25. Secrets

18.5K 1.4K 803
                                    

I miss you guys, this is another long chapter for you. 7078 words, enjoy.


SEOHYUN POV

Aku tahu, aku orang yang jahat.

Dan aku yakin, kalian enggan mendengar suaraku. Kisahku. Atau sekedar mengetahui apa yang selama ini aku rasakan.

Tapi dalam cerita ini, rasanya tidak adil jika kalian hanya mendengar suara dari Irene dan melimpahkan semua kesalahan padaku, meski aku tahu sebagian besar dari masalah itu terjadi karena aku.

Karena aku menikah dengan Chanyeol?
Karena aku membenci Baekhyun?
Karena aku mendatangi Irene?
Karena aku mengandung dan melahirkan Ravel?

Kalau dipikir-pikir lagi, rasanya aku memang jahat. Tapi jika orang-orang mau perduli sedikit saja, atau memperhatikan barang sebentar, itu bukan salahku kalau Chanyeol naik ke tahta dan membutuhkan Ratu. Bukan salahku karena menikah dengannya karena itu perintah dari Chanho.

Chanyeol tetap akan menikah dengan perempuan dan diwajibkan untuk mempunyai keturunan, meski bukan denganku. Karena ia ‘tiba-tiba’ diletakkan di garis utama keturunan kerajaan, yang kebetulan membutuhkan pangeran mahkota untuk memegang tahta selanjutnya.

Melahirkan Ravel adalah sesuatu yang tidak akan mungkin aku sesali. Kalian harus mengerti bahwa seorang ibu akan tetap menyayangi anaknya, begitu besar, terlepas siapa ayahnya. Jika Ravel adalah anak Chanho, maka rasa sayangku akan sama besarnya. Dan kalian juga harus mengerti, saat kau memiliki seorang putra, kau hanya ingin hal terbaik untuknya. Memastikan ia tidak terluka karena ia lahir sebagai seorang Pangeran, seperti Chanyeol sebelum ia menjadi Raja.

Kau hanya memiliki keinginan untuk melindungi putramu, baik dari orang luar, atau melindunginya dari keluarga yang hancur. Lebih tepatnya, kau ingin menjaga keluargamu tetap baik-baik saja, meski dalam hal itu aku harus mengorbankan perasaanku sendiri dan perasaan Chanyeol.

Lalu, Baekhyun.

Aku akan terdengar begitu munafik saat mengatakan ini, tapi aku tidak membencinya. Lebih tepatnya mungkin, selama ini aku merasa begitu bersalah dan buruk padanya. Ia selalu datang ke dalam mimpiku, seperti yang sering aku katakan. Seolah-olah ia terus mengetuk pintu rumahku dan ingin mengambil Chanyeol dariku. Hal itu, tentu saja tidak bisa kulakukan.

Karena Chanyeol adalah suamiku.

Kalau kalian bertanya pada Irene, mungkin ia akan rela melepas Baekhyun pada Chanyeol. Namun posisiku jauh lebih rumit dari Irene. Aku adalah ibu negara, yang melahirkan pewaris tahta. Istri sah dan satu-satunya dari Chanyeol, beserta segudang tanggung jawabnya.

Jika Chanyeol hancur, maka aku akan hancur. Jika aku hancur, Ravel akan ikut hancur.

Terlepas dari semua itu, mungkin aku suit berbohong, bahwa aku sangat mencintai Chanyeol. Dan aku bukan seseorang yang berkarakter ideal, yang lembut dan rela berkorban seperti Irene atau rela menyiksa diri sendiri seperti Baekhyun. Aku akan melihat kesempatan yang ada untuk mempertahankan Chanyeol, dan memakainya dengan cepat. Aku tidak menunggu apapun dan memutuskan sesuatu sesuai dengan kehendakku karena itulah aku, seorang Seo Joo Hyun.

Karena seperti itulah usahaku untuk mempertahankan segala yang kupunya, mulai dari keluarga kecilku yang tidak bahagia meski Ravel tidak menyadarinya, hingga martabatku sebagai wanita yang terhormat dan suamiku, Chanyeol. Karena diam dan tidak berbuat apa-apa sementara segalanya perlahan hancur sama sekali bukan caraku untuk bertahan.

Jadi, semua ini bukan soal Baekhyun, Irene, atau Chanyeol. Semua ini soal aku, kehidupanku beserta segala kerumitannya, dan usahaku untuk mempertahankannya.

AUTHOR POV

Kyungsoo terheran-heran dengan pelakuan orang-orang padanya pagi itu. Seperti biasa, setiap pagi ia akan pergi ke pasar untuk membeli bahan dapur kerajaan, dan membawanya ke dapur. Biasanya orang-orang dapur akan menyapanya dan membantunya membawa barang-barang, namun kali ini semua orang tampak takut padanya dan berusaha seminimal mungkin berbicara dengannya.

“Ada apa dengan mereka, ayah?” tanya Kyungsoo pelan pada ayahnya yang sedang mengelap meja makan. Ayahnya hanya diam dan menggedikkan bahu tanpa menatapnya dan itu membuatnya semakin bingung. Ada apa dengan semua orang?

Kyungsoo tidak ambil pusing dan berjalan menuju kamarnya, lalu mengambil cuciannya dan ayahnya, membawanya dengan senandung pelan ke ruang cuci. Bahkan saat ia berjalan di koridor pegawai, orang-orang menghindari kontak mata padanya. Ia merasa seperti orang asing namun ia merasa familiar dengan perlakuan seperti itu, entah kenapa.

Ia mengejutkan semua orang saat ia masuk ke ruang jemur. Ia berjalan masuk namun semua orang malah menjauh darinya dan menunduk. Ia yakin sekali kalau hari ini bukan ulang tahunnya, jadi ia bingung mengapa semua orang bersikap berbeda padanya, seolah-olah ia adalah orang yang berada di rantai makanan teratas.

Sekali lagi, ia tidak ambil pusing dan berusaha berfikir bahwa itu hanyalah perasaannya saja. Ia berjalan keluar dan menyusuri koridor dengan santai menuju lantai bawah untuk bersih-bersih. Namun sepanjang koridor, semua pegawai yang melewatinya merunduk memberi hormat padanya. Kyungsoo merasa malu karena mungkin mereka adalah orang-orang yang belum tahu kalau pangkat Pangerannya sudah diturunkan, meski seharusnya semua pegawai sudah tahu sekarang karena rumor di istana biasanya menyebar dengan sangat cepat.

Ia berbelok memasuki ruang alat-alat kebersihan saat salah satu teman pegawainya, Jongdae, terkopoh-kopoh mencegahnya meraih sapu. Kyungsoo menaikkan satu alisnya, berusaha merebut sapu yang diambil Jongdae, namun temannya itu tetap tidak mau memberikannya sapu.

Itu membuat Kyungsoo gerah.

“Ada apa, Jongdae? Ada apa dengan kalian semua hari ini? Kembalikan sapuku.”

Jongdae memundurkan langkahnya. “Saya tidak bisa, Yang Mulia.”

Kyungsoo memutar matanya. “Aku tidak mood bercanda.”

Namun Jongdae tetap kekeuh tidak mau memberikannya sapu. Laki-laki itu menunduk dalam, tidak mau menatap Kyungsoo.

“Kalau begitu aku akan mengepel saja nanti.” ujar Kyungsoo santai dan melengos, namun dengan cepat Jongdae mencegahnya untuk masuk ke ruangan itu lebih jauh.

“Kau tidak bisa, Yang Mulia. Itu tugas kami.”

Kyungsoo mendengus, mengacak pinggangnya. “Kau ini kenapa, sih?”

Jongdae menggeliat resah, namun akhirnya berbicara.

“Pangeran Kai mengembalikan status Pangeran-mu tadi pagi, Yang Mulia.” jelasnya dengan nada hormat. “Dia mengembalikan status pendampingmu, dan menghukum siapapun dari kami yang memperlakukanmu tidak hormat.”

Alis Kyungsoo yang tadinya terpaut, mulai hilang. Ia menurunkan tangannya, sedikit kaget hingga itu terkulai disisi tubuhnya.

“Ia mengumumkannya sendiri, Kyungsoo. Didepan kami semua.” jelas Jongdae lagi, kali ini memposisikan dirinya sebagai teman Kyungsoo. “Itu kenapa orang-orang bersikap aneh padamu. Chef Do juga mulai diam lagi, kurasa ia tidak terlalu senang dengan fakta itu.”

.

Kyungsoo berjalan cepat menyusuri koridor yang entah sudah berapa kali ia lewati, menuju dapur istana. Ia mendadak ingin menjelaskan segalanya pada ayahnya, memberitahunya bagaimana perasaan putranya pada Pangeran Kai, atau apapun itu yang bisa membuatnya tenang. Kyungsoo dengan cepat beradaptasi lagi dengan sikap orang-orang padanya, yang kini kembali merunduk padanya dan memperlakukannya seperti anggota keluarga kerajaan.

Ia sudah bisa melihat pintu dapur dan hendak masuk ketika melalui jendela pintu, ia melihat semua kru dapur berjejer rapi merunduk ke arah satu arah. Langkahnya terhenti dan dengan pelan mengintip, penasaran apa yang sedang terjadi di dalam.

Ia terkejut setengah mati saat melihat Kai ada disana, dan ayahnya berdiri menunduk menghadap sang Pangeran. Ia tampak berbicara, dan Kyungsoo memasang telinganya baik-baik.

“Merampas gelarnya adalah kesalahan terbesar dalam hidup saya, Chef.” kata Kai, membuat jantung Kyungsoo berdegup kencang. “Tidak akan saya biarkan dia bergulat dengan debu lagi, atau menyajikan makanan pada orang-orang. Saya akan menjamin putra anda akan selamanya menikmati hidangan yang saya dan keluarga saya nikmati.”

Chef Do merunduk sembilan puluh derajat pada sang Pangeran. “Anugerah anda tiada henti, Yang Mulia.”

“Saya sangat mencintai putra anda, Tuan Do. Dia adalah orang paling berharga di hidup saya setelah keluarga saya. Tolong jangan merunduk pada saya saat saya berbicara sebagai orang yang menginginkan putra anda, Chef.”

Dengan itu, ayahnya perlahan bangkit, dan memberanikan diri untuk menatap kedua iris kelam Kai. “Saya juga sangat menyayangi putra saya, Yang Mulia. Ia adalah putra semata wayang saya, yang juga merupakan satu-satunya hadiah terindah yang almarhum istri saya tinggalkan.”

Kyungsoo berdiri gugup diluar, mendengarkan percakapan mereka dengan tegang.

“Dan saya paham betul, bahwa meskipun anda bukan Pangeran negeri ini pun, ia akan tetap mencintai anda, Yang Mulia. Sebagai ayahnya, saya paham perasaannya. Kyungsoo tidak pernah mencintai seseorang sebesar ini dan berkorban demi seseorang selain pada anda, tidak bahkan pada saya atau ibunya yang tidak bisa ia ingat.”

Kyungsoo hanya bisa terdiam, merasakan perasaan yang baru saat mendengar ayahnya berbicara seperti itu tentangnya.

“Maka dari itu bisa saya katakan, saya hanya akan melepasnya pada orang sehebat anda, Yang Mulia. Saya akan merelakan putra saya untuk anda, karena saya tahu betapa bahagia dirinya saat bersama anda. Betapa bahagianya ia menyandang gelar Pangeran sebagai pendamping anda, melebihi bahagianya bila menyandang gelar Pangeran karena lahir dengan darah biru sendiri.”

Perasaan mendebarkan sekaligus membuncah memenuhi relung dada Kyungsoo. Ia bersender ke dinding dekat pintu dapur, menyentuh dadanya dengan tangan. Ia tidak percaya kata-kata seperti itu terucap dari bibir ayahnya, yang notabene adalah orang yang sangat pendiam dan tidak pernah berkata manis, bahkan pada putranya sendiri. Ia tidak pernah mengira bahwa selama ini ayahnya memperhatikannya, hingga bisa mengerti perasaan putranya tanpa Kyungsoo harus mengatakannya langsung.

Ia masih termenung saat pintu dapur disampingnya terbuka, dan sosok Kai keluar dari sana. Pangeran itu tidak membawa pengawal atau siapapun ke dapur, benar-benar datang sendiri. Ia tersenyum manis saat mendapati Kyungsoo berada disana, dengan pelan berdiri didepan pria yang kini resmi menjadi kekasihnya lagi.

Tatapan Kyungsoo merayap dari dada Kai, naik menuju kedua matanya. Ia membalas senyum hangat Kai dengan begitu canggung, karena kemarin pun ia masih bukan siapa-siapa.

“Tebak aku bicara apa pada ayahmu?”

Kyungsoo terdiam.

“Aku bilang padanya kalau aku sangat mencintaimu.”

Dalam momen kecil itu, Kyungsoo masih bisa terlena dengan raut senyum Jongin.

“Bahwa aku tidak mau hidup tanpamu sebagai pendampingku.”

Kyungsoo tersenyum, menunduk.

“Do Kyungsoo,”

“Mm?”

Mata mereka bertemu lagi, kali ini Kai menatapnya penuh rasa ingin. Kata-kata selanjutnya membuat Kyungsoo hampir pingsan saking berdebarnya.

“Maukah kau menikah denganku?”

Kyungsoo hampir mati saat lidahnya bergerak terlalu cepat. “Ya, aku mau.”

Kai terkejut, namun setelahnya ia tertawa. Tertawa pelan lalu semakin keras dan terbahak, membuat Kyungsoo kebingungan. Sang pangeran lalu menatap kekasihnya penuh goda, dan menyentil dahinya.

“Aku bercanda, bodoh. Menikahnya nanti saja, sekarang aku hanya ingin memacarimu. Kau tidak keberatan kan?”

Kyungsoo mengutuk dirinya sendiri karena hatinya seakan menjerit ‘Tidak! Aku mau menikah sekarang! Denganmu!’ dengan serakahnya. Selain itu, ia merasa kesal karena Kai bercanda mengenai itu dengannya. Dengan tampang terkhianati, Kyungsoo memajukan sedikit bibirnya, melipat kedua tangannya di dada.

“Hahahahahaha, kau harus lihat wajahmu,” ujar Kai sambil tertawa, sedangkan Kyungsoo masih merasa sebal. Di kepalanya, mulai berputar kata-kata protes. Entah mengapa ia benar-benar berfikir ingin menikah dengan Kai sekarang, ia baru sadar kalau ia begitu menginginkannya.

Tawa Kai terhenti saat Kyungsoo tak kunjung berhenti cemberut. “Kau benar-benar sebal padaku?”

“Menurutmu?” decak Kyungsoo. “Pemberi harapan palsu.”

Kai tertawa lagi, dan untuk yang kesekian kalinya Kyungsoo tidak bisa tidak terlena dengan itu.

“Baiklah, kalau begitu, mari lakukan ini.” Kai merogoh sesuatu dari kantongnya, lalu mengambil tangan kiri Kyungsoo, memberikan benda itu ke telapak tangannya. Kyungsoo hanya terdiam sampai Kai menyingkirkan tangannya dan memperlihatkan benda yang baru saja ia berikan, dan kedua matanya melebar selebar mungkin.

“Jongin...” ujar Kyungsoo pelan, dengan hati-hati menaikkan tangannya dan melihat kedua benda bulat itu lebih dekat, keduanya mirip, hanya saja ukurannya yang sedikit berbeda. “Ini cincin...?”

“Pertunangan,” jawab Kai tenang, sambil tersenyum. “Itu tidak mahal, juga tidak di design oleh designer terkenal. Tapi itu cincin pasangan pertama yang ku design sendiri, khusus untuk kita.”

Kyungsoo tertawa kecil sambil terkagum dengan design indah cincin itu. “Bagiku hanya ada satu designer paling handal di negara ini.”

“Siapa?”

Salah satu alis Kyungsoo terangkat, menatap Kai jahil. “Tunanganku.”

Ekspresi Kai mengembang, menampilkan senyum riangnya dengan gigi yang rapi. Ia menarik Kyungsoo pelan ke dalam rengkuhannya, membalut laki-laki itu dengan kedua lengannya, yang tanpa ia sadar begitu ia rindukan. Ia mengayunkan tubuh mereka perlahan ke kanan dan kiri, mengecup puncak kepala Kyungsoo penuh rasa sayang. Kyungsoo membenamkan telinganya di dada Kai, mendengarkan detak jantung kekasihnya sambil menggenggam cincin-cincin itu erat.

Hidup terasa begitu indah, terutama saat ia bersama Kai.

.

“Chanyeol, sebenarnya kita mau kemana?”

Baekhyun dengan susah payah berjalan menembus pohon-pohon kecil, mendaki bukit yang menurutnya begitu curam. Chanyeol yang berjalan didepannya, hanya fokus mencari-cari sesuatu yang Baekhyun sendiri tidak tahu.

“Aku yakin itu ada disekitar sini. Aku bisa mendengar suara airnya.” ujar Chanyeol gerah, masih belum menyerah dan terus mendaki. Baekhyun mengikutinya dari belakang, menyesal memakai celana pendek karena sekarang kakinya terasa gatal. Ia tidak tahu apa yang Chanyeol cari, tapi laki-laki itu terlihat begitu gigih hingga ia ikut penasaran dibuatnya.

Mereka terus mendaki hingga beberapa menit di medan hutam yang ekstrim. Perlahan, terdengar suara air terjun dari kejauhan dan itu membuat ekspresi Chanyeol berubah semangat.

“Itu dia! Kita sudah dekat!”

Dengan rasa penasaran yang semakin menjadi-jadi, Baekhyun mempercepat langkahnya. Perlahan-lahan pemandangan indah itu mulai tampak, terekspos dibalik pohon-pohon. Keduanya semakin mendekat dan mendekat, tersandung beberapa kali oleh akar pohon namun matanya hanya terfokus ke depan, dan saat pemandangan indah itu tampak sepenuhnya oleh mata mereka, keduanya hanya bisa diam berdampingan dan terpana.

[ChanBaek] Half BeatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang