MUA : Bagian Empat Puluh

65 8 0
                                    

Arinda sudah bisa merasakan aura tak mengenakan begitu memasuki area perumahannya. Benar saja, dari jauh Arinda sudah bisa melihat Adrian yang tengah berdiri di depan gerbang dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Pandangan menghunus segera diberikan olehnya begitu Arinda turun dari motor dan memberikan helm pada Rian.

"Jadi karena ini gue telpon gak diangkat?"

Arinda mengernyit menatap Adrian. "Kapan lo nelpon?"

"Kenapa lo bisa pulang sama dia? Kenapa?"

"Biar gue aja yang jelasin," tukas Rian santai.

Sebuah pertolongan karena Arinda juga sedang malas meladeni Adrian. Namun, Adrian tak mau menjawab begitu saja. Dia masih menuntut jawaban dari bibir Arinda sendiri.

Arinda hanya menatap malas pada sang kakak tapi mau tak mau dia juga harus menjawab. "Gue pulang dianter dia karena lo tawuran."

"Gue yang maksa dia pulang sama gue. Lo bisa marah sama gue jangan sama Arinda."

Arinda dan Adrian kini menoleh pada Rian yang masih memasang wajah santainya.

"Masuk, Rin. Gue mau ngomong bedua sama dia," perintah Adrian yang dipatuhi oleh Arinda. "Jelasin sekarang!" perintahnya. Adrian sepenuhnya tidak marah karena Arinda diantar pulang oleh Rian namun karena adiknya itu tidak meminta izin, makanya dia perlu penjelasan.

Kemudian Rian menjelaskan semuanya, termasuk ketika mereka membeli kado dan juga masalah pecah ban. Selama Rian menjelaskan, Adrian hanya mendengarkan tanpa menginterupsi. Lalu suara pekikan Arinda terdengar.

"Mama!" pekiknya girang. "Kapan Mama pulang?"

"Tadi jam sembilan," jawab Mama seraya menjawil hidung Arinda. "Aran mana?"

"Tuh." Arinda mengedik ke arah pagar.

Mama memicing menatap bingung pada dua orang yang ada di gerbang. "Itu yang satunya lagi siapa, Rin?"

"Itu kakak kelas aku, Ma."

"Kenapa gak disuruh masuk?" Mama lalu berjalan menuju pagar, Arinda mengekori. "Eh, ada tamu bukannya disuruh masuk, Ran! Gak sopan," omel Mama pada Adrian.

"Lagi ngobrol, Ma," balas Adrian.

"Sore Tante, saya Rian kakak kelas Arinda," kata Rian ramah pada Mama tak lupa senyum manisnya pun terpasang.

Mama balas tersenyum. "Kalo gitu masuk yuk. Sekalian kita makan bareng."

"Emang kita mau makan bareng, Ma?" tanya Arinda penasaran.

"Iya, barbekyuan aja. Mama sama Papa udah nungguin kamu daritadi. Kita makan bareng di belakang. Nah jadi Rian ikut makan bareng aja ya?"

"Ngapain, Ma? Dia kan bukan... Awww."

Mama dengan segera menyubit pinggang Adrian yang sedang berbicara itu. "Rian itu tamu. Kakak kelas Arinda. Gak sopan ah," tudingnya. "Jadi mampir dulu ya, Rian."

Rian tersenyum. "Gak usah Tante, udah sore juga saya mau langsung pulang aja," balasnya lembut.

"Bilang aja kalo lo juga laper," celetuk Arinda enteng dari balik punggung Mama. "Dikira pas dijalan gue gak denger suara perut lo."

Rian jadi kikuk. Akibat mendorong motor tadi tenaganya kini terkuras.

"Nah, kan. Ya udah yuk masuk." Mama mengajak Rian. "Motornya masukin aja ke sini, kalo diluar takut ada apa-apa. Nah Aran, kamu bagusnya bantuin Papa di belakang sana."

Ketika Mama dan Adrian masuk ke rumah, Arinda menunggu hingga Rian memasukkan motornya dan memakirkannya di sebelah mobil Adrian. Setelah itu dia mengajak Rian masuk.

Matahari untuk Arinda ✔️Onde histórias criam vida. Descubra agora