Chapter 4

5K 527 148
                                    

Bagi Eleven, semuanya terjadi seperti dalam gerakan lambat

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Bagi Eleven, semuanya terjadi seperti dalam gerakan lambat. Adrenalin yang berpacu dalam darahnya membuat fokusnya meningkat tajam. Salah seorang pelayan menarik pistol dari balik kereta dorong dan mengarahkannya ke Spade. Pria berambut pirang itu menyadarinya, tapi terlambat. Dia hanya bisa membelalakkan mata ketika ujung senjata itu diarahkan ke wajahnya.

Terdengar letusan senjata memecah kesunyian ruangan.

Eleven menerjang pelayan bersenjata tersebut dan menguncinya di lantai

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Eleven menerjang pelayan bersenjata tersebut dan menguncinya di lantai. Kelana mengeluarkan pistol dan mengarahkannya ke koki. Terlambat.

Terdengar letusan senjata kedua, membuat Kelana harus menunduk untuk menghindar, memberikan kesempatan pada pelaku untuk melarikan diri melalui pintu. Tanpa membuang waktu, pria berkacamata itu berlari menyusul, meninggalkan Eleven yang masih berusaha membuat pelayan gadungan berhenti bergerak.

"Siapa dirimu?!" tanya Eleven tajam, memelintir tangan lawan di punggung sampai senjatanya terlepas. Dia segera menyepak pistol semi otomatis itu menjauh dari jangkauan penyerang dan segera mengeluarkan borgol untuk memastikan bahwa penembak itu sudah dilumpuhkan.

Terdengar suara tawa tercekat dari lawannya, membuat kemarahan Eleven naik.

"Cepat atau lambat, kau akan berbicara!" Eleven mengangkat lututnya dari tengkuk pelaku dan memaksa pria itu berdiri.

Orang itu tertawa lagi ketika Eleven menyeretnya ke arah sofa dan mendorongnya duduk. Sambil terus mengawasi penembak dengan ujung mata, polisi itu menoleh ke arah Spade, bersiap untuk melihat mayat berlumuran darah dengan peluru menembus kepala. Namun yang dia lihat sebaliknya, Spade walau terguncang, masih hidup dan bernapas. Peluru itu menyerempet pelipisnya dan meninggalkan luka gores yang mengeluarkan darah. Dia berhasil menghindar tepat waktu sehingga tidak mengenai daerah vital. Wajah pria itu pucat dan matanya terbelalak. Eleven menghela napas lega.

"Kau baik-baik saja?"

"Untuk saat ini, ya," balas Spade mendapatkan kembali kendalinya dengan menegakkan posisi duduk. Matanya menajam mengamati penyerangnya, mengamati setiap lekuk wajah, memasukkannya ke dalam ingatan. "Tapi sepertinya aku tidak bisa datang ke makan siang bersama Duchess of Alba. Dia baru saja merusak wajahku." Dengan santai, Spade mengambil sapu tangan dan menyeka darah yang mulai kering.

[END] Eleven SpadeWhere stories live. Discover now