MUA : Bagian Lima Puluh Sembilan

66 7 0
                                    

Sebut saja Arinda bodoh karena menelan ludahnya sendiri. Di depannya kini sudah terpampang nama cafe yang ditulis di kertas yang diberikan Helen kemarin. Arinda berdiri di seberang cafe setelah turun dari mobil Adrian. Ponselnya masih dalam mode silent dari kemarin dan Arinda tidak tau ada atau tidak pesan dari Rian.

Sekitar lima menit Arinda berdiri di sana. Memupuk semua niat untuk berjalan. Jujur dia tidak tau apa yang ada di sana. Apa Helen berkata benar atau tidak siapa yang tau. Akhirnya setelah berpikir cukup lama Arinda memutuskan untuk menyebrangi jalan yang tidak terlalu ramai tersebut.

Cafe itu dihias dengan lampu-lampu temaram. Pintunya dibuka dengan lebar dengan hiasan bel kecil diatasnya. Sementara dindingnya adalah dinding kaca, memungkinkan setiap orang untuk melihat ke dalam. Suasana di dalam cukup ramai, beberapa kursi terlihat sudah terisi.

Arinda tak ingin masuk ke dalam cafe itu, dia memilih untuk melihat dari balik dinding kaca. Mencari sosok bernama Rian. Tak lama dia melihat cowok itu duduk sendiri dengan dua gelas minuman di atas meja. Arinda memicingkan kedua mata.

Tiga puluh detik setelahnya matanya melebar ketika melihat seorang cewek datang menghampiri Rian. Mencium kedua pipi dan memeluk Rian. Arinda hanya berdiri mematung melihat pemandangan yang begitu mendadak di depannya.

Hatinya berdenyut sakit untuk yang kedua kalinya.

Tanpa banyak membuang waktu, Arinda berbalik dan berlari. Namun Rian menyadari kehadiran Arinda dan segera mengejar cewek itu.

"Arinda!"

Langkah Arinda kian cepat. Tapi untuk apa dia berlari? Jika nyatanya Rian memang tidak menyukainya untuk apa dia berlari? Padahal dia bisa bersikap biasa saja seolah tidak ada apapun yang terjadi. Hanya saja Arinda tak sanggup. Hatinya remuk redam.

"Arinda!" Rian menghentikan langkah Arinda dengan menarik satu tangan cewek itu. "Rin," panggilnya.

"Lepas!" Arinda berusaha menepis tangan Rian tapi Rian tak bergeming.

"Please, gue bisa jelasin. Lo salah paham sama—"

"Apa? Gak ada lagi yang perlu lo jelasin!"

"Arinda, lo salah paham. Cewek itu bukan siapa-siapa gue. Lo harus dengerin gue, Rin."

"Hah? Dengerin lo?" Arinda melipat kedua tangannya di depan dada, mendengus kasar dengan kedua mata berusaha menahan air mata yang akan turun. "Satu jam yang lalu gue percaya omongan Helen. Satu jam yang lalu gue percaya sama omongan dia, tapi sekarang apa? Emang lo cowok brengsek!"

Rian mengerang, mengusap wajahnya frustasi. "Rin, kita ngomong pelan-pelan, ya? Biar semuanya jelas."

"Gak perlu. Semuanya udah jelas di mata gue!"

Satu bulir air mata Arinda mengalir.

Rian makin meradang melihatnya. Dia bergerak maju ingin menghapus air mata Arinda namun segera ditepis kasar.

"Just stay away from me! I hate you!" Arinda segera berbalik dan berlari.

Rian hampir bisa meraih Arinda kembali jika saja sebuah mobil tidak berhenti dan pengendaranya tidak keluar.

"Arinda!" Adrian yang menghentikan mobilnya asal itu segera menghampiri dan memeluk tubuh Arinda.

"Take me home," kata Arinda lirih dibalik tangisnya.

Adrian mengangguk dan membuka pintu depan agar Arinda masuk. Adrian menutup pintu mobil lalu menatap Rian.

"Adrian, tolong bilang sama Arinda ada yang mau gue jelasin," pinta Rian. Matanya memohon pada Adrian.

Matahari untuk Arinda ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang