MUA : Bagian Dua Puluh Sembilan

64 4 0
                                    

"Nih." Arinda menyodorkan kotak bekal pada Rian yang dia temui di halaman belakang sekolah. Tadi dia sudah ke rooftop GK namun Rian tak ada di sana sehingga Arinda harus mencari cowok itu dan dia menemukannya di sini.

Rian yang bersandar pada batang pohon apel itu menoleh. "Apa?"

"Ini sandwich punya lo. Mereka udah pada makan, tinggal lo doang." Arinda duduk di sebelah Rian lalu membuka kotak bekal itu.

"Buat lo aja kalo lo laper."

Arinda memang lapar sih, tapi ini kan janjinya pada para cassanova. "Gak. Ini buat lo. Makan aja."

Kemudian tangan Rian mengambil sandwich yang hanya tersisa satu itu, menyuapnya lalu dia berkata, "Enak."

"Iya dong," balas Arinda bangga. "Tempat ini nih enak nih. Pas MOS gue suka ke sini, tapi kok sekarang suka gak kepikiran ke sini lagi, ya?"

Arinda merasakan hembusan angin menerpa wajahnya, terasa menenangkan. Ketika kedua mata Arinda tertutup, dia merasakan ponsel di saku roknya bergetar. Diambilnya ponsel itu dan dilihatnya ada sebuah pesan di Line dari Eza yang isinya permohonan maaf. Sejak semalam cowok itu memang berusaha menghubunginya untuk meminta maaf atas ulahnya kemarin.

"Eza suka ngehubungin lo?"

Pertanyaan dari Rian itu menyentak Arinda. "Kadangan sih."

"Sekadangan apa dari gue?"

"Ha? Ya masih banyakan dia daripada lo."

"Suka nelpon?"

"Gak sebanyak nge-chat. Ibarat kata nih perbandingannya 4:1." Arinda mendengar gumaman dari Rian. "By the way, kok lo nyendiri di sini?"

"Lagi mau sendiri."

"Kan lo emang sendiri, alias jomblo," canda Arinda hampir saja ingin tertawa jika saja dia tidak sadar bahwa yang di sebelahnya kini adalah Rian. "Sori. Becanda."

"Kenapa lo mau repot-repot bawa ginian?" tanya Rian kemudian. Sandwich itu sudah habis, tinggal tenggorokannya kini yang terasa kering.

"Karena gue udah janji sama Reki."

"Dia gak serius."

"Ya walaupun gak serius sih tapi tetep aja sebagai bentuk dari rasa terima kasih gue jadi gue iyain. Lagian karena mereka juga kan cewek-cewek jadi bisa karokean." Arinda menutup kotak bekal itu dan menggesernya mendekat. Duduk di sini terasa sangat nyaman, jauh dari bau-bau makanan dan hiruk pikuk. Arinda jadi bingung kenapa tempat ini tak ada yang mendatangi, ya? Rasa-rasanya dia ingin berada di sini, tidur siang mungkin kalau bisa.

Tanpa sadar Arinda kembali menutup matanya kembali, merasakan semilir angin dia menengadahkan kepala, cabang-cabang pepohonan yang memiliki dedaunan itu menutupi pandangannya dari langit biru di atasnya. Semuanya terasa begitu menyenangkan sampai dia membuka mata dan memiringkan kepala sedikit lalu kedua matanya bertemu dengan mata cokelat gelap milik Rian yang tengah memandanganya. Kedua mata mereka beradu. Arinda tidak tau mengapa kini semuanya terasa begitu pas; suasana, tempat dan juga Rian yang ada di sebelahnya. Arinda bisa berlama-lama menatap kedua mata jernih itu. Dia menyukainya. Menyukai apa? Rian? Atau kedua mata itu?

"Eh, anu, gue duluan ke kelas ya." Arinda buru-buru beranjak bangun dan berjalan namun baru dua langkah, Rian memanggilnya.

"Ini gak lo bawa?"

Arinda berbalik dan menatap pada kotak bekal itu. "Lupa. Dah." Dalam langkah cepat, Arinda menjauh dari sana. Pipinya kini terasa memerah hingga dia kembali mempercepat langkahnya kembali menuju kelas.

Matahari untuk Arinda ✔️Donde viven las historias. Descúbrelo ahora