Mua : Bagian Delapan

144 8 0
                                    

"Ada angin apa lo nerima makanan dari cewek? Biasanya lo oper ke orang."

Rian fokus pada bola basket di tangannya, kedua kakinya bergerak cepat begitu ada seorang cowok bergerak mendekatinya. Kemudian di lambungkannya bola hingga memasuki ring dan mencetak tiga angka.

"Memangnya kenapa?"

"Kenapa lo bilang? Woi, ini tuh langka. Seorang Rian mau nerima pemberian dari cewek." Kedua mata Hans melotot. "Gue yakin pasti ada apa-apanya."

"Like what?" sahut Rian malas. Dia berjalan menuju pinggir lapangan, mengakhiri permainan bola basket.

"You know what I mean."

"No, I don't."

Hans menggeram. Dia memilih mengikuti Rian meninggalkan Seno dan Reki yang masih bermain basket. "Yan, udah deh lo bilang ke gue aja yang sejujurnya. Gak usah pake alesan segala."

Rian meminum air mineral miliknya di bangku tribun. Diedarkannya pandangan ke area lapangan yang cukup ramai setelah sepuluh menit bel pulang berbunyi. "Dia yang mau ngasih ke gue."

"Dalam rangka apa?"

Rian mengangkat kedua bahunya.

"Ck! Batu amat sih lo, udahlah tinggal cerita aja. Gampang, kan?" Hans ikut duduk di sebelah Rian. "Apa jangan-jangan tu cewek naksir lo? Tapi gak, mana mungkin dia naksir lo."

Rian menghembuskan nafasnya, melepas lelah selepas bermain basket.

"Tapi gue ra—WINGGAR " Hans tiba-tiba berteriak memanggil seorang cewek lalu dia berdiri dari duduknya dan menghampiri seorang cewek.

Rian hanya memandangi Hans dari tempatnya duduk kini. Temannya itu memang selalu tak pernah jauh dari cewek, di manapun dia berada selalu ada cewek yang dipanggil. Ya begitulah Hans, sang penakluk cewek.

Rian meletakkan botol air mineral di sebelahnya. Dia menunduk, memandang kedua kakinya yang masih berselimut sepatu, lalu pandangannya kembali terangkat, Rian sedikit terkejut ketika mendapati Teva sudah berdiri di depannya dengan senyum lebar.

"Hai, Rian. Belum pulang?" tanyanya ramah, seperti biasanya.

Rian diam, bibirnya membentuk garis lurus. Jawaban yang selalu dia berikan, seperti biasa.

"Emm, nanti malem kamu ada acara gak?" Teva bergerak duduk di sebelah Rian. "Kalo gak ada gimana kalo kita nonton? Aku udah beli tiketnya."

Rian masih saja tak bergeming dengan ajakan dari Teva. Ajakan yaang selalu dilakukan oleh cewek ini sejak kelas sepuluh dan masih berlangsung hingga kini.

"Gue anggep lo setuju."

"Eh apa-apaan lo?! Siapa yang setuju?!" bentak Reki langsung begitu dia melihat Teva yang mendekati Rian. "Pegi lo sana. Dasar penyihir!" usirnya kasar, tak peduli jika Teva adalah seorang cewek.

Teva berdecak, namun bukan Teva namanya jika hanya sampai di sini saja. "Gue ngajak Rian bukan ngajak lo!"

"Alah, gak usah ganggu Rian!"

"Aku tunggu ya nanti malem," ucap Teva teramat manis, dia tersenyum lebar. Dia berdiri dari sana dan berlalu.

"Gila tu cewek!" Reki geleng-geleng kepala sendiri. "Masih aja deketin lo. Udah tau lo gak respon jugaan. Anyway, mana Hans?"

Rian mengedik ke satu arah. Reki mengikuti arah tunjuk Rian kemudian dia ber-o ria.

"Makanan Hans tiap hari, cewek. Gak ada dua cewek dalem hidupnya anyep kali ya."

Matahari untuk Arinda ✔️Where stories live. Discover now