21. Backfire

8.8K 1.2K 181
                                    

AUTHOR POV

Dua puluh menit kemudian, semuanya berjalan seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Hanya saja tenaga Chanyeol sudah terkuras terlalu banyak, tapi ia berusaha menghargai mereka yang jauh-jauh datang ke istana untuk menerima penghargaan. Ia berdiri di panggung, dengan Seohyun yang dengan anggun berdiri mendampinginya, bertugas untuk memberinya medali untuk dikalungkan pada pemiliknya.

Suara pemandu kerajaan terus-terusan menyebutkan nama, yang Chanyeol tidak serap ke dalam kepalanya karena ia masih terbasuh perasaan yang melingkar sejak dua puluh menit lalu. Yang ia tahu dirinya hanya mengalungkan medal ke orang-orang, berulang-ulang hingga semakin banyak orang dibawah panggung yang memakai medali emas khas kerajaan.

“Selanjutnya adalah Tn. Byun Baekhyun, yang dengan berkat kerajaan mampu mengelola banyak perpustakaan di kota-kota seluruh negeri, sekaligus penulis inspirator handal, konglomerat muda dengan potensi yang memuaskan. Untuk Tuan Byun, dipersilahkan untuk naik ke atas panggung untuk menerima penghargaan.”

(Oke maaf author cut ya, cuma mau bilang adegan ini aku tulis sambil dengerin lagunya Suho yang Curtain. Feels nya dapet banget!)

Aneh betapa nama itu bisa membuat segala hal disekitar Chanyeol seakan berhenti. Adrenalin yang tadinya lelah kembali terbakar, matanya mencari-cari sosok yang seharusnya menuju ke panggung sekarang. Dan benar saja, orang-orang mulai membelah membentuk barisan agar Baekhyun bisa berjalan menuju panggung.

Chanyeol berusaha untuk tidak fokus pada rambut Baekhyun yang sedikit berantakan, atau pelipisnya yang lembab akan keringat. Kedua iris pria itu masih sayu namun ia dengan tegap tetap berjalan ke atas panggung, menyunggingkan senyum tipis sebelum sepenuhnya berdiri tepat di depan Chanyeol, yang buru-buru mengalihkan pandangannya saat tidak sengaja melirik bibir Baekhyun.

Seohyun tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya, meski wanita itu pantas disebut sebagai Ratu Penahan Emosi. Saking terkejutnya, ia sempat terlamun beberapa detik dan medali Baekhyun tergelincir dari tangannya, terpantul di lantai dengan bunyi nyaring yang canggung.

Hal itu berhasil memutuskan tatapan mata Chanyeol dan Baekhyun, kini keduanya menatap Seohyun, dan sang Ratu muda bagai terhujam ratusan pisau saat kedua matanya bertemu dengan mata Baekhyun. Tatapan dan ekspresi Baekhyun sulit diartikan, dengan senyum yang seadanya dan mata yang menunjukkan ketenangan, untuk beberapa alasan Seohyun tidak menyukainya.

Lalu tanpa memutuskan kontak mata dengan Seohyun, Baekhyun turun ke bawah dan berlutut dengan satu kakinya. Ia tersenyum miring lalu mengambi medalinya, lalu berdiri kembali masih dengan tatapan menghujamnya pada Seohyun.

“Yang Mulia, apakah anda baik-baik saja?” tanya Baekhyun tenang, memberikan medali itu pada Seohyun.

“A-Aku...” Seohyun menelan ludahnya. Wanita itu lalu menunduk ke bawahnya saat ia merasakan Ravel memeluk pinggang ibunya erat, ikut menatap Baekhyun bingung. Saat itulah Baekhyun merasakan perutnya terjungkir balik melihat sosok kecil disana, yang hingga lekukan matanya pun begitu mirip dengan Chanyeol.

Ia menatap Chanyeol, seakan meminta izin. Chanyeol hanya bisa mengangguk, mempersilahkan Baekhyun.

“Halo...” ujar Baekhyun lembut saat ia sudah menyamai tinggi Ravel. Ia tersenyum manis kepada anak itu, mengelus lengannya. Ravel hanya merunduk sedikit dan membalas ‘Halo’ dengan sopan. Baekhyun tersenyum lebar kali ini, lalu menyentuh pipi Ravel.

Bisa dibilang, hal-hal kecil tertentu membuat Seohyun sedikit merasa terganggu. Pertama, cara Baekhyun menatap Ravel penuh kehangatan yang nyata, itu mengganggunya. Kedua, tangan Ravel yang tadinya melingkar di pinggang Seohyun mulai terkulai dan lepas, tanda kalau putranya itu mulai rileks berada dihadapan Baekhyun.

Baekhyun.

Laki-laki itu datang lagi, ke kehidupannya, Chanyeol, dan Ravel, tanpa ada raut beban sedikit pun. Selama lima tahun Seohyun tersandung-sandung dengan mimpi dimana Baekhyun kembali lagi untuk merebut Chanyeol dari genggamannya, sekarang sosok itu hadir lagi disini tanpa ciut. Rasanya begitu mudah bagi Baekhyun untuk menghancurkan dinding pertahanan Seohyun yang telah wanita itu bangun sekuat tenaga.

“You speak English, right?” tanya Baekhyun halus, Ravel mengangguk dengan sedikit senyuman. “You really look like Chan-“

Baekhyun terhenti karena menyadari semua orang mulai menatapinya. Dengan tenang ia kemudian melanjutkan, “You really look like the King.”

Ravel tersenyum menampakkan giginya. “Well, people say I’ll be a King someday.”

“That’s true,” jawab Baekhyun mencubit pipi Ravel. “You’re going to be a great, great King, Prince Ravel. Like your Father.”

Baekhyun kemudian mundur kembali ke tempatnya menerima medali, melempar senyum terakhir pada Ravel lalu merunduk sembilan puluh derajat dihadapan Raja dan Ratu. Sebelum ia benar-benar turun dari panggung, Seohyun menangkap sebuah cincin emas yang melingkar di jari manis Baekhyun.

Acara penghargaan terus berlanjut dengan begitu banyak pertanyaan di kepala Seohyun, dan Chanyeol hanya ingin segalanya cepat selesai.

.

“Jadi bagaimana?”

Baekhyun menghempaskan badannya ke tempat tidur kamarnya, dengan ponselnya yang ia letakkan begitu saja di dadanya, sedang dalam panggilan dengan Irene yang ia letakkan pada mode speaker.

“Bagaimana apanya?”

“Acaranya. Kamarnya. Medalinya. Oh, kau belum memotretnya! Aku ingin lihat!” seru Irene dari seberang sana. Disekitarnya terdengar bunyi alat-alat masak yang bertabrakan dan beradu.

“Yah, acaranya bagus. Kamarnya juga, aku senang. Medalinya biasa saja, lagipula medaliku sudah banyak.” jawab Baekhyun lelah. “Ngomong-ngomong, kau sedang memasak ya?”

“Iya, aku kedatangan tamu spesial malam ini.”

“Siapa?”

“Selingkuhanku, kau tidak tahu dia siapa, kan?” canda Irene.

“Aku serius,” Baekhyun melonggarkan dasinya. “Jangan buka pintu untuk sembarang orang. Aku tidak mau peristiwa setahun lalu terulang kembali.”

Setahun lalu, saat Baekhyun terpaksa lembur di perpustakaan karena meeting hingga jam tiga pagi, Irene sendirian di rumah mereka dan beberapa pemerkosa berusaha membobol pintu. Irene menyadarinya ketika mereka sudah memasuki ruang tamu, dengan panik mengunci kamar dan menelpon Baekhyun.

“Hahaha. Aku ingat bagaimana dulu kau berlari dari perpustakaan ke rumah karena mendengar kabar rumah kita dibobol. Kalau dipikir-pikir, waktu itu adalah pertama kalinya kau menghajar seseorang untukku. Kau bahkan mematahkan rahangnya, Baek.” tawa Irene terdengar tulus dari seberang sana, sedikit melegakan karena tandanya wanita itu baik-baik saja ditinggal sendirian.

Badan Baekhyun terkulai lemas, namun ia tidak ingin menutup telfon dari Irene. Sebisa mungkin ia menjawab pertanyaan kecil istrinya, meski kedua matanya terasa begitu berat. Lupakanlah mandi dan ganti baju, Baekhyun hanya ingin tidur. Hari ini telah menguras terlalu banyak tenaga dan emosinya.

“Baekhyun...” ujar Irene pelan saat Baekhyun benar-benar sudah diambang tidur. “Aku benar-benar bersyukur sempat memilikimu...”

Selanjutnya, Baekhyun tidak mendengar apa-apa lagi.

.

Luhan mendesah pelan saat ia terbangun dari tidur sebentarnya. Ia membuka mata sedikit dan mengerang halus akibat rasa sakit yang sedikit menyengat di bagian bawahnya. Ketika ia sadar, Sehun tengah tidur disisinya dengan posisi wajah tenggelam di leher Luhan, keduanya tanpa busana dan menjadi alasan jelas mengapa tubuh Luhan terasa sakit.

Jujur saja, ia tidak begitu ingat kejadian semalam. Ia hanya ingat bertemu dengan Sehun yang sempoyongan sambil memegang segelas wiski, di lorong kecil istana tempat kamar Luhan dulu terletak. Luhan melihatnya saat Sehun merunduk di lantai untuk mencari mahkotanya yang jatuh, dan Luhan mengambilnya. Setelah itu Sehun melihatnya dan mereka berdua menangis, ia hanya duduk mendengarkan keluh kesah Sehun yang mendadak dijadikan Pangeran Mahkota sementara, yang menurutnya terasa begitu berat namun tidak seberat kehilangan Luhan.

Kembali ke realita, Luhan mengelus rambut hitam pekat Sehun dengan jemari lembutnya. Memang sudah aturan istana kalau Raja dan Pangeran Mahkota harus berambut hitam. Oleh karena itu baik Chanho dahulu maupun Sehun terpaksa harus menghitamkan rambutnya meski mereka menyukai warna rambut lain.

Jauh di dalam lubuk hatinya, Luhan begitu bersyukur Ravel lahir. Dengan begitu Sehun tidak perlu menikahi seorang gadis bangsawan, atau menjadi Pangeran Mahkota tetap. Ia begitu bersyukur kekasihnya masih lajang hingga saat ini. Sambil terus menatapi wajah tidur Sehun, Luhan pelan-pelan menitikkan air matanya mengingat betapa panjangnya perjalanan yang mereka telah lalui bersama. Betapa kerasnya laki-laki itu mempertahankan Luhan hingga saat ini, dari sejak pertama kali melihat Luhan merakit mesin di jalanan hingga sekarang ia lengser sementara dari kedudukannya di istana. Luhan sulit meminta lebih.

Lalu ia mendengar ketukan pintu kamar. Dengan bingung, Luhan melepaskan diri dari balutan tubuh Sehun dengan tidak rela dan memakai celana yang tergeletak di lantai. Ia berjalan menuju pintu dan mengintip lewat lubang, melihat wajah Kyungsoo penuh harap dibalik pintu. Dengan semangat ia membuka pintu, lalu terpana melihat sosok didepannya saking rindu. Kyungsoo juga berkaca-kaca, dengan cepat menarik Luhan ke pelukannya tanpa berkata-kata.

“Lu...”

Luhan hanya terkekeh pelan, membalas pelukan erat Kyungsoo dengan sama erat. Biasanya Luhan yang selalu mengekori dan mencari-cari Kyungsoo, hingga kini aneh rasanya melihat Kyungsoo mencarinya. Saat pelukan mereka terlepas, senyum sumrigah Luhan lenyap melihat luka-luka di wajah dan tubuh Kyungsoo yang baru ia sadari.

“Apa yang terjadi padamu?”

“Bukan apa-apa,” kata Kyungsoo sambil tersenyum.

“Kyungsoo,” mata Luhan menyipit. “Siapa yang melakukan ini padamu?”

Kyungsoo memutar bola matanya. “Sudah kubilang bukan apa-apa. Aku hanya terserempet mobil saat-“

“Terserempet mobil?! Saat apa?!”

“Mengejar Kai karena waktu itu-“

“Kai?! Oh, jadi ini semua gara-gara Kai?” gerang Luhan tersulut emosi.

“-Karena waktu itu aku menolak lamarannya untuk menikah.”

Mendadak, emosi yang tadinya sudah menyulut Luhan, turun seketika bergantikan dengan perasaan campur aduk, antara bingung, sedih, terkejut, dan sedikit marah. Ia tidak tahu mengapa ia marah. Yang jelas ia hanya bisa berkata:

“Kenapa?”

“Aku tidak tahu.” jawab Kyungsoo pelan, sedikit menunduk. “Aku menyesal.”

“Menyesal menolak lamarannya?”

Kyungsoo mengangguk.

“Tentu saja kau menyesal,” ketus Luhan. “Kau menolak satu-satunya lamaran dari satu-satunya orang yang pernah kau cintai seumur hidupmu.”

“Kenapa nada bicaramu seperti itu?” tanya Kyungsoo sedikit kesal.

“Entahlah, Kyungsoo,” Luhan menutup pintu kamar sedikit keras dan keluar kamar agar Sehun tidak mendengar. “Aku hanya merasa sedikit kesal. Sebenarnya sangat kesal.”

“Kenapa?”

“Pernahkah kau berfikir bagaimana perasaanku dipisahkan dari Sehun bertahun-tahun? Hanya mampu melihatnya dari TV? Tidak tahu apakah ia memikirkanku atau tidak? Atau sulit tidur setiap malam memikirkan dia yang mungkin harus menikah karena ia punya jabatan?”

Kyungsoo terdiam, mengerti arah pembicaraan.

“Atau mungkin perasaan Baekhyun? Yang dilengserkan dari posisinya, terasingkan diluar sana, mendengar kabar Chanyeol menikah hingga punya anak tanpa tahu harus berbuat apa, bahkan berubah total karena berusaha melupakan Chanyeol?”

Luhan bergetar. “Kami semua terendam dalam perasaan menyiksa itu, Kyungsoo, selama bertahun-tahun. Tapi kau tidak.”

“Kau bangun dan Kai ada disisimu.”

“Kau bernafas disampingnya setiap hari.”

“Kau bisa memeluknya dan mendengarkan detak jantungnya yang masih berdetak cepat untukmu. Kau bisa menggenggam tangannya tanpa ada satu orang pun yang menghalangi kalian untuk bersama.”

“Tidak seperti aku dan Baekhyun.” tutur Luhan pelan berusaha menenangkan diri. “Tidak perlu kau menderita seperti kami, tapi kau menolak lamarannya,”

“Kau mungkin tidak pernah tahu betapa aku dan Baekhyun berharap mendapat lamaran seperti itu, mungkin lebih dari kau,”

“Jadi jangan salahkan aku kalau... aku kecewa padamu, Kyungsoo.” kata-kata halus itu menghujam dada Kyungsoo, yang kini semakin digerogoti perasaan menyesal dan bersalah. Ia terlalu lemas untuk sekedar berdiri, namun di depan Luhan, ia merasa malu jika harus jatuh.

Luhan benar. Ia salah besar karena telah menolak lamaran Kai. Laki-laki itu pasti sangat sedih sekarang memikirkannya. Ia terlalu memikirkan hal lain hingga ia lupa bahwa Kai begitu penting baginya dan tak sanggup ia lepaskan. Kyungsoo menyisir rambutnya ke belakang dengan frustasi, tak mampu membela diri, lalu ditinggal Luhan tepat di tempatnya berdiri.

.

Baekhyun menekuk lututnya dan terduduk di lantai, menghadap ke jendela besar kamarnya. Entah apa yang ia lihat, yang jelas kepalanya terlalu penuh hinga ia harus terbangun tengah malam dan tidak bisa kembali tidur. Ia menghela nafas beberapa kali, memikirkan banyak hal. Mulai dari Chanyeol hingga Irene...

Saat ia mendengar bunyi pintu terbuka, Baekhyun berfikir ia menghayal. Tapi saat ia mendengar derap langkah familiar mulai mendekat ke arahnya, dengan perlahan ia menoleh dan melihat figur seseorang dalam kegelapan kamarnya, yang ia tahu jelas siapa.

Melihat orang itu saja, Baekhyun merasa akan menangis detik itu juga. jadi ia mengalihkan kepalanya dan memfokuskan diri ke jendela kembali, sambil memejamkan mata berusaha mengontrol detak jantungnya yang menggila. Sedikit yang ia tahu, orang itu telah kebingungan selama berjam-jam sebelum memutuskan untuk datang kesini.

Baekhyun benci kenyataan ia begitu lemah ketika dua lengan kekar itu berkalung di belakangnya, memeluk Baekhyun erat dan menenggelamkan kepalanya di punggung Baekhyun. Butuh tenaga banyak untuk tidak menangis saat itu juga.

“Kau tidak seharusnya ada disini,”

“Aku tahu.” jawab orang itu berat. “Tapi sulit untuk tidak mendatangimu saat kau ada begitu dekat denganku.”

“Yang Mulia...”

“Chanyeol. Panggil aku Chanyeol. Tolong,”

“Chanyeol...”

Tidak ada respon. Yang bisa Baekhyun lakukan hanya mengelus punggung tangan Chanyeol di dadanya perlahan. Entah bagaimana rasanya, ia bisa merasakan semua perasaan Chanyeol melalui sentuhan itu. Sangat terasa kalau lelaki itu tidak bahagia. Sebagian dari itu mungkin salahnya, tapi ia tidak bisa melakukan apa-apa.

“Bagaimana dengan istrimu dan anakmu?” tanya Baekhyun dengan raut tenang. “Kau meninggalkan mereka saat mereka sudah tidur?”

“Iya,” jawab Chanyeol, memejamkan mata. “Bagaimana dengan istrimu?”

“Merindukanku.” Baekhyun tersenyum miring. “Aku tidak pernah meninggalkannya sendirian.”

Chanyeol mengeratkan pelukannya secara drastis hingga Baekhyun merasakan aliran udara di lehernya menyempit. Ia berusaha melepas pelukan Chanyeol namun tenaga lelaki itu terlalu keras. Itu bertahan beberapa detik hingga Chanyeol melemas dan Baekhyun terbatuk-batuk sambil memegangi lehernya.

“Chanyeol,” lirih Baekhyun. Ia melihat Chanyeol menatap lantai begitu ganas, entah apa salah lantai itu. Yang jelas, ia melihat gerakan rahang Chanyeol yang mengeras, matanya sedikit membasah.

“Wow,” bisik Chanyeol dengan nada pahit. Air pertamanya jatuh. “Kau terdengar bahagia sekali. Aku bisa gila.”

Baekhyun hendak mengatakan sesuatu, namun Chanyeol menatapnya parau hingga tenggorokannya terasa kering. “Bae Irene? Hahaha.”

“Oh, aku lupa. Byun Irene, ‘kan?”

Saat itu, betapa Baekhyun merasa Chanyeol jahat padanya.

“Kau tidak bisa begini padaku.” jawab Baekhyun akhirnya, disertai isakan yang instan. “Kau tidak bisa menuduhku bahagia sepenuhnya sementara kau menderita sepenuhnya. Itu tidak adil, dan salah.”

Selanjutnya, Baekhyun terseret ke dalam pelukan erat Chanyeol. Kali ini, pelukan itu terasa erat, hangat, namun juga menyakitkan.

“Jangan lakukan ini padaku, Baekhyun. Kembalilah padaku. Aku bisa gila.”

Baekhyun hanya diam. Seandainya Chanyeol bisa gila, maka Baekhyun sudah gila berkali-kali, hingga merasakan sentuhan Chanyeol saja pertahanan kuatnya runtuh bagai debu. Chanyeol tidak tahu apa-apa.

.

Mereka tidak tidur hingga subuh. Keduanya menghabiskan waktu dengan saling diam. Pukul lima subuh saat keduanya sudah tidak dibalut emosi, Chanyeol memakaikan jaketnya pada Baekhyun dan keduanya menyelinap keluar dari istana. Anehnya, Baekhyun hanya diam saat jari-jarinya terpaut dengan jari Chanyeol, keduanya berjalan entah kemana dengan mobil sport hitam Chanyeol.

Pukul enam pagi, Baekhyun terbangun di kursi mobil Chanyeol yang atapnya terbuka. Disebelah kanannya, pemandangan laut terlihat jelas. Mereka berada di Laut Timur. Saat ia menoleh ke sebelah kiri, ia melihat wajah Chanyeol tertidur lelap dengan kacamata hitam yang sedikit melorot ke hidungnya.

Baekhyun tersenyum kecil, melepas kacamata itu perlahan berusaha tidak mengganggu tidurnya. Ia lalu kembali ke pemandangan laut, yang begitu lugu dan natural berhias warna biru-biru oranye khas matahari terbit. Anginnya bahkan terasa sepoi-sepoi memperlengkap rasa terhibur yang menyapu dada Baekhyun.

Sekitar tiga puluh menit kemudian, Baekhyun dan Chanyeol berjalan di bibir pantai. Chanyeol dengan piyama tidur Raja-nya yang terbalut beberapa hiasan keemasan, dan Baekhyun dengan baju resmi kemarin malam, hanya dengan kemeja putih tanpa dasi. Keduanya bergandengan tangan dengan longgar, kaki mereka tersapu-sapu ombak ringan tapi keduanya tidak perduli. Chanyeol memegang sepatu Baekhyun, keduanya terlalu larut dalam pikiran masing-masing untuk berbicara.

Hingga saat matahari sepenuhnya terbit, Chanyeol menghela nafas pelan sedangkan Baekhyun terduduk disampingnya memandangi pasir pantai yang putih. Keduanya merasa begitu damai dengan hiburan kecil ini.

“Aku mencintaimu, Baekhyun.”

Baekhyun hanya tersenyum kecil penuh arti.

“Maaf harus menempatkanmu pada posisimu yang sekarang,” mata Chanyeol hanyut dalam birunya laut. “Aku tidak bermaksud melakukannya.”

“Aku tahu. Bukan salahmu.”

Chanyeol menoleh ke samping, mendapati Baekhyun masih tersenyum. Itu adalah salah satu hal yang ia tidak suka dari Baekhyun. Haruskah laki-laki itu selalu berusaha tampak kuat? Mata Baekhyun sangat memperlihatkan sebaliknya. Ia memandangi Baekhyun, dari atas rambutnya yang sedikit terbang karena angin, wajah, lehernya, hingga dada dan lengannya. Jemarinya yang terpaut dan cincin pernikahannya di jari manis-

Chanyeol berhenti menatap. “Baekhyun,”

“Ya?”

“Apa barangkali, kau melepas cincin pernikahanmu sebelum kesini?”

“Huh?” tanya Baekhyun bingung, lalu melihat tangan kanannya yang kosong tanpa cincin. Saat ia menyadari cincin itu tidak terpasang, matanya melebar panik. Ia melirik Chanyeol sekilas lalu melihat sekitarnya, mencari-cari.

“Kau tidak melepasnya?”

“Oh, tidak,” erang Baekhyun. “Aku kehilangan cincin itu.”

Meski sedikit, entah mengapa Chanyeol ikut merasa panik. Baekhyun bangkit dari duduknya dan berlari-lari kecil ke sekitar sambil mencari-cari cincin ditengah pasir. Bisa Chanyeol lihat raut paniknya, yang membuat ia terpaksa ikut berdiri dan mengikuti Baekhyun.

“Chanyeol, kurasa kita harus kembali ke mobilmu. Mungkin cincinnya terjatuh disana,” kata Baekhyun cepat lalu berbalik badan hendak menuju mobil Chanyeol. Namun dengan cepat, Chanyeol menahan lengan lelaki itu, mendapat tatapan bingung bercampur panik dari Baekhyun.

“Haruskah kita mencari cincin itu? Sepenting itukah?”

Kata-kata ‘Tentu saja penting!’ sudah berada diujung lidah Baekhyun. Sedikit lagi, kata-kata itu akan keluar. Namun, ia mendapat tatapan yang sulit diartikan dari Chanyeol. Rambut hitam pria itu sedikit menutupi matanya, namun tatapannya pada Baekhyun tidak putus.

“Tanya hatimu, Baek. Apa cincin itu penting?”

Dari semua perasaan dan emosi yang Chanyeol berikan padanya, ia paling benci disudutkan. Meski ia tidak mengerti mengapa pertanyaan sederhana itu terdengar begitu mengintimidasi saat yang harus ia jawab hanya kata ‘Ya’.

Chanyeol tersenyum miring, lalu menjilat bibirnya sendiri. Baekhyun sempat terpesona dalam sepersekian detik yang singkat itu. Lalu tangan Baekhyun dilepas begitu saja, ia tidak sadar apa yang akan Chanyeol lakukan sampai laki-laki itu mulai melepas cincin pernikahannya sendiri dengan Seohyun, dan mengangkatnya tepat didepan wajah Baekhyun.

“Ini?” tanya Chanyeol entah pada siapa. “Tidak penting.”

Jantung Baekhyun mencelos saat Chanyeol mengangkat tangannya kebelakang, lalu melempar cincin itu sejauh mungkin, hingga tenggelam di laut. Bibir Baekhyun terbuka lebar, begitu juga matanya. Baru saja, Chanyeol membuang cincin pernikahannya sendiri. Cincin pernikahan kerajaan. Cincin pernikahan Raja dan Ratu. Cincin yang memiliki nilai sejarah, namun ia membuangnya begitu mudahnya.

“Hei,”

Baekhyun menoleh, menatap mata Chanyeol yang teduh. Ia masih terkejut, namun tatapan laki-laki didepannya terlalu menenangkan. Chanyeol menggenggam tangan kanan Baekhyun dengan tangan kanannya, lalu mengangkatnya, memperlihatkan Baekhyun jari-jari mereka yang sama-sama kosong tanpa cincin.

“Jika begini, apa semuanya tidak apa-apa?”

Baekhyun menatap Chanyeol, lalu turun pada tangannya. Ia melekati pemandangan itu, dimana tangan-tangan mereka saling menggenggam namun tidak ada ikatan yang menghalang. Sungguh pemandangan paling sederhana yang membuat Baekhyun tercekat dalam hatinya.

Chanyeol terus menatap Baekhyun, hingga genggaman tangannya ia naikkan menuju bibirnya, mencium punggung tangan Baekhyun cukup lama. Memejamkan mata, Baekhyun menikmati sensasi hangat di tangannya yang begitu ia dambakan.

“Aku hanya akan bertanya sekali, Baek. Jadi dengarkan baik-baik.” ujar Chanyeol tegas, genggamannya mengerat.

“Maukah kau lari dari semua ini denganku?”

.

Seohyun tidak mengerti kenapa ia benci melihat wanita lugu dan cantik didepannya. Sedari tadi, wanita itu hanya tunduk menatap cangkir kopinya yang mulai dingin, sama sekali tidak berusaha menyamankan suasana.

“Irene?”

Irene terkejut. “Y-Ya?”

Seohyun menghela nafas, sedikit kesal, sedikit bosan. “Apa kau merasa tidak nyaman?”

Irene lalu melirik ke arah belakang Seohyun. Disana ada sekitar 10 orang pengawal yang berdiri rapi untuk menjaga Seohyun. Jumlah itu belum dihitung lima belas pengawal lainnya yang mengepung rumahnya dari segala arah untuk menghindari kemungkinan Seohyun berada dalam bahaya.

“Maafkan saya, Yang Mulia Ratu. Saya hanya tidak terbiasa dengan orang banyak.”

Seohyun lalu menoleh ke belakang, mengisyaratkan semua pengawal untuk keluar dan menjaga dari luar saja. Meski beberapa keberatan, semua akhirnya mundur dan keluar setelah memberi tatapan tajam pada Irene.

“Jadi, Bae Irene,” mulai Seohyun setelah hanya tersisa mereka berdua di ruangan. “Kau tahu siapa aku? Selain Ratu.”

Irene terdiam, kepalanya menunduk dalam.

“Irene, kurasa aku tidak bisa duduk disini lebih lama dan melihatmu diam. Haruskah aku berbicara langsung pada intinya?” lanjut Seohyun akhirnya dengan agak kesal.

Dengan nada itu, cukup membuat Irene turun dari kursinya dan berlutut didepan Seohyun, tidak berani menatap mata sang Ratu. “Maafkan saya, Yang Mulia.”

Seohyun ikut turun, mengambil dagu Irene dengan tangannya, memaksa istri Baekhyun itu menatapnya. Betapa lemah, dan tidak berdaya, pikir Seohyun.

“Dengar aku.”

“Aku bisa melukai Baekhyun.” ancam Seohyun. Ia sudah tidak perduli lagi dengan image nya. “Aku lebih dari bisa melakukannya.”

Mata Irene berkaca-kaca, terlalu takut untuk membayangkannya.

“Bagus. Menangislah. Aku tahu betapa kau mencintai suamimu.” sindir Seohyun. Semua orang mencintainya. Bahkan suamiku, Batin Seohyun.

“Kau tidak mau kehilangannya, aku tahu. Aku juga tidak mau kehilangan suamiku. Kau tahu itu, kan?”

Irene mengangguk takut. Bibirnya bergetar hingga ia tidak bisa berbicara.

“Jadi, kau harus bekerja sama denganku.”

Irene tercekat saat tangan Seohyun turun ke lehernya, mencekik Irene dengan kuku yang cukup panjang hingga terasa perih. “Kau tahu kenapa Chanyeol tidak pernah berusaha mencari Baekhyun lagi selama ini? Karena Ravel. Anakku dan Chanyeol.”

“Semua pria berubah saat mereka memiliki anak, Irene. Begitu juga dengan ibu dari anaknya. Ibu dari anak mereka akan bernilai jauh lebih penting baginya.”

“Kuberi kau waktu enam bulan. Sampai pada saat itu, bawakan aku bukti bahwa kau sedang mengandung anak Baekhyun. Dengan bukti itu, aku jamin, kau tidak akan kehilangan dia.”

Seohyun melepas leher Irene dengan hentakan, lalu bangkit. Ia berusaha menyembunyikan tangannya yang bergetar dibalik gaunnya, dengan anggun berjalan ke arah pintu, meninggalkan Irene yang masih tersungkur di lantai, menangis.

Saat ia berjalan menuju mobilnya, Seohyun berhenti sejenak dan memegangi dadanya hingga beberapa pelayan wanita mulai menghampirinya dan memeganginya. Ia melirik kukunya yang ternodai darah Irene, lalu bergetar.

Baekhyun, semoga kau sadar, kau telah merubahku menjadi seorang monster.
Dan tak akan kubiarkan itu sia-sia.
Suamiku adalah milikku, akan kubuat kau mengingat itu selalu.



Oke, first of all, author mau bilang kali ini author note nya agak panjang. Mungkin setelah kalian baca note ku yang ini, ada diantara kalian yang akan berhenti baca half beat karena perbedaan pendapat sama aku. But, I think I really need to say this.

Please,

Stop misgendering Baekhyun.

Atau bahasa indonesianya, jangan menganggap atau mengklaim Baekhyun itu perempuan.

Baekhyun itu laki-laki, dan selama Baekhyun tidak pernah bilang kalau dia perempuan, maka dia itu laki-laki. Mungkin agak absurd ketika aku bilang ini, tapi itu pendapatku.

Aku ngerti kalian sedih dengan datangnya Irene di fanfic ini. Kalian merasa bahwa moment ChanBaek berkurang, dan itu buat kalian sebal. But is it nessessary to say 'Ih, apaan nih? Kaya lesbian.'

Temen-temen, itu gak lesbian karena Baekhyun itu laki-laki dan Irene perempuan. Kalo kata Luhan: "Mungkin aku terlihat cantik, tapi aku bisa menghamili perempuan, apapun yang orang lain katakan."

Aku ga akan ngebales komen yang nantinya kaya gitu lagi, melainkan, aku akan langsung hapus karena aku gak mau ada komen yang menghina kodrat Baekhyun.


Kedua, mengenai alur ceritanya yang bagi kalian kurang pas atau banyak sedihnya, aku berusaha untuk terus menjaga alurnya stabil atau gak random demi menjaga feels nya. Dan aku berharap kalian bisa menikmatinya sesuai dengan yang kubuat. Kalau kalian gak berkenan dengan alur ceritanya, aku minta maaf tidak bisa memenuhi ekspektasi kalian, karena aku ga akan merubah alur hanya karena beberapa orang menginginkan alur yang berbeda.

...

(Author abis baca ulang note diatas)

Anjir, aku galak banget ya?

Tenang-tenang, author gak marah. Author ga akan ngambek dan ngediemin Half Beat ga update setengah tahun (sebuah sindiran untuk diri sendiri). Author akan menulis ketika author bener-bener pengen nulis, biar hasilnya bagus, hehe.

Terakhir, makasih untuk kalian yang selalu support Half Beat, selalu vote dan komen di setiap chapternya, aku bener-bener salut ke kalian bener bener respect. Aku sayang kalian semua. Maaf aku banyak salah, lama update, dan sebagainya. Untuk kedepannya, aku akan berusaha memenuhi ekspektasi kalian dan lebih sering update.

Love,
Author.

[ChanBaek] Half BeatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang