Mencari sesuatu yang bisa dimakan. Sesampainya disana, hanya keheningan yang ia dapat. Memorinya terputar lagi dan lagi.



Akashi mengerjapkan matanya ketika indranya merasakan masakanmu yang seenak masakan ibunya. Hampir saja Akashi menangis kalau ia tidak ingat harus menjaga harga dirinya.

Kau menatap lekat dirinya, penasaran bagaimana hasil latihanmu selama ini. "Bagaimana Akashi-san? Apa rasanya enak? Atau buruk? Atau hambar? Atau atau―"

"Ini enak kok." Akashi terkekeh pelan lagi melihat tingkahmu.

Kau menghela nafas lega, lalu memperlihatkan cengiran. Rona merah tiba-tiba menghiasi pipimu, kau menggaruk tengkukmu yang tidak gatal. Akashi menautkan alisnya, heran dengan perubahan sikap drastismu.

"Ada apa [Name]?" tanya Akashi.

Sontak kau mengerjapkan matamu, memperlihatkam senyum lebar, "Ti-tidak ada apa-apa kok Akashi-san!"

"Jangan bohong [Name]. Kau tau kalau aku tidak suka dengan kebohongan bukan?" Akashi mendelik pelan padamu. Karena tidak tahan menyembunyikannya, kau mengalihkan tatapanmu.

"Se-sebenarnya, aku belajar masak untuk seseorang yang aku sukai."

Dilihat dari sorot matamu, Akashi langsung tau kalau orang itu bukanlah dirinya. Dan entah apa yang merasukinya, hingga timbul perasaan marah sekaligus tak terima.

"Siapa orangnya?"

"Eh? Akashi-san tidak perlu tau, ini rahasia gadis hehe~" Tak ingin menghancurkan senyummu, Akashi hanya bisa diam sambil menatap masakanmu. Tak berniat untuk melanjutkan acara makannya yang sempat tertunda itu.



Keheningan rumah itu membuat semua memorinya kembali, mencoba mengacaukan pikirannya. Akashi tertawa, sepertinya ini karma baginya.

Kami-sama tidak membiarkannya hidup tenang setelah melakukan hal itu. Tentu saja, bahkan sebelum bertemu denganmu, ia adalah orang yang berdosa karena tidak bisa menjaga ibunya dengan baik.

Karena semua memori itu, ia merasa sangat ingin bertemu denganmu. Ia pun mempercepat langkah kakinya.



"Hm? Dari kemarin kenapa Akashi-san sangat penasaran tentang orang yang aku sukai?" tanyamu bingung. Akashi menggelengkan wajahnya, menatap sinis padamu.

"Kau harus memberitahuku. Ini perintah! Apa kau masih mau membantahku huh?" titahnya.

Kau menggeram kesal, merasa muak dengan sifat mengaturnya itu. Oh ayolah, siapapun tidak suka jika privasinya diganggu bukan? Apalagi dari dua sebulan yang lalu, Akashi selalu saja menanyakannya.

"Dengar ya Akashi-san, orang yang aku sukai itu bukan urusanmu! Kau memang temanku, tapi bukan berarti kau bisa mengaturku!" bentakmu, mengeluarkan segala uneg-uneg yang terpendam.

Akashi melebarkan irisnya, kesal terhadapmu. Refleks, ia mengeluarkan gunting di sakunya. Kau terbelalak ketika melihat benda tajam itu. Siapapun pasti takut jika Akashi sudah memegang benda itu.

Syuut

Kau memejam mata, pasrah kalau gunting itu sudah mengenaimu. Namun ternyata, gunting itu malah menggores sosok abu-abu yang memiliki hawa keberadaan yang tipis itu.

Kau membelalakkan irismu ketika melihatnya, sosok yang kau sukai sejak masuk Rakuzan, Mayuzumi Chihiro.

"[Last name], apa kau baik-baik saja?" tanya Mayuzumi. Kau mengangguk pelan lalu membenamkan wajahmu di dalam pelukan Mayuzumi.

Melihat tatapanmu, Akashi sekarang tau siapa orangnya. Dialah, sang bayangan Rakuzan.



Langkah Akashi terhenti ketika memasuki ruangan rahasia miliknya. Perasaan aneh sedikit menyelimutinya. Hei, apakah itu rasa takut? Tapi, sejak kapan Akashi Seijuuro merasa takut? Takut untuk berhadapan lagi dengan sosokmu?

Apakah semenjak kejadian itu berlalu?



Darah mengalir dari tubuh Mayuzumi. Kau membelalakkan irismu tak percaya ketika melihat adegan itu. Adegan dimana Akashi memperlakukan sosok yang kau sukai secara tak manusiawi.

Menggoyak dagingnya dengan pisau yang entah darimana ia dapatkan. Menusuk-nusuknya dengan gunting merah miliknya.

Dan sekarang, kau tengah berlari, menjauhi sosok yang entah sejak kapan telah berubah menjadi iblis itu. Ah, atau mungkin saja kau tidak sadar, kalau selama ini telah terperangkap masuk kedalam lingkungan iblis itu sendiri.

"[Name]? Kau pasti mendengarku bukan? Keluarlah atau kejadian yang buruk akan menimpamu."

Kau menutup mulutmu, mencoba untuk tidak mengeluarkan suara. Bayangkan saja, kau harus bersembunyi di loker yang sempit ini.

Ingin rasanya keluar, namun sosoknya masih ada di sana. Namun, mengingat perkataannya tersebut. Kau melangkah keluar.

"A-akashi-san...," gumammu masih sedikit ketakutan. Akashi menoleh, lalu tersenyum. Tak memperdulikan bercak darah yang masih setia dia tubuh serta bajunya.

"Bagus." Akashi berjalan ke arahmu, lalu memelukmu dengan erat.

"Apa kau takut padaku?"

Kau menggeleng pelan, berusaha untuk memberanikan diri. Ia menyeringai, lama-kelamaan seringainya makin besar.

"Apa kau tau? Sudah lama aku menyukaimu. Tapi, kau malah menyukainya," ujarnya sambil tertawa. Kau menatapnya tak percaya. Jadi, selama ini kau menyakiti perasaannya.

"Sekarang, diamlah dan jadilah anak yang baik."

Crash!

Gunting itu tepat menusuk belakangmu. Sakit, itulah yang kau rasakan. Ah..., seharusnya kau memilih untuk tidak keluar tadi. Terlintas di benakmu sejenak, bahwa itu juga kesalahanmu karena telah menyakitinya dan merasa bahwa ini adalah hukuman setimpal.

"Maaf, Akashi-san. Aku banyak menyakitimu," ujarmu sambil tersenyum miris. Mencoba menahan sakit, darah terus keluar. Kau pun menutup matamu, diiringi dengan seringaian Akashi yang masih bertengger di wajahnya.



Akashi terhenti, menatap sosok pucatmu yang terbaring kaku di peti kaca itu. Sepertinya, setelah membunuhmu, Akashi mengawetkan mayatmu dan menaruhnya di sini.

Akashi membuka peti kaca itu, lalu mengusap pipimu. Ia frustasi karena kehilangan sosok yang ia sayangi. Terlebih lagi karena dirinya. Andai saja ia tidak terbawa perasaan, pasti ia masih bisa melihat sosokmu yang tertawa bebas.

Namun, ada kesenangan tersendiri baginya. Karena, ia telah memiliki sosokmu. Kau telah menjadi miliknya sepenuhnya. Akashi tertawa pelan. Jadi...

Semua penyesalan yang ia rasakan saat ini, sia-sia bukan?

The Story ↠chara x readerWhere stories live. Discover now