MUA : Bagian Empat Puluh Lima

67 5 0
                                    

Arinda mendongakkan kepalanya setelah kurang lebih dua menit tidur telungkup dengan kepala terbenam di bantal. Telinganya mendengar sebuah nada yang khusus di setel untuk pesan di Line. Merangkak di atas kasur, tangan Arinda bergerak mengambil ponsel di atas nakas di sebelah tempat tidurnya. Masih sambil telungkup, dia membaca pesan tersebut.

Eza : Rin

Eza : Gmn acara akhir tahunnya? Udh ada gambaran?

Rasanya sudah lama Eza tak mengiriminya pesan sejak adegan pengakuan rasa sukanya waktu tu.

Arinda : Udh ada konsep secr garis besarnya sh

Eza : Ada yg bsa gue bantuin gk?

Arinda : Ada. Nti bantuin gotong-gotong aja. Kwkwk

Eza : Siap deh. Sori gue gk bisa bantuin bnyk

Arinda mengubah posisi telungkup menjadi telentang. Kepalanya beralaskan bantal empuk, kedua tangannya memegang ponsel. Namun, baru saja tangannya bergerak mengetik pesan balasan, suasana kamar yang tadinya hening mendadak mencekam. Arinda bisa merasakan ada aura aneh di sekitarnya. Keningnya berkerut dalam, kedua matanya menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih polos. Kini aura itu menguat, asap hitam seakan mulai mendekati dirinya.

Arinda menolehkan kepalanya ke kiri. Sontak saja dia melempar ponselnya ke depan begitu melihat dua buah mata milik Adrian menyembul dari pinggir kasurnya. Arinda segera beranjak duduk bersila. Sehari ini dia sudah mengalami hal mengejutkan; pertama Rian dan kini malah kakaknya sendiri.

"Kenapa lo?" tanya Arinda langsung. Melihat dari sorot mata lesu dan sedih milik kakaknya, Arinda bisa menebak jika Adrian sedang ada masalah. "Lagi ada masalah?"

Adrian perlahan bangun dari posisi jongkoknya. "Lo pernah ngerasain patah hati?"

Jangankan patah hati, jatuh cinta aja Arinda belum pernah.

"Gak usah ngehina deh. Mana pernah gue patah hati."

Kasur itu melesak masuk begitu Adrian menjatuhkan badannya di sana. Matanya menatap langit-langit kamar nyalang. "Maharani nolak gue," katanya lirih. Bahkan hampir tak terdengar jika Arinda tak berada dalam radius dekat dengannya. "Dia gak suka cowok kayak gue."

"Gue bilang juga apa. Cewek kayak dia gak suka cowok berandalan kayak lo. Ngeyel sih. Tapi kapan lo nembak dia?"

"Tadi siang pas pulang sekolah."

"Ya udahlah, kalo udah nolak mau diapain lagi."

"Tapi gue suka sama dia, Rin. Gue suka sama dia. Gue suka sama dia. Gue..uha ama hia.."

Arinda sengaja membekap mulut Adrian agar berhenti berbicara, tapi Adrian malah semakin menjadi. Sebenarnya Arinda juga tak tega melihat Adrian begini, baru pertama kali dia bercerita pasal cewek dan baru pertama kali juga Arinda melihat Adrian patah hati. Arinda menarik tangannya dari mulut Adrian.

"Maharani itu udah punya pacar apa belom?"

"Gak punya. Alesan dia karena gue... bukan tipe dia dan juga dia gak mau dapet musuh kalo deket sama gue."

Arinda jadi kasihan melihatnya, dia juga tidak bisa dan tidak tau bagaimana cara menenangkan orang yang sedang patah hati. Dikiriknya jam dinding sesaat sebelum akhirnya kembali menatap Adrian.

"Lo laper? Mau gue buatin makanan?" tanya Arinda. Adrian menggeleng pelan. "Atau maen game?" Adrian kembali menggeleng.

Adrian membuka matanya perlahan, lalu dengan gerakan lemah dia beranjak dari posisi tidurnya menjadi duduk. Terdiam beberapa saat, Adrian kemudian melangkah keluar dari kamar Arinda dan menghilang di balik pintu yang tertutup.

Matahari untuk Arinda ✔️Where stories live. Discover now