"Dia adalah wanita yang luar biasa." Eleven menutup mata, membayangkan sosok ibunya yang mengecup keningnya setiap pagi sebelum berangkat kerja, menjadi buruh kasar di kawasan pabrik yang jauh lebih ke selatan dari kota Dallar. Wanita berbadan besar dan kokoh. Eleven ingat ketegarannya melebihi pohon besar yang tumbuh menembus beton di dekat apartemen kumuh tempatnya tinggal. "Dia meninggal ketika aku berusia delapan tahun, dibunuh."

Kerongkongannya tercekat. Ada rasa sakit menggumpal di sana. Eleven menutup mata dan melihat kilasan-kilasan yang muncul di kepalanya. Genangan darah, garis polisi dan rasa kehilangan yang menelan seluruh tubuh kecilnya. Dia menerobos garis polisi dengan harapan dapat merasakan pelukan hangat sang ibu, tapi yang dia dapati hanya mayat terbaring kaku di jalanan. Seorang perampok menembaknya ketika wanita itu menolak menyerahkan hartanya yang tak seberapa. Eleven tidak pernah tahu apakah itu karena ibunya ingin menghidupinya dengan uang itu atau karena dia sudah lelah dengan kehidupan sebagai orang tua tunggal miskin dengan anak lelaki kurus yang harus diberi makan, sehingga memilih mati. Pistol yang ditodongkan padanya hanya memberikan jalan keluar dari nasib kejam. Pemikiran pahit itu tidak pernah lepas dari dirinya hingga remaja dan pada masa-masa itu dia sering berpikir bahwa setidaknya ibunya lebih bahagia di tempat yang berbeda daripada bersamanya di dunia.

Spade tetap tidak berkata apa pun dan memberikan waktu bagi Eleven untuk berbicara, walau pria itu juga diam dan membiarkan pikirannya bersuara dalam keheningan.

"Ibuku tidak memiliki keluarga dan tidak ada yang muncul untuk mengklaimku sebagai saudara jadi aku masuk ke social service." Eleven menelan ludah, merasakan gumpalan rasa sakit itu turun. Matanya kering, hanya tersisa rasa pedih yang membuat dadanya seperti ditekan oleh tangan tak terlihat. Dia ingat masa-masa itu, masa di mana dia merasa tidak diinginkan oleh siapa pun, kesepian dan merasa tidak memiliki tempat di dunia. "Hingga seorang polisi mengadopsiku."

Eleven mengangkat wajah dan memandang Spade, mendapati tatapan yang sama ada di sana. Ada kepedulian tersirat walau tersembunyi dalam. Cukup untuk membuat Eleven tahu, Spade tidak menghakiminya.

"Dia salah satu kenalan detektif yang mengurus kasus kematian ibuku dan hidup tanpa menikah. Dia memutuskan untuk mulai berkeluarga walau tetap melajang." Eleven menyunggingkan senyum samar. Cerita ini sudah masuk ke bagian yang lebih baik. "Seorang pria yang luar biasa dan menjadi figur ayah yang sebenarnya dalam hidupku. Aku tumbuh besar dan mengikuti jejaknya.

Spade ikut menyunggingkan senyum miring. "Kau menjadi polisi karena ingin membuatnya bangga."

"Mudah ditebak, bukan?" Eleven memperlebar senyumnya dan mendengkus.

"I can relate," balas Spade mengangkat bahu kanan karena sisi kirinya masih menusuk-nusuk sakit. "Anak pria selalu ingin menjadi seperti ayahnya."

Eleven bertanya-tanya apakah Spade mengalami hal yang sama. Bagaimana pun juga, pria itu meneruskan kerajaan bisnis sang ayah setelah kembali dari luar negeri. Dia ingin basa basi dengan Spade tapi tahu bahwa hal itu tidak akan berhasil. Faktanya, dia tahu riwayat hidup Spade melalui berkas yang diberikan Kelana. Frank Spade meninggal sekitar empat tahun lalu dan Spade mengambil alih semuanya hingga harus kembali ke Dallar, sebagai pusat dari emporium yang dibangun Frank. 

Di luar kegamangannya, Eleven merasa kelegaan. Rasanya menyenangkan memiliki teman bercerita di luar lingkup kepolisian. Dia tahu Kelana tidak akan memandang rendah latar belakangnya tapi dia hanya merasa tidak bisa terbuka dengan sesama polisi, apalagi mereka tahu bahwa dirinya menyandang nama keluarga salah satu detektif senior mereka.

"Di mana ayahmu sekarang?" Spade menurunkan punggung tempat tidur yang bisa digerakkan. Dia tampak pucat dan lelah. Sepertinya luka itu memang membuatnya lemah. Eleven merasakan rasa bersalah menusuk-nusuk kesadarannya.

[END] Eleven SpadeWhere stories live. Discover now