BAEKHYUN POV
“W-Woah

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.



BAEKHYUN POV

“W-Woah...”

Aku setengah tertegun, setengah terkesima dengan pemandangan yang terpampang begitu nyata dan dekat hingga terasa seperti ilusi. Chanyeol, disampingku, hanya melipat tangannya di dada dan tersenyum bangga, seperti tahu betul kalau aku akan sangat menyukainya.

“Kenapa tidak ada orang disini?” tanyaku heran. “Tidak mungkin orang sekitar tidak bisa menemukan tempat ini. Ini indah sekali, Chanyeol!”

Chanyeol menyender ke salah satu pohon, memandang air terjun itu penuh kenangan. “Entahlah, mungkin karena tempat ini punyaku?”

Aku memandangnya kecut. “Raja tidak memiliki alam, Chanyeol. Mereka hanya memerintah.”

“Tidak, tempat ini memang punyaku,” kata Chanyeol sambil mengangkat satu alisnya, dan aku masih memandanginya. “Tempat ini milik Park Chanyeol. Jauh, jauh sebelum aku duduk di singasana.”

Chanyeol berdecih enteng saat aku memicingkan mataku, tidak percaya dengan kata-katanya. Jadi ia menggelengkan kepalanya sekilas lalu menggenggam ujung kaosnya sendiri, dan mengangkatnya melewati leher, mengekspos abs-nya dengan polos yang membuat seluruh syarafku berhenti berfungsi saat itu juga.

Sialan. Sialan. Sialan!

Siapa yang bilang dia boleh membuka bajunya?
Aku tidak mau berfikir macam-macam saat ia melihat kedua tangan Chanyeol bekerja dengan sabuk jeans-nya, berusaha membukanya. Jadi aku memalingkan wajah ke arah lain sambil berdoa semoga telingaku tidak memerah seperti ceri. Hanya mendengar suara sabuk besi Chanyeol terbuka saja, bulu kudukku berdiri perlahan.

“Buka bajumu.” suruh Chanyeol singkat, dengan suara berat dan agak serak (atau mungkin hanya perasaanku saja), yang membuatku tanpa sadar menoleh padanya dan menyesal karena kini ia hanya dalam boxer-nya saja.

“Huh?”

Chanyeol menatapku bingung. “Kau tidak berenang? Kau akan menyesal. Air disini sangat segar, bahkan hangat!”

Sebelum aku menjawab, atau lebih tepatnya terlalu hanyut dalam pemandangan ototnya yang terbentuk dengan begitu indah dan kekar, ia sudah lebih dulu masuk ke dalam air perlahan, sebelum akhirnya berendam hingga dada.

Jadi dengan perlahan dan sedikit minder, aku membuka bajuku dan celanaku, menyisakan boxer persis seperti Chanyeol. Aku berjalan menuju air dan mencelupkan kakiku. Benar kata Chanyeol, airnya hangat namun tetap segar.

Aku tersenyum senang menatapi kaki-kakiku yang terlihat jelas di bawah air sedang berjalan menapaki batu-batu, saking jernihnya. Bisa kurasakan Chanyeol sedang menatapku, dan saat aku menoleh padanya, ternyata ia sedang tersenyum teduh ke arahku.

“Kau suka?” tanyanya, mendekat ke arahku dengan berenang ringan.

“Suka.” jawabku singkat sebelum kurasakan kedua lengan Chanyeol melingkar manis di pinggangku dan menempelkan dada kami. Sekali lagi aku harus terlena dengan indahnya struktur wajah Chanyeol. Rambut hitamnya yang basah ia usap ke belakang, namun beberapa helai kembali turun ke dahinya dan meneteskan air ke mata dan wajahnya. Bibirnya merah merona karena hangat, begitu lembab sampai aku rela mati untuk bisa menyicipinya. Dadanya begitu keras dan kuat, matanya tajam dan penuh kekuatan.

Aku hanya terfokus pada bibirnya saat tiba-tiba kedua belah indah itu terangkat disatu sisi, dan wajah Chanyeol dimiringkan pemiliknya, matanya bertemu mataku penuh rasa goda. “Ingin cicip?”

Entah apa yang kupikirkan waktu itu, aku reflek mengangguk pelan sambil menatapi bibirnya. Dua detik kemudian, aku tersadar dan mataku melebar, rona merah dengan begitu brutal mengalir ke pipiku. “T-Tidak!”

Tawa Chanyeol pecah setelahnya, yang membuatku lemah lagi. Park Chanyeol, tolong berhenti membuat hatiku terguncang hanya karena hal-hal kecil seperti itu, karena itu tidak adil sama sekali!

“Apa yang harus kulakukan padamu? Kau lucu sekali,” ujar Chanyeol mencubit pipiku, masih tersenyum lebar. Aku hanya menatapnya melas, berharap jantungku bisa lebih tenang.

“Aku cium, ya?” izinnya yang lebih seperti pernyataan untukku, lalu wajahnya mendekat ke wajahku perlahan. Aku meremas kedua bahu kuatnya pelan, sebelum bibirnya benar-benar menempel dengan bibirku. Ia mengeluarkan erangan berat saat kehangatanku menjulur ke bibirnya, menarik pinggangku begitu kuat sampai aku bisa merasakan otot lengannya di punggungku.

Beberapa menit kemudian, aku tiba-tiba bersyukur karena air yang terjun menenggelamkan desahan kami. Karena aku sama sekali tidak bisa menahan suara-suara saat pinggul Chanyeol menghantamku berkali-kali dari belakang, membuatku harus menggantungkan hidupku pada salah satu batu agar tidak jatuh pingsan. Chanyeol mengerahkan semua tenaganya sambil menempelkan dahinya di bahuku dari belakang, yang aku yakini menikmati waktunya karena pinggangku diremas begitu kuat oleh jari-jarinya. Salah satu tanganku merambat untuk masuk ke sela-sela rambut basah Chanyeol saat ia menghisap kulit leherku keras, meninggalkan jejak kepemilikan disana. Pinggulnya tidak pernah berhenti dan aku merasa bagian belakangku seperti dikoyak habis-habisan olehnya. Nafasnya memburu menerpa punggungku, yang lama-kelamaan membuatku sensitif.

“Sedikit lagi, Baekhyun,” ucapnya disela nafas beratnya, yang entah bagaimana seakan terkoneksi dengan tubuhku, karena saat aku memejamkan mataku, aku hanya bisa melihat bintang-bintang dan isi perutku terjerat semakin naik ke puncak, bersamaan dengan Chanyeol yang bergerak semakin liar berusaha mencari puncaknya sendiri. Nafasku benar-benar berhenti beberapa detik saat semuanya seakan meledak, disertai debaran jantungku yang bertalu-talu. Aku menatap batu dibawahku lemah, yang kukotori secara tidak sengaja. Aku merasakan cairan hangat itu dibagian bawahku, dan tanpa sadar aku tersenyum. Chanyeol terlalu lelah untuk menariknya keluar, jadi ia memeluk pinggangku dan bertumpu ke punggungku.

Hanya suara air terjun dan nafas kami yang terdengar beberapa saat setelahnya. Aku masuk ke dalam air, menyusul Chanyeol yang bersender ke batu besar, membuka tangannya agar aku masuk ke rengkuhannya. Kami tersenyum senang saat kulit kami bersentuhan, berbagi hangat lagi.

“Jadi... kenapa kau menikah dengan Irene?”

Aku menoleh ke arah Chanyeol, yang menyambutku dengan ciuman hangat dipipiku, mengeratkan pelukannya pada badanku. Setelahnya ia menumpukan dagunya ke bahu kananku, menunggu jawaban.

“Ia merawat ayahku selama aku pergi.” mulaiku tenang, menatap air terjun. “Dalam surat terakhirnya, ayahku berkata bahwa ia begitu menyukai Irene. Ia juga menyiapkan rumah untukku, dan aku bertemu Irene disana seolah-olah semuanya sudah terencana seperti itu. Ia tahu kalau aku akan dikeluarkan dari istana.”

Aku bisa merasakan Chanyeol mendengarku dengan seksama.

“Selama hampir dua tahun sejak aku keluar dari istana, aku tidak bisa berhenti bekerja. Aku menyibukkan diri dengan urusan ini-itu, agar aku tidak bisa mengingat apa-apa. Luhan melakukan hal yang sama, hanya saja ia tahu itu hanya untuk sementara jadi ia tidak melupakan Sehun. Sementara aku...” bisa kurasakan perasaan sesak itu mulai naik ke dadaku lagi. “Aku melihatmu di televisi. Mulai dari pernikahanmu dengan Ratu yang menggemparkan, hingga kabar kalian berdua pergi ke Hawai untuk berbulan madu. Luhan berusaha menyembunyikan fakta Pangeran Ravel telah lahir dariku, karena ia tahu aku mungkin akan kembali jatuh lagi.”

Jemari Chanyeol mengelus kulitku pelan, menenangkanku. Ia tahu betul bahwa bahuku mulai bergetar.

“Suatu hari, aku tidak bisa menahan semuanya lagi. Aku begitu merindukanmu, begitu ingin hanya untuk sekedar melihat wajahmu, jadi aku minum hingga larut malam, dan pulang dalam keadaan mabuk berat. Irene membukakan pintu untukku, dan menangis semalaman diluar kamarku setelah ia membaringkanku di ranjang. Entah bagaimana, saat itu aku berfikir bahwa mungkin aku harus berusaha melupakanmu, dengan memulai hidup baru bersama Irene.”

Chanyeol mengecup bahuku. “Kau terdengar begitu menyayanginya.”

“Ia wanita yang baik, Chanyeol.” ujarku pelan. “Ia mengurus semuanya sembari aku berusaha keras melupakanmu. Ia membuatku mengenakan baju yang disetrika setiap hari, dan memasak untukku setiap pagi dan malam. Sedikit ceroboh dan tidak bisa melindungi diri sendiri, namun ia wanita yang cukup berjasa dalam hidupku.”

Aku terkekeh, dan Chanyeol mengikuti. “Apa dia tahu?”

“Tentang?”

“Aku masih mencintaimu sampai sekarang, begitu juga sebaliknya.”

Aku menghela nafas tenang, mengaitkan jemariku dengan jemari Chanyeol dibawah air. “Tentu saja dia tahu. Ia adalah orang yang paling paham kalau aku tidak akan pernah berhenti mencintaimu, Chanyeol. Jika aku berkata aku sudah tidak mencintaimu lagi, dia mungkin satu-satunya orang yang tahu kalau aku berbohong.”

“Ia tahu suaminya masih mencintai orang lain, namun ia tetap tinggal?”

Baekhyun mengangguk. “Hebat kan, istriku?”

Chanyeol termenung, matanya sedikit sayu. “Aku mengerti sekarang kenapa kau begitu menyayanginya. Ia mengobati semua lukamu, yang disebabkan olehku.”

Aku terkekeh. “Itu sedikit benar, tapi tidak juga. Aku selalu berusaha memberinya hatiku sepenuhnya, dan aku selalu gagal juga. Aku merasa begitu bersalah karena itu, jadi aku berusaha memperlakukannya sebaik mungkin.”

Tiba-tiba, pelukan Chanyeol terlepas pelan. Laki-laki itu berpindah ke depanku, separuh dadanya masih berada di dalam air untuk menyamai tinggiku. Ia menggenggam kedua tanganku dan menatapku dengan cara yang sulit dijelaskan.

“Nanti saat kita kembali ke Seoul, maukah kau membawaku bertemu dengan Irene?” tanyanya tulus, dengan mata penuh harap. Aku hanya bisa diam, yang dia anggap seperti meminta penjelasan.

“Karena mungkin kalau dia tidak ada, aku tidak tahu apa yang akan terjadi dengan duniaku.”

Aku suka saat Chanyeol menyebutku dengan sebutan dunianya. Seluruh tubuhku bereaksi saat menerima tatapan lurusnya. Dengan segenap perasaan haru, aku mengangguk, membuat senyum teduhnya kembali timbul dari bibirnya, dan aku tertarik sekali lagi ke dalam rengkuhannya yang begitu hangat dan nyaman.

.

AUTHOR POV

Luhan mengelus dada bidang Sehun yang berada tepat didepan wajahnya. Lebih tepatnya, dada bidang Sehun yang dibungkus rapi oleh setelan suit, lengkap dengan dasi merah maroon khas warna kerajaan. Ia memperbaiki dasi itu perlahan, lalu mengelus jas Sehun berkali-kali seolah tidak mau setitik debu pun tersisa disana.

Ia berhenti saat mendengar kekehan berat Sehun. “Kau bertingkah seperti istriku.”

“Suamimu.” ralat Luhan singkat. “Sudah siap?”

Sehun menatap turun kekasihnya kekasihnya cukup lama, mengabaikan pertanyaan kecil Luhan. Ia menggenggam leher belakang Luhan lalu menariknya untuk menanamkan kecupan singkat ke dahi Luhan, sebelum mengelus pipi Luhan dengan senyuman teduh.

“Bagaimana denganmu?” tanya Sehun balik. “Kau benar-benar siap akan melakukan ini? Kalau pihak yang salah mengetahui ini, aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada kita.”

Nafas Luhan bergetar pelan, lalu menoleh ke samping, matanya menerawang. Mereka berdua sedang berada di gereja, dan matanya menatap lekat altar yang terpampang begitu kuat dan suci. Kalau hari ini ia dan Sehun berjalan kesana dan bertukar janji suci, maka ia dan Sehun resmi menjadi pasangan suami, tanpa ada yang mengetahui.

“Boleh aku tanya satu hal?” tanya Luhan pada Sehun dengan tatapan sendu. Sehun hanya mengangguk pelan.

“Kalau aku benar-benar menikah denganmu hari ini, disini, maukah kau berjanji padaku untuk tidak pernah melarangku untuk melindungimu dengan caraku sendiri, seandainya sesuatu terjadi diantara kita?”

Sehun hanya diam.

“Maukah kau memberiku hak untuk terus ada disampingmu sebagai suamimu, melakukan sesuatu untukmu dan berkorban untukmu? Karena aku tidak akan mau menjadi pihak yang lemah dan tidak bisa melakukan apa-apa didalam hubungan kita.”

“Luhan...” ujar Sehun pelan. “Aku hanya tidak mau sesuatu terjadi padamu.”

“Katakan saja iya, Sehun, kumohon.” pinta Luhan dengan putus asa. “Aku butuh hak itu.”

Sehun menghela nafas dalam, lalu memijit keningnya. “Aku akan memberikanmu hak untuk melindungiku, tapi jangan pernah berkorban untukku dalam bentuk apapun. Setuju?”

Luhan tidak terlalu senang mendengarnya, namun itu lebih baik daripada tidak sama sekali. Jadi ia mengangguk pelan dan mengaitkan jari kelingkingnya dengan Sehun, menatap itu lama penuh arti. Tepat setelahnya, pintu utama gereja terbuka lebar, menampilkan sosok Kai dan Kyungsoo yang berjalan masuk, mengenakan setelan suit sederhana, jemari mereka terpaut.

“Saksi kalian sudah datang.” ujar Kai. Ia tersenyum tenang pada Luhan, lalu matanya bertemu dengan adiknya. Ia menatap Sehun cukup lama, tidak mengerti kenapa kini perasaan haru, sedih, senang, dan khawatir bercampur menjadi satu di relung hatinya.

“Sehun.”

“Jongin.” jawab Sehun pelan, tersenyum kecil pada kakaknya.

Entah apa yang terjadi beberapa detik setelahnya, namun tiba-tiba Sehun merasakan badan kakaknya menubruk badannya, memeluknya erat seperti Sehun adalah satu-satunya orang yang bisa membuatnya bertahan hidup. Wajah Jongin terbenam di bahu adiknya, menangis pelan.

Sehun hanya tersenyum pelan, menepuk punggung Jongin lembut. Kyungsoo mulai berkaca-kaca ditempatnya, tidak percaya kalau ia akan segera melihat peristiwa bersejarah.

“Aku memang sebal karena kau mendahuluiku, tapi apapun yang terjadi, semoga kau dan Luhan selalu bahagia.” isak Jongin, terbawa suasana. “Aku berharap sesuatu yang buruk tidak akan pernah terjadi diantara kalian.”

Sehun merasa akan menangis saat itu juga, saat Kai melepas pelukannya dan matanya sembap. “Selamat atas pernikahanmu, Sehun. Hanya itu yang bisa aku ucapkan. Semoga kau selalu bahagia.”

Sejak dulu, Sehun selalu dekat dengan Kai. Keduanya menghabiskan masa muda, sekolah, bermain bersama-sama karena umur mereka tidak terpaut jauh. Disaat orang tua mereka dan Chanho sibuk dengan urusan masing-masing, maka yang mengisi kekosongan istana hanyalah ulah usil Sehun dan Kai, karena Chanyeol lebih suka menyendiri. Sehun tidak pernah berfikir bahwa di suatu hari mungkin saja ia dan Kai tidak bisa bermain dan berulah bersama sesering dulu. Suatu hari Kai akan mempunyai keluarganya sendiri, begitu juga dengan dirinya sendiri. Suatu hari mereka akan turun dari daftar prioritas masing-masing karena mereka punya hal lain yang harus diurus atau dilakukan.

Sekarang jika Sehun berfikir mengenai itu, ia mengerti perasaan Kai. Disaat-saat seperti inilah, kita menyadari keberadaan orang yang selalu dekat dengan kita, yang kelihatannya sepele dan sederhana padahal hilangnya mereka begitu meninggalkan kekosongan. Meski setelah pernikahan rahasia ini Sehun dan Luhan akan tetap tinggal di istana, namun hal itu tidak akan berlangsung lama karena apabila mereka ketahuan, keduanya akan dikeluarkan secara paksa dari istana. Begitulah cara pemerintahan bekerja, dan tidak ada yang bisa disalahkan mengenai itu.

Kyungsoo sibuk menahan tangis saat akhirnya Sehun dan Luhan berjalan berdampingan perlahan menuju altar. Tidak ada sorak-sorai, lagu pernikahan yang romantis, atau bunga-bunga yang menghiasi altar. Murni, hanya ada empat orang disana. Dua akan menikah, dia duduk melihat sebagai saksi. Luhan melirik ke arah laki-laki yang akan menjalani masa depan bersamanya, semakin dan semakin yakin seiring ia berjalan mendekat ke dataran suci.

Tidak ada yang bisa menggambarkan bagaimana tampan, gagah, dan mempesona sosok Sehun pada saat itu bagi Luhan. Laki-laki tinggi itu sudah tampak seperti manekin hanya dengan menggunakan kaos biasa dan celana pendek, sehingga melihatnya dalam tuksedo hitam pekat berhias merah maroon seperti ini adalah pemandangan yang menggetarkan hati. Mata Sehun selalu berbicara, menggantikan bibirnya yang kurang pandai merangkai kata.

“Saya mengambil engkau, Luhan, menjadi suami saya, untuk saling memiliki dan menjaga, dari sekarang sampai selama-lamanya, pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita, dan inilah janji setiaku yang tulus.”

Luhan tersenyum kecil, berbanding terbalik dengan seluruh darahnya yang membuncah karena perasaan senang, lalu dengan perlahan dan mata lurus pada Sehun, ia membalas janji suci itu.

“Saya mengambil engkau, Yang Mulia Pangeran Mahkota Oh Sehun, menjadi suami saya, untuk saling memiliki dan menjaga, dari sekarang sampai selama-lamanya, pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita, dan inilah janji setiaku yang tulus.”

Tangis Kyungsoo benar-benar pecah setelahnya, namun ia dan Kai bertepuk tangan keras-keras, mengembangkan senyum dari kedua belah bibir Sehun dan Luhan. Lalu Sehun perlahan mengeluarkan sekotak cincin dari saku celananya, membukanya perlahan dan mengambil salah satu cincin.

Ajaib rasanya saat cincin itu terdorong masuk melingkari jari manis Luhan, seakan setelah cincin itu terpasang benar, ia merasa seperti menyatu dengan Sehun. Ia sempat lupa harus memasangkan cincin ke Sehun juga, karena terlalu terpana melihat jari manisnya yang kini pada akhirnya terisi, pada orang yang paling tepat yang pernah ia temui, yang pernah ia cintai.

Jari Luhan bergetar saat memasangkan cincin pasangannya ke jari manis Sehun, seperti merasa akan segera memiliki ruang angkasa untuk dirinya sendiri. Cincin itu terpasang di jari Sehun dan segalanya berubah bagi Luhan.

Ia tidak pernah tahu bahwa sosok Sehun dengan tanda kepemilikan di jarinya itu akan tampak seratus kali lebih luar biasa. Ia tampak jauh lebih memikat di mata Luhan, berfikir bahwa laki-laki itu kini secara resmi miliknya, dan bukti konkrit mengenai hal itu sudah terpampang jelas di jarinya.

Luhan baru bisa bernafas saat itu, namun tanpa aba-aba, Sehun menarik pinggangnya mendekat dan menempelkan bibir mereka kuat-kuat. Untuk pertama kalinya, secara aneh, ciuman Sehun terasa begitu berbeda. Tangannya merambat untuk memegang rahang Sehun, memberinya celah untuk memperdalam ciuman dan melakukan apa saja.

Karena mulai saat itu, ia sepenuhnya milik Sehun.

.

Baekhyun tahu kalau Chanyeol tidak akan pernah melewati sore hari di Jeju meski hanya sehari. Mereka berencana terbang kembali ke Seoul petang ini, jadi sebelum mereka meninggalkan pulau dewata versi Korea, Chanyeol mengajaknya bersepeda di pinggir bukit. Ilalang dan berbagai macam rerumputan kuning yang terhampar luas mengapit sebuah jalan setapak, sinar matahari bersinar begitu murni dari arah barat.

Chanyeol mengayuh sepedanya perlahan, sedangkan Baekhyun duduk dikursi belakang menghadap ke arah berlawanan dengan Chanyeol, sehingga punggung mereka bertemu, dan Baekhyun menyenderkan kepalanya di punggung kuat Chanyeol. Ia memejamkan mata perlahan mendengarkan suara padang ilalang dan tumbuhan bergesekan pelan, dicampur bunyi ombak dari jauh, serta sensasi angin menabrak sisi-sisi wajahnya.

Saat Baekhyun membuka matanya, ia melihat jalan setapak yang semakin panjang, karena dari sudut pandangnya, ia sedang berjalan mundur. Tanpa mengatakan apa-apa, ia bertanya-tanya bagaimana pemandangan yang Chanyeol lihat. Mungkin jalan setapak yang semakin panjang baginya, akan menyurut habis di mata Chanyeol seiring kayuhannya. Mereka berdua memandang ke arah yang berbeda, sehingga segalanya juga tampak berbeda.

Baekhyun tidak bisa melihat sesuatu dari sudut pandang Chanyeol, begitu juga sebaliknya.

Baekhyun lalu menurunkan kakinya, hingga alas sepatunya beradu gesek dengan jalan dibawahnya, membuat Chanyeol berhenti mengayuh hingga sepeda benar-benar berhenti. Baekhyun menunduk menatapi kedua sepatunya, sementara Chanyeol terdiam memandangi kedua tangannya yang menggenggam stang sepeda, keduanya terdiam seperti itu selama tiga puluh detik.

“Aku tidak mau kembali.”

“Aku tidak mau pulang.”

Keduanya berbicara disaat yang bersamaan, yang lalu memecahkan kekehan berat dari Chanyeol, dan senyum senang dari Baekhyun. Chanyeol merebahkan kepalanya diatas kepala Baekhyun, tangannya terkulai diantara kedua pahanya, hingga keduanya terdiam dalam posisi seperti itu selama beberapa menit.

“Rasanya dingin.”

“Hmm?”

“Dingin.” ulang Chanyeol. “Istana rasanya dingin.”

Baekhyun fokus mendengarkan detak jantungnya sendiri dan detak jantung Chanyeol yang saling bersahutan.

“Udaranya mencekat, suasananya menyesakkan, dan segalanya terasa melelahkan.”

“Berbanding terbalik dengan dirimu.” lanjut Chanyeol penuh nostalgia. “Kau terasa hangat, menyenangkan, dan menenangkan. Di hidupku yang ibarat ruangan sempit, kau seperti jendela besar yang mengalirkan sinar matahari.”

Chanyeol membalik badannya perlahan, tetap duduk dikursinya dan menatapi punggung mungil Baekhyun. Dengan lembut, ia melingkarkan satu lengannya di leher Baekhyun, lalu menempelkan keningnya ke kepala belakang Baekhyun.

“Jangan berhenti mencintaiku, Baekhyun,” bisiknya. “Karena aku tidak peduli apa yang harus aku korbankan, suatu hari aku akan ada disisimu dan menjadi milikmu sepenuhnya.”

Baekhyun tersenyum kecil, matanya menyipit menatap ke barat.

“Aku mencintaimu, Baekhyun. Lebih dari yang kau tahu.”

.

“Kau yakin?”

Baekhyun melirik ke arah rumahnya lewat jendela mobil, yang seakan diam saja disana meminta untuk dikunjungi. Rumahnya yang memang selalu kelam saat ia pulang karena Irene, padahal wanita itu selalu ada disana. Selalu menunggu.

“Yakin, Baekhyun.” jawab Chanyeol sambil melepas sabuk pengamannya. “Aku akan baik-baik saja.”

Baekhyun masih diam, menatap gerak-gerik Chanyeol yang normal. Entah mengapa, ada sesuatu dalam dirinya yang bimbang memikirkan Chanyeol akan bertemu dengan Irene. Karena dibeberapa kesempatan, ia hancur didepan mata Irene dan wanita itu tahu kalau laki-laki inilah penyebabnya.

Atau lebih tepatnya, ia takut dengan reaksi Irene.

“Apa yang kau khawatirkan?”

“Huh? Tidak ada.”

“Kau yakin?”

Pertanyaan itu dilempar balik oleh Chanyeol, dan ia hanya mengangguk pelan sebagai jawaban.

Baekhyun terkejut saat pintu rumah tidak terkunci. Ia masuk perlahan dan membuka sepatunya perlahan, diikuti secara sistematis oleh Chanyeol. Suasananya begitu sepi sampai ia sempat berfikir Irene sedang tidur siang, sampai ia mendengar suara kardus bertubrukan dan jatuh dari lantai dua.

Baekhyun melebarkan matanya, dan Chanyeol tertegun ketika laki-laki kecil itu melepas sepatunya cepat lalu berlari ke lantai atas dengan panik. Seolah-olah rumahnya sedang kedatangan pencuri.

“Irene?!”

Baekhyun membuka pintu kamar dengan cepat, dan langsung terdiam saat Irene ada disana sedang mencoba memperbaiki posisi kardus. Kamar itu adalah kamar kosong tempat mereka menaruh barang-barang, dan Irene menatapnya bingung.

“Kenapa kau sudah kembali?” tanya Irene, kesusahan menyusun dus. Baekhyun dengan gesit mencoba membantunya, dimana hal itu berhasil hanya dengan satu tangan.

“Kau tidak senang aku kembali?”

Irene tertawa kecil. “Kau tahu maksudku bukan begitu. Kau bersenang-senang?”

“Ya.” jawab Baekhyun. “Kau?”

Irene menatapnya bingung dengan alis terangkat. Saat itulah, baru saat itulah Baekhyun menyadari bahwa Irene tampak begitu berbeda, nyaris sulit dikenali jika tidak karena rambut cokelat panjangnya yang selalu seperti itu. Baekhyun tidak pernah melihat Irene seperti itu hingga rasanya sulit dijelaskan.

Bibirnya pucat dan kering, kasar seperti ia tidak meminum apapun selama seminggu. Tulang bahunya terlalu menonjol dan badannya ringkih kehilangan terlalu banyak berat badan. Ia juga tidak ingat kapan istrinya memiliki mata se-sayu dan semati itu. Baekhyun menurunkan pandangannya untuk memastikan, dan benar saja kalau tulang kering Irene bahkan sudah bisa terlihat oleh matanya. Wanita itu terlalu kurus dan lemah, bahkan rambut cokelatnya tidak bersinar lagi.

“Sesuatu terjadi padamu selama aku pergi?”

Irene tersenyum kecil sambil mengelus permukaan dus. Itu dia. Sisi Baekhyun yang selalu membuatnya jatuh cinta. Tidak ada orang yang tidak tahu betapa ia mencintai Chanyeol tapi Irene tahu bahwa sisi lembut dan jantan itu akan selalu ada untuknya. Baekhyun adalah orang yang bisa ia andalkan terlepas dari siapa yag laki-laki itu cintai.

“Tidak ada. Aku hanya tidak enak badan.”

“Kau berbohong.”

“Aku serius, Baekhyun,” jawab Irene sambil sedikit tertawa dan Baekhyun tidak suka itu. Dari sisi mananya Irene terlihat ‘hanya tidak enak badan’, sedangkan wanita itu terlihat seperti orang yang bisa pingsan kapan saja.

Saat Baekhyun hendak membuka mulutnya untuk memarahi Irene, tiba-tiba wanita itu terhuyung lemah dan jatuh ke tangan Baekhyun meski ia mencoba untuk tetap berdiri. Baekhyun menangkapnya sedikit terlalu panik, dan mencengkramnya erat padahal Irene mencoba berdiri sendiri.

“Kau terlalu lemah untuk melawanku disaat aku tidak memakai tenaga, Irene.” kata Baekhyun, mendesak Irene untuk bicara. “Aku tidak akan melepasmu kalau kau tidak bicara.”

“Kau berlebihan.” keluh Irene dengan suara lemas. “Lepaskan aku, Baek.”

“Berlebihan? Kau sudah lihat dirimu di kaca?”

“Aku tahu aku sakit jadi lepaskan aku.”

“Sakit apa? Jangan bilang itu hanya tidak enak badan karena aku tahu itu lebih dari sekedar tidak enak badan.”

“Kau berharap aku sakit lebih parah?”

“Jesus, kau tahu itu bukan maksudku!”

“Maka dari itu lepaskan aku! Aku haus!”

Irene menggunakan semua tenaganya untuk lepas dari cengkraman Baekhyun, dan mengelus lengannya sendiri. Perdebatan antara dirinya dan Baekhyun memang selalu karena hal kecil, namun ia tidak mau Baekhyun tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ia belum siap.

Saat ia hendak keluar dari kamar, Irene menyadari ada seseorang yang berdiri didepan pintu. Saat ia menyadari siapa sosok tinggi itu, mata Irene seketika melebar dan kedua tangannya merambat untuk menutupi bibirnya.

“Yang Mulia!”

Chanyeol terperanjat saat Irene jatuh ke lantai untuk memberi hormat padanya. Dengan panik ia mencoba menghampiri Irene, memegang bahu wanita itu.

“Saya tidak tahu kalau anda ada disana, Yang Mulia.”

“Tidak apa-apa, Irene. Kumohon berdirilah, kau adalah istri dari seorang Pangeran jadi kau tidak boleh menjatuhkan lutut untuk siapapun.”

Baekhyun memutar badannya, memijit pelipisnya sekilas.

“Maaf aku datang disaat yang tidak tepat. Dan maaf aku mengintip, aku tidak bermaksud begitu.”

“Kau tidak perlu meminta maaf, Chanyeol.” jawab Baekhyun, masih terlihat kesal pada Irene yang sudah berdiri.

Sekitar dua puluh menit kemudian, tiga manusia kerjaan itu terduduk di meja makan. Ketiganya terdiam dan hanyut dalam pikiran masing-masing, menonton asap dari teh panas yang mengepul seolah-olah itu hal paling menarik. Suasananya tidak begitu bagus, dan mereka semua tahu kalau itu karena Baekhyuns kesal. Laki-laki itu menggigit bibirnya dan mengetuk-ngetukkan kakinya ke lantai terus menerus, sedangkan Chanyeol merasa terjebak di dalam urusan rumah tangga yang sepertinya serius.

Irene hanya terlalu takut untuk mengangkat kepalanya karena beberapa hal. Pertama dan terpenting, ia tidak tahu cara menghadapi Baekhyun yang sedang kesal. Kedua, karena Chanyeol. Ia sedang duduk satu meja dengan ketua pemerintah negara ini dan memang sudah seharusnya ia tidak menatap matanya. Ketiga, karena Chanyeol juga. Karena... itu Chanyeol. Itu saja.

“Baekhyun,” suara Chanyeol membuka keheningan dan kedua orang di meja menatapnya. Satu dengan tatapan takut, satu dengan tatapan kesal. “Boleh aku bicara berdua dengan Irene?”

Chanyeol mulai menyesal sudah bertanya saat tiba-tiba tatapan kesal Baekhyun berpindah ke Irene, dan wanita itu menunduk lagi. Entah bagaimana, ia bisa merasakan betapa Baekhyun dapat mempengaruhi perilaku Irene.

“Entahlah.” jawab Baekhyun, mendesah kesal. “Irene tiba-tiba tidak bisa bicara, kurasa.”

“Baekhyun.”

“Apa? Sekarang kau mau menjelaskan sesuatu?”

Irene menutup bibirnya rapat, sudah berusaha menahan diri agar tidak menangis.

Baekhyun tidak mengerti kenapa Irene tidak mau menjelaskan apa yang terjadi padanya. Wanita itu tahu persis bagaimana temperamen Baekhyun yang bisa berubah drastis saat khawatir. Apa yang salah dari seorang suami saat ia hanya ingin tahu apa yang terjadi pada istrinya?

“Yang Mulia ingin bicara denganku.” ucap Irene, sedikit bergetar. “Bisa tinggalkan kami?”

“Kau mau berbicara dengan Chanyeol tapi tidak denganku?”

Chanyeol hanya bisa diam, secara aneh merasa takut. Ia merasa seperti orang ketiga dalam hubungan rumah tangga ini, seperti suami kedua Irene atau sejenisnya. Namun harus ia akui kalau Baekhyun memiliki peran kuat dan eksistensi dalam hubungan pernikahannya, karena ia bisa melihat jari-jari Irene sedikit bergetar saat mendengar Baekhyun berbicara dengan nada itu padanya.

Baekhyun meninggalkan dapur dengan tatapan sinis, seperti anak remaja yang tidak diizinkan pergi ke luar rumah. Saat di ruangan hanya ada Chanyeol dan Irene, keduanya hanya bisa terdiam, menunggu sampai jari-jari Irene berhenti bergetar, karena sejujurnya itu menakuti Chanyeol.

.

“Saya sangat mencintai Baekhyun.”

Chanyeol menatap Irene lekat-lekat saat wanita itu mengatakannya, jarinya mengitari bibir gelas berulang-ulang, tanpa berniat meminumnya. Mereka sudah terlalu banyak diam, dan Irene tidak tahu harus membuka percakapan seperti apa.

“Ya, aku bisa melihatnya.”

“Maafkan saya, Yang Mulia.”

Chanyeol menggeleng. “Bukan salahmu. Dia suamimu, wajar kalau kau mencintainya.”

“Bukan itu yang membuat saya merasa bersalah, Yang Mulia.” jawab Irene, kali ini menatap mata sang Raja lemah. “Saya minta maaf karena selalu melarangnya untuk mendatangi anda.”

“Baekhyun... ingin mendatangiku?”

“Tentu saja.” Irene tersenyum kecil. “Setiap bulan? Atau setiap minggu? Tidak, bahkan setiap hari...”

“Saya mungkin penyebab mengapa kalian tidak pernah bertemu selama lima tahun kebelakang, Yang Mulia. Saya selalu menahannya, dan memberitahunya bahwa saya ada disini untuknya. Meski saya tahu itu tidak penting untuknya.”

“Irene, aku mengerti kenapa kau melakukan itu.” potong Chanyeol pelan sebelum Irene berbicara lebih jauh. “Aku tidak akan marah karena hal itu.”

“Saya tidak mengatakannya untuk membuat anda marah, Yang Mulia. Saya mengatakannya karena...” Irene berhenti, lalu Chanyeol melihat matanya membasah. “Karena saya ingin anda tahu bahwa dia begitu berharga bagi saya. Bahwa saya merasakan sakitnya setiap kali ia menangis kesakitan di sofa, hingga dia tertidur dan bangun keesokan harinya seolah-olah setiap hari adalah hari yang sama.”

“Seolah-olah ia terjebak di hari ia dikeluarkan dari istana.”

Chanyeol menatap nanar. “Irene, saat itu aku tidak bisa melakukan apa-apa. Semua keputusan ada ditangan—“

“Saya tahu, Yang Mulia. Saya tidak pernah menyalahkan anda karena ini semua memang bukan salah anda.” Irene menarik nafasnya pelan, menghembuskannya sama pelan. “Begitu juga dengan Baekhyun. Ia tidak pernah menyalahkan anda.”

“Kenapa... kenapa kau mengatakan semua ini padaku, Irene?”

Irene bisa mendengar nada putus asa dari sang Raja. Namun tentu saja, ia punya alasan. Baekhyun adalah alasan.

“Karena saya ingin meminta bantuan anda, Yang Mulia.”

.

“Kau akan ikut bersamaku ke istana.”

“Apa?” tanya Baekhyun bingung, lalu menatap Irene yang berdiri disamping Chanyeol. “Lalu bagaimana dengan Irene?”

“Aku baik-baik saja, Baekhyun.”

Hanya Baekhyun yang bisa tahu kalau wanita itu sedang berbohong.

“Tidak.” Baekhyun melipat tangannya di dada. “Aku tidak akan pergi.”

Chanyeol menggigit bibirnya, Irene menghela nafas lelah.

“Apa yang bisa membuatmu pergi, Baek? Kau ingin bukti kalau aku hanya sakit biasa?”

Baekhyun menatap Irene lekat. “Kau tahu kan kalau kau bertingkah aneh? Sekarang kau mengusirku dari rumah. Sebenarnya kau itu kenapa, Irene?”

“Tidak enak badan.” jawab Irene lagi. “Kenapa sulit sekali bagimu untuk mempercayai itu?”

Sepasang suami istri itu mulai berbagi tatapan panas lagi, untuk yang kesekian kalinya. Merasa seperti akan hangus jika berlama-lama disana, Chanyeol berdeham pelan.

“Aku akan menunggu di mobil.” ucapnya pelan, menyelip ke pintu dan keluar dari rumah.

“Jadi, sampai akhir pun, kau tidak mau berkata jujur padaku?”

“Aku sudah jujur, Baekhyun. Pergilah. Aku tidak apa-apa.”

Baekhyun menghela nafas. “Oke, tapi kau harus berjanji untuk segera menelponku jika kau butuh bantuan, oke? Kau harus mengabariku setiap jam dan bila sesuatu terdengar aneh, kau harus langsung matikan lampu dan keluar dari rumah. Kalau kau tidak bisa, masuk ke dalam lemari dan ambil pisau yang kusembunyikan disana. Ingat—“

“Astaga, Baekhyun,” Irene tertawa, dan itu sedikit melegakan hati Baekhyun. “Aku bukan anak perempuanmu. Jesus.”

“Salahmu karena tidak mau berbicara padaku.”

“Oke, oke. Maaf. Sekarang pergilah, Chanyeol menunggu.”

Baekhyun merasa seperti dikalahkan. Ia menghela nafas pelan, lalu menarik Irene untuk menanamkan kecupan di keningnya cukup lama. Sesuatu yang selalu ia lakukan, sesuatu yang berarti ‘tetaplah baik-baik saja sampai aku kembali’, dan Irene tahu betul kalau mungkin saja, ini adalah kecupan kening terakhir yang bisa ia dapatkan dari Baekhyun.

Baekhyun melempar senyum simpul padanya, mengelus rambutnya sekilas sebelum berbalik menuju pintu. Irene berusaha menahan dirinya untuk tidak memanggil Baekhyun, atau berlari pada laki-laki itu. Punggungnya mulai menjauh, hendak meraih pintu dan benar-benar pergi, dan tepat sebelum Baekhyun menyentuh kenop pintu itu, Irene kalah melawan hatinya.

“Baekhyun!”

Saat Baekhyun menoleh, tubuh Irene sudah terlempar ke tubuhnya sendiri hingga punggungnya menabrak pintu, dan Irene menciumnya dalam tepat di bibir. Irene menciumnya seolah ia hanya bisa melakukan itu sekali. Ia mengalungkan tangannya ke leher Baekhyun, dan menyusuri helai rambut belakang Baekhyun dengan jemarinya. Yang bisa dilakukan Baekhyun hanyalah mengalungkan tangannya di pinggang Irene dan membalas ciuman wanita itu sama dalamnya, sama kuatnya, memastikan bahwa Irene tidak melakukan kesalahan.

Hingga ia merasakan pipinya basah, bukan karena air matanya namun karena airmata Irene. Meski begitu, wanita itu tetap tidak mau menjauh dari suaminya, hingga ia benar-benar kehabisan nafas dan lututnya terlalu lemas.

Keduanya hanya bisa mencari nafas saat Irene akhirnya menjauh, menempelkan dahinya ke dada Baekhyun, terengah-engah namun genggamannya kuat. Ia menguatkan dirinya untuk berdiri sendiri lagi, sedikit terhuyung namun akhirnya bisa. Ia menyelipkan helai rambutnya ke belakang telinga, lalu menghapus air matanya.

“Aku mencintaimu, Baekhyun.” ujarnya penuh rasa sakit. “Di masa depan, tolong jangan pernah merasakan sakit lagi.”

“Irene... kau yakin kau bisa sendiri? Haruskah aku tetap disini?”

Yang ditanya hanya menggeleng kuat-kuat. “Pergilah, Baekhyun. Kau harus pergi. Aku tahu kau ingin bersama Chanyeol.”

Baekhyun hanya diam, seolah Irene mau mengatakan hal lain.

“Pergilah, Baekhyun. Ia menunggu.”

Suara Irene terdengar begitu menuntut, hingga Baekhyun merasa seperti harus menurutinya meski itu melawan suara hatinya sendiri. Ia berbalik perlahan lagi, dipenuhi keraguan. Kali ini Irene tidak memanggilnya lagi saat ia membuka kenop pintu dan hendak melangkah keluar, namun ia sempat mendengar sesuatu saat ia hendak menutup pintu.

“Jaga dirimu baik-baik, Baekhyun.”



Halo semuaaaaaaa!

Aku akhirnya update meski jumlah komen yg kutargetkan belum tercapai uhuhu tapi gapapa kok, aku greget pengen upload, hahaha.

Gimana chapter ini? Ada pait paitnya gitu ya?

Jangan lupa tinggalin komen ya😁 will be back kalo komen mendesak untuk update banyak😁

[ChanBaek] Half BeatWhere stories live. Discover now