MUA : Bagian Dua Puluh Lima

74 6 0
                                    

"Rin! Rin! Liat tu Kak Rian kok bisa bonyok gitu?" Nena menyikut lengan Arinda yang berjalan di sebelahnya hingga cewek itu menoleh dan melihat ke arah tunjuknya.

"Alah palingan berantem. Biasa," sahut Arinda santai, bahkan nampak tidak terlalu kaget. Adrian bahkan sering pulang dengan keadaan seperti itu jadi baginya sudah lumrah.

"Biasa apanya?" Nena melotot. "Itu tuh gak biasa, Rin. Kak Rian itu orang yang jarang berantem."

"Jarang berantem bukan berarti gak bakal berantem, kan?" Arinda kembali melanjutkan jalannya setelah sejenak terhenti di lobby.

"Gak! Gak! Pokoknya ini gak biasa!"

Ketika istirahat tiba, Nena yang sudah mendapat informasi itu segera membuka konferensi pers dadakan dikarenakan cewek-cewek di kelas sudah terlalu penasaran. Dari tempat duduknya Arinda hanya bisa geleng-geleng kepala melihatnya. Jangan ditanya mengapa Arinda tidak bergabung, tak ada rasa ingin tau di dalam dirinya selaras juga dengan Lila yang duduk di sebelahnya.

"Kantin yuk, Rin. Aku laper belum sarapan," ajak Lila dengan suara pelan.

"Tumben lo belom sarapan?" tanya Arinda seraya merapikan tasnya.

"Iya, aku hari ini bangun kesiangan."

"Tumben juga lo kesiangan. Keseringan mikirin Dio sih."

"Ih, gak lho Rin."

Arinda terkekeh. "Becanda, La. Yuklah, ntar rame pula kantinnya."

Arinda hampir saja menghentakkan kaki ketika melihat keadaan kantin yang begitu ramai. Bahkan kursi di area kelas sepuluh tak ada yang kosong sama sekali, semuanya penuh hingga mereka berdesakkan duduk. Arinda mendesah, tangannya sudah membawa makanan begitu juga dengan Lila. Kursi yang tersisa hanyalah di area kelas dua belas tapi Arinda masih waras untuk tidak duduk di area sana. Duduk di tangga luar kantin juga sudah penuh sesak. Ada apa sih dengan hari ini? padahal teman-teman di kelasnya saja tidak ke kantin, harusnya itu bisa memberi space kosong, bukan?

"Rin, gak ada tempat kosong," kata Lila.

"Iya, La. Gue bingung nih kok tumbenan rame. Tumbenan semua dah," gerutu Arinda sebal. Tangannya sudah mulai pegal namun sejauh mata memandang semuanya masih penuh dan saat itu jugalah Hans datang menghampiri.

"Gak dapet tempat duduk?"

"Iya nih, semuanya penuh," jawab Arinda.

"Ke sana aja. Masih ada yang kosong."

"Ah gak. Gila aja kali duduk di sana!" tolak Arinda langsung karena Hans menawarinya bangku di area kelas dua belas.

"Tenang aja lah, ada gue ini. Lagian lo mau makan berdiri di sini?"

"Ya udah deh. Daripada gak ada," jawab Arinda akhirnya sehingga membuat Hans tersenyum. Lalu Hans berjalan duluan dan diikuti oleh Arinda dan Lila.

Dan yang parahnya ternyata Hans membawanya menuju singgahsana para cassanova yang masih kosong itu. Arinda baru saja ingin menolak namun Hans menyela. "Duduk di tempat lain belum tentu lo aman dari serigala. Udah duduk sini aja."

Mau tak mau akhirnya Arinda duduk di sana bersama dengan Lila dan Hans duduk di hadapan. Cowok itu tak membawa makanan apapun hanya mengeluarkan sebungkus snack cokelat dari dalam kantung celananya. Arinda memakan makanannya dalam diam begitu pula dengan Lila. Ingin berbincang pun rasanya tak nyaman dengan banyaknya mata yang menatap tajam seakan ingin menguliti, sementara orang yang mengajak mereka duduk tengah sibuk dengan dunia ponselnya.

"Eh ada tamu," seru Seno yang baru datang itu dengan senang. Dia mengambil tempat di sebelah kanan Hans.

"Apa lo semua liat-liat?! Gak suka kalo Arinda duduk sini?!" celetuk Reki dari balik punggung Arinda, cowok itu memarahi cewek-cewek yang menatap iri pada Arinda. Kemudian dia duduk di sebelah kiri Hans. Kini bangku itu sudah terisi, hanya tinggal satu orang lagi yang belum.

Matahari untuk Arinda ✔️Where stories live. Discover now