MUA : Bagian Lima Puluh Dua

50 6 7
                                    

Hujan deras mengguyur bumi mengiringi perasaan kacau Arinda kala itu. Tepat dua hari Arinda berdiam diri di kamar tanpa beranjak dari posisinya, duduk dengan kedua kaki tertekuk di atas kursi rotan. Lingkaran hitam menghiasi bawah matanya. Makanan yang selalu dibawa oleh Bi Ani ke kamar hampir tak pernah Arinda sentuh, hanya setengah potong roti sebagai sarapan yang biasa Arinda makan.

Selama tiga hari ini Arinda jarang sekali tidur, bahkan bisa dibilang cewek itu lupa bagaimana caranya tidur. Semua itu bermula ketika Arinda mendapatkan sebuah telepon dari polisi yang mengatakan bahwa kedua orangtuanya mengalami kecelakaan hebat di jalan. Tak percaya tentu saja, namun ketika mereka berangkat menuju salah satu Rumah Sakit, barulah mereka semua percaya bahwa kejadian itu nyata. Arinda menangis meraung sedih memilukan hingga menggetarkan siapapun yang mendengarnya. Sedang Adrian hanya bisa berdiri kaku seraya memeluk erat tubuh Arinda yang bergetar tak keruan. Syok yang melanda membuat kelu Adrian hingga ke ubun.

Di sana, di salah satu ruang, terbujur lemah Mama dan Papa. Lemah tanpa adanya jiwa dalam raga. Menurut polisi, Mama meninggal di lokasi kecelakaan sedang Papa meninggal kala perjalanan menuju Rumah Sakit.

Sesak dan remuk. Arinda hancur kala itu, rembulan dan juga mataharinya terenggut begitu saja secara bersamaan. Siapa lagi kini yang akan menjadi penopang hidupnya?

Ratapan Arinda berlanjut, bahkan setelah kedua orangtuanya dimakamkan. Kedua kakinya seakan tak ingin beranjak meninggalkan Mama dan Papa di peristirahatan terakhir. Papan bunga terlihat berjejer memenuhi sisi jalan di perumahan, berbela sungkawa akibat meninggalnya dua sosok penting itu. Arinda berkabung, tenggelam dalam jurang tanpa ujung. Arinda jatuh sejatuh jatuhnya.

Ingin dia tak percaya pada apa yang sudah terjadi, ingin dia menganggap jika semua ini adalah bunga tidur. Namun, ketika matanya hendak menutup dia sadar bahwa semua ini adalah nyata. Bukanlah mimpi.

"Kenapa, Ran? Kenapa?"

"Arinda," sahut Adrian lirih. Hatinya juga pilu melihat keadaan adiknya yang begitu terpuruk.

Bukan hanya Arinda saja yang terjatuh, tapi juga Adrian. Hanya saja Adrian tidak bisa mengekspresikan semuanya ketika melihat Arinda seperti ini. Dia tidak mau menambah beban Arinda. Hanya sebuah elusan hangat dari tangannya yang diberikan agar meredakan rasa pilu Arinda.

Namun diamnya Arinda tak bisa diartikan oleh Adrian, dia bingung. Jujur saja dia tidak tau bagaimana menenangkan Arinda. Setelah menangis, Arinda akan duduk terdiam, lalu menangis kembali dan diam kembali. Ini adalah pertama kali dalam hidupnya melihat Arinda begitu merana, hati Adrian juga teriris melihatnya.

Suasana rumah mulai sepi sejak hari kedua meninggalnya kedua orangtua mereka ditambah lagi Arinda juga mengurung diri. Saudara yang melayat hanya bisa menemani hingga hari kedua, sedang Nenek dan Kakek yang berada di Surabaya tidak bisa datang karena masalah usia. Teman sekolah Adrian dan juga Arinda berbondong-bondong datang memberi ucapan belasungkawa.

Hujan yang mengguyur sejak pagi seakan menggambarkan keadaan Arinda.

Perlahan, Adrian mengetuk pintu kamar Arinda. Dibukanya pintu itu memberi cela tubuhnya masuk, dilihatnya Arinda yang masih dalam posisi sama. Makanan di atas nakas tak jua tersentuh padahal jam sudah menunjukkan pukul dua siang.

"Arinda," panggil Adrian pelan seraya berjalan menghampiri Arinda.

Tak ada jawaban yang diberikan oleh adiknya itu.

Ketika Adrian berada dalam jarak yang sesuai, bisa dilihatnya air mata yang menetes dari mata cerah milik Arinda. Hati Adrian kembali tersayat, apa gerangan yang harus dia lakukan agar Arinda kembali?

"Arinda." Adrian bersimpuh, ibu jarinya mengusap air mata Arinda. "Rin, tolong jangan kayak gini lagi, ya?" pintanya dengan suara bergetar.

Namun Arinda tak bergeming, dia tetap saja berada dalam keterdiaman panjang.

Matahari untuk Arinda ✔️Where stories live. Discover now