Mua : Bagian Empat

168 9 0
                                    

"Rin, makasih ya udah mau bantuin aku."

"Selo aja kali, La, cuma wawancara ini doang." Arinda mengenakan sepatunya. "Gue balik ya."

Lila mengangguk. "Iya, makasih ya, Rin. Maaf aku gak bisa nganter kamu ke gerbang."

"Gue bukan anak kecil juga kali, La, yang bisa nyasar gitu aja. Ya udah deh gue balik ya," pamitnya lalu beranjak berjalan menjauhi sekretariat ekskul Mading.

Baru saja berjalan beberapa langkah, Arinda mendengar suara merdu mengalun hingga dia harus menghentikan langkah dan berbalik. Dilihatnya sebuah pintu ruangan yang tertutup rapat. Arinda mencoba untuk menengok melalui jendela yang dilapisi dengan kaca film dengan kedua tangan menapak pada kaca dan wajahnya yang didekatkan di jendela. Setelah berusaha Arinda akhirnya dapat melihat siapa seseorang yang berada di dalam sana. Itu adalah Rian yang tengah bermain biola.

"Woh daebak! Ini orang maennya bagus amat," desis Arinda tanpa melepaskan pandangannya dari Rian.

Arinda harus mengakui jika permainan biola Rian memang sangat enak didengar. Dia bahkan bisa berlama-lama mendengarnya namun getaran ponselnya menghancurkan semuanya. Adrian pasti sudah sampai di depan gerbang sekolah. Mau tak mau Arinda beranjak dari sana tapi sebelum itu dia ingin mendengar sebentar alunan itu. Arinda memutuskan untuk sedikit berjongkok dengan kuping yang menempel di pintu. Namun tak ada suara biola terdengar yang ada hanya suara pintu dibuka.

"Ehhh." Arinda mendadak kaku begitu tau jika pintu itu sudah terbuka dan menampilkan Rian di sana. Dia nyengir lalu berdiri tegak. "Lo geseknya bagus, maksud gue mainnya bagus," ucapnya kemudian memecah suasana kaku.

Rian hanya memandang sekilas lalu pergi dari hadapan Arinda. Sementara itu di belakangnya, Arinda mendesis keras. Lagian untuk apa dia berbincang dengan cowok dingin dan kaku tiada tara itu?

Tak mau membuang waktu Arinda akhirnya berjalan dari sana. Perjalanan Arinda ternyata tidaklah mulus karena begitu sampai di lapangan ternyata dia dilempari dengan sampah dan juga tepung hingga sepatunya kotor. Pelakunya adalah cewek-cewek kelas sebelas yang membenci Arinda.

"Kalian gak ada kerjaan lain?" Suara bariton dari belakang Arinda itu membuat gerombolan cewek-cewek itu menoleh lalu terdiam. "Pada pegi sana!" usir cowok itu lalu menghampiri Arinda. "Lo gak apa-apa, kan?"

Arinda menatap malas mendengar pertanyaan yang sama yang selalu dilontarkan orang padanya jika mengalami hal seperti tadi. Arinda tak menjawab, alih-alih dia melenggang pergi dari sana. Adrian sudah mengiriminya pesan berkali-kali jika sampai telat bisa bahaya.

Benar saja, Adrian kini sudah berdiri di sebelah mobil dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku depan celana. Kemeja sekolahnya sudah berganti dengan kaus tanpa lengan.

"Masuk!" perintah Arinda yang segera membungkam Adrian. Padahal Adrian sudah bersiap dengan segala ocehannya.

"Kenapa lama banget? Udah sepuluh menit gue nunggu!" omel Adrian begitu duduk di balik kemudi. "Lo jangan-jangan bukan bantuin temen lo nih!"

"Suudzon aja lo jadi orang. Cepet tua ntar."

Sedan itu baru saja melaju beberapa meter ketika Adrian tiba-tiba menepikannya. Arinda mendesis marah, "Lo gila kali ya?! Apa-apaan sih lo?!" serunya marah. Dilihatnya Adrian yang sedang menelpon dengan nada marah juga, ntah siapa yang ditelpon itu.

Setelah selesai menelpon sambil marah-marah, Adrian menatap Arinda. "Siapa yang nempelin ini?" tuding Adrian pada sebuah sticky note yang bertuliskan nomor ponsel. "Bilang sama gue!"

"Ya mana gue tau. Lagian lo dapet dari mana tuh?"

Adrian memukul setir kemudi. "Kurang ajar cowok-cowok sekolah lo itu. Dikira gue takut apa!"

Matahari untuk Arinda ✔️Where stories live. Discover now