. Namun ia tidak bisa.

Ingin rasanya ia meminum pil tidur untuk dapat segera tidur. Namun ia teringat nasihat mama bahwa mama sangat mearang dirinya untuk banyak mengonsumsi obat-obatan. Mama lebih menyuruhnya untuk mendengarkan musik sembari membaca agar ia cepat mengantuk.

Tiba-tiba ponselnya berbunyi pertanda pesan masuk. Siapa pula malam-malam seperti ini mengiriminya pesan. Ia tak memiliki seorang temanpun yang ingin mengirimnya pesan, bahkan Mark pun ia yakin sekali bahwa pemuda tersebut menyimpan nomornya.

Mungkin saja ayah, namun ia sedikit ragu karena ayah tak pernah mengirimnya pesan lantaran ayah lebih memilih untuk langsung menelponnya.

Yoojung meraih handphonenya di atas nakas, masih sambil berbaring di ranjang, ia mengangkat handphonenya dan melihat siapa yang mengirimnya pesan. Namun ia melihat itu adalah sebuah nomor asing. Yoojung membuka pesan tersebut dan mendapati sebuah pesan singkat serta sebuah kiriman foto.

Yoojung menelan salivanya berat dan langsung terduduk di atas ranjang. Mendadak sekujur tubuhnya merinding.

Yoojung membaca kembali isi pesan singkat tersebut.

| Selamat malam, cantik. |

Matanya menatap ngeri sebuah foto yang dikirimkan oleh seseorang yang tak ia kenal. Sebuah foto dimana hari ini ia pingsan di dalam kamar apartemen 127.






To be continued.

APARTMENT 127 [SUDAH TERBIT - PREORDER DIBUKA]Where stories live. Discover now