MUA : Bagian Lima Puluh Empat

54 5 0
                                    

Arinda kira dia memasuki sebuah ruang baca tapi kenyataannya salah. Ruangan itu adalah ruangan pribadi milik Mama Rian. Ruangan yang dibentuk sedemikian rupa hingga menampilkan miniatur galaksi. Planet-planet kecil bergantung sesuai dengan urutannya.

Arinda takjub tentu saja, baru pertama kali dia melihat ruangan secantik ini.

"Ini ruang pribadi Mama. Mama suka banget sama galaksi," kata Rian memperkenalkan ruangan tersebut. "Ruangan ini salah satu kenangan Mama. Kalo gue rindu Mama gue bakal ke sini."

Rian berjalan mengitari ruangan, matanya sendu dan penuh dengan kerinduan yang mendalam.

Ruangan itu bukan hanya ada miniatur galaksi, namun di salah satu bagian terdapat foto-foto yang terpampang. Foto-foto wajah Mama Rian. Di satu foto Mama Rian tengah tersenyum lebar, foto lainnya menunjukkan raut wajah tertawa dan foto lain adalah keseharian Mama Rian yang sibuk memandangi langit. Sama seperti Rian.

Rian bercerita pasal namanya. Matahari Angkasa. Nama yang diberikan oleh Mamanya karena kecintaannya pada langit dan galaksi. Bukan hanya sekadar itu saja, tapi bisa dibilang Rian juga hampir bercerita keseluruhan keluarganya. Mulai dari bagaimana Mama dan Papanya bertemu hingga menikah, lalu berlanjut hingga Mama berpulang.

Tak ada air mata kala Rian bercerita. Yang ada hanya kenangan. Rian memang sempat terjatuh begitu dalam, namun dia sadar jika hal itu tidak berguna. Rian tau melepas Mama begitu sulit, tetapi terus menangisi juga tidak baik. Yang Rian harusnya lakukan adalah mengenang Mama, mengingat setiap perintah dan nasihat Mama.

Arinda yang terus memerhatikan Rian bercerita perlahan sadar jika dirinya juga bersikap salah. Dia terlalu mementingkan diri sendiri hingga lupa dengan adanya Adrian.

Senja hampir tiba kala Rian mengantar Arinda kembali ke rumah. Sebuah mobil SUV terparkir di depan gerbang dan tak lama seorang pria berusia sekitar empat puluh tahunan keluar dari dalam rumah diikuti oleh Adrian.

"Tadi itu siapa?" tanya Arinda ketika mobil SUV itu pergi.

"Pengacara Papa," kata Adrian. "Bahas masalah warisan dan juga kerjaan Papa," tambahnya.

Arinda bisa menangkap kegelisahan dalam diri Adrian. Dia mengajak Adrian duduk dan bercerita tentang apa yang dikatakan oleh pengacara Papa. Ternyata kedatangan pengacara itu adalah untuk membahas warisan dan juga pekerjaan yang ditinggalkan oleh Papa. Jabatan sebagai manajer pemasaran yang kini beralih ke sekretaris Papa. Bukan masalah jabatan, namun saham yang ditinggalkan Papa tidaklah sedikit dan itu yang membuat Adrian bingung.

"Maafin gue akhir-akhir ini. Gue ngeselin dan gue gak ada di saat lo butuh." Arinda memeluk tubuh Adrian.

Kegelisahan dalam wajah Adrian seketika lenyap, dibalasnya pelukan Arinda. "It's okay, Rin. Gue juga ngerti gimana perasaan lo."

"Gue ada di belakang lo dan gue siap bantu lo."

Sekali lagi Adrian tersenyum lebar seraya mengelus puncak kepala Arinda.

***

"Arinda."

Arinda serta merta menoleh kala namanya dipanggil, dia mendapati Dio yang menghampirinya.

"Mau ke kelas?"

Arinda mengangguk.

"Gue titip ini, ya? Kasih ke Lila." Dio menyerahkan sepucuk amplop berwarna biru cerah.

"Buat apaan nih?" tanya Arinda penasaran.

"Pokoknya kasih aja ke dia," kata Dio. "Makasih ya, Arinda." Lalu dia berlalu.

Arinda menatap amplop itu dengan kening berkerut. Dia menimbang-nimbang kira-kira apa isi dari amplop misterius ini. Sedang asiknya menerka, satu suara bariton mengagetkannya.

Matahari untuk Arinda ✔️Where stories live. Discover now