"Kalau gue nggak kurus, masalahnya di mana coba, teman-teman gue yang budiman?"

"Dia nanya masalahnya di mana, dude?!"Lelaki beraksen Makasar mengajak bicara lelaki satunya dengan nada meledek yang kental banget.

"Masalahnya mungkin lo bakal ngejomblo sampe beberapa tahun ke depan, tapi itu nggak bakal jadi masalah selama ada cewek yang bisa lo ajak main-main." Temannya yang satunya menanggapi dengan gaya sinis dan penuh percaya diri.

Dan ini yang membuatku sepenuhnya menoleh ke arah keributan tersebut, mulai tidak memedulikan jusku yang sebentar lagi selesai dibuat.

"Man, yang dilihat dari cowok itu yang terpenting di sini." Lelaki itu menunjuk kepalanya, lalu beralih ke bagian dadanya."Lalu di sini."

Temannya yang beraksen Makasar tergelak.

"Bukan dari fisik yang beberapa tahun lagi itu otot kencang lo pada bakal mengendur. Dan lo, Rik, bakal jadi si kakek bawel yang dibenci cucu-cucunya karena lo kebanyakan omong daripada ngasih hadiah ke mereka. Terus lo, Ham, lo bakal jadi kakek-kakek sinis yang ... eh lo berniat nikah dan beranak-pinak nggak sih?"Setelah itu temannya yang dipanggil Rik melemparnya dengan tisu yang digulung, sebelum mengikuti temannya yang dipanggil Ham, meninggalkannya sendirian di kantin setelah berkata bahwa mereka ada kelas yang belum mereka ambil semester sebelumnya gara-gara total kredit mata kuliah yang nggak mencukupi. Pada detik itulah aku seperti punya keberanian untuk melakukan sesuatu di luar kebiasaanku. Entah dorongan dari mana yang membuatku memilih melangkah ke mejanya setelah aku mendapatkan jus jambuku—selain fakta bahwa tidak ada kursi yang kosong di kantin siang itu.

"Boleh gue duduk di sini? Kayaknya pagi tadi orang-orang pada nggak sempet sarapan gara-gara tugas numpuk, dan bikin kantin penuh siang ini."Aku tahu basa-basiku waktu itu terlalu umum, atau mungkin terlalu basi, dan mungkin lawan bicaraku akan menanggapi hanya dengan anggukan karena tahu dia didatangi seorang mahasiswi membosankan.

"Kabar baiknya itu kursi umum, yang bahkan bapak rektor kita pun bisa ikutan duduk di sana. Jadi lo gue izinin duduk di sana."

Seperti sebelum-sebelumnya. Dia tidak menatapku saat berbicara. Lebih konsentrasi pada Indomie rebus dengan campuran telur, sawi, dan kornet yang beraroma harum dan terlihat sangat menggiurkan—aku tahu, bahkan sama Indomie saja aku kalah saing.

Aku mulai menikmati jusku, sesekali mengedarkan pandangan ke sekitar dan mendapati orang-orang sedang mencuri pandang ke arah kami, lalu mulai terdengar kasak-kusuk. Yah, aku tahu kalau beberapa bulan yang lalu aku baru putus dari si orang yang aku tidak mau sebutin namanya selain petunjuk kalau dia ketua BEM yang sangat dikagumi para mahasiswi. Jadi masalahnya di mana saat siang ini aku duduk di meja bersama seorang cowok yang mungkin tidak seterkenal mantanku itu?

Namun masalah buatku saat itu adalah, aku melihat noda seperti kuah yang berlepotan di sudut bibir lelaki di hadapanku. Aku punya kecenderungan tidak menyukai hal-hal yang tidak sempurna di sekitarku. Seperti menggeser kursi ketika agak miring ke samping. Membuang remasan kertas di lantai kelas ke tong sampah. Dan si kuah di sudut bibir ini. Secara refleks aku meraih tisu dari tempatnya di atas meja, kemudian mengusapnya ke bibirnya.

"Lo lucu, ya, udah segede ini aja makannya masih berlepotan."

Dia mendongak, seperti kaget atas perlakuanku barusan—yang sebenarnya sama kagetnya denganku. Buru-buru dia meraih tisu dari tanganku dan mengelapnya sendiri.

"Nah, gede yang lo maksud di sini ambigu,"Dia menanggapi, "Gede karena udah dua puluh tahun, atau kenyataan kalau tubuh gue yang agak gempal dan hobi makan Indomie?"

Head Over Heels (Kisah Cinta Ironis Sam dan Luh)Where stories live. Discover now