MUA : Bagian Dua Puluh Tiga

77 5 0
                                    

Tadinya gemuruh suara itu hanya meneriakkan satu nama yaitu nama Arinda namun selang beberapa saat gemuruh suara itu teredam dan tergantikan dengan suara desahan menahan nafas. Pasalnya nama orang yang mereka gaungkan dan canangkan tak bisa memasukkan bola ke dalam ring satu kalipun, bahkan cara passing bola cewek itupun buruk, tidak bisa melihat di mana temannya. Tapi dari mereka yang tadi menggaungkan nama Arinda masih ada satu orang yang bersemangat ntah menyemangati atau menyindir, dia adalah Seno.

"Ah kok itu ring-nya bisa geser gitu sih?"

"Anginnya gede nih makanya bolanya menceng."

Itulah kira-kira kata-kata yang digaungkan oleh Seno, suaranya tetap menyerukan nama Arinda hingga Arinda pun sadar permainannya sangat sangat buruk. Dilemparnya bola di tangannya itu hingga menggelinding ke luar lapangan.

"Gue gak bisa! Ganti aja deh gue!"

"Eh, eh, gak bisa gitu, Rin!" Nena mencegah Arinda yang beranjak keluar dari lapangan basket. "Semuanya masih bisa dikoverin sama Kara, lo cuma tinggal ngelempar aja."

"Ya tapi sama aja dong. Gue malah kayak orang bego."

"Bego kenapa?"

Arinda dan Nena menoleh bersamaan pada suara milik Hans. Cowok itu berdiri tak jauh dari mereka dengan sebelah tangan yang men-dribble bola.

"Lo cari yang laen aja deh, Nen," ujar Arinda akhirnya.

"Rin! Jangan dong!" Nena berusaha mati-matian menahan Arinda yang kembali berjalan itu namun badan Hans yang besar menghadang Arinda sedikit menolong Nena.

"Gue bisa ngajarin lo," kata Hans. "Lo itu cuma kurang... kurang paham dan kurang ngerti. Teknik lo juga salah makanya main lo jelek."

"Terus?" tanya Arinda tanpa minat.

"Gue bakal ngajarin lo, minimal yang dasarnya dulu." Senyum Hans merekah. "Ini dalam rangka apaan lah pake main basket gini?"

Arinda bisa merasakan Nena tengah menyentak pelan lengannya menyaratkan bahwa dirinya yang harus menjawab. Menghembuskan nafas, Arinda menjawab, "Buat tanding sama cowok-cowok kelas."

"Sounds interesting." Mendadak, Hans menarik satu tangan Arinda hingga tubuh cewek itu berputar dan hanya dalam waktu berapa detik saja Hans sudah berdiri di belakang tubuh Arinda dengan bola yang sudah dipegang Arinda. "Lo harus kayak gini."

Arinda yang masih belum sadar itu kemudian menyikut perut Hans hingga cowok itu meringis. "Jauh-jauh dari gue deh lo." Dilemparnya bola ke dada cowok itu namun dengan sigap Hans menangkapnya.

"Bisa gak usah ganggu Arinda?"

Arinda bisa mendengar suara tajam milik Eza yang kini berdiri di sampingnya.

"Gue gak ganggu cuma mau bantu."

"Dia gak minta lo."

"Gue peka makanya langsung dateng tanpa harus diminta."

Suasana itu mendadak menjadi tegang ditambah Eza yang makin merengsak maju hingga Arinda harus mundur. Semua orang yang melihat ini pasti merasakan aura tegang yang dipancarkan oleh Eza berbeda dengan Hans yang tenang. Namun belum sempat Hans bersuara, tubuhnya keburu ditarik mundur oleh Rian yang kini berhadapan dengan Eza. Suasana yang sudah tegang itu meningkat tiga kali lipat.

***

Tayangan di televisi di depannya itu tak bisa mengalihkan Arinda dari pikirannya pasal kejadian latihan basket tadi siang. Jam dinding menunjukkan pukul sembilan malam, sudah hampir lima jam sejak kejadian tadi. Arinda tidak tau harus berpikir bagaimana lagi, ketegangan antara Hans dan Eza ternyata tidak lebih parah ketimbang Rian. Cowok itu tiba-tiba datang seakan menyulut api ke bara.

Matahari untuk Arinda ✔️जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें