MUA : Bagian Empat Puluh Empat

55 6 0
                                    

"Lo goda Arinda?" Hans menarik tubuh Rian agar duduk di bangku.

Rian melepas tasnya lalu duduk dengan satu kaki menumpu kaki lainnya. "Kata lo dia menarik, jadi ya gue coba goda aja."

"Alah bangke!" Seno yang baru datang segera mengumpat seraya melempar tasnya asal di meja. Tapi detik selanjutnya Seno malah berlari keluar dari kelas.

"Emang menarik kali. Tapi, woi Reki! Gokil parah lo nyampe nempelin poto mereka bedua."

"Itu saran dari Seno dan gue turutin aja, tu anak kalo gak diturutin bisa-bisa ngambek," ucap Reki.

Hans tertawa. "Tapi bener sih, kalo gak kayak gitu gimana lo bisa deket sama dia?"

"Lo liat gak muka merah dia tadi kayak mana? Tambah manis anjir!"

"Jadi pengen nyium," sambar Hans. "Kalo aja dia belom jadi inceran Rian."

"I could not agree more! Dia itu galak tapi manis, pantes aja lo suka Yan! Tapi gue rasa..."

Belum sempat Reki melanjutkan perkataannya, ponsel Rian yang belum diubah menjadi mode diam itu berdering. Rian merogoh ponselnya dan melihat nama Seno terpampang di sana. Diangkatnya panggilan itu.

"Woi, Yan. Buru ke sini, lantai satu, Arinda kena Penyi..."

Rian tak perlu menunggu kelanjutan ucapan Seno karena dia sudah tau. Arinda dihadang di bawah.

Dengan gerakan tiba-tiba dan tergesa, Rian melesat keluar dari kelas membuat Reki dan Hans melongo sesaat sebelum akhirnya mengejar Rian.

Langkah Rian sudah tak menentu, bahkan dia menuruni tangga dua-dua sekaligus agar cepat sampai. Begitu kakinya menjejak lantai satu, dia bisa melihat kerumunan dan dia yakin Arinda ada di tengah kerumunan itu.

Rian harus menyeruak kerumunan itu susah payah karena terlalu ramai dan tepat beberapa langkah, dia bisa melihat Arinda dengan jelas. Cewek itu berada dalam kurungan Teva cs dan yang paling membuat Rian kian bergerak cepat adalah gerakan tangan Teva yang ingin menampar Arinda.

"Cukup!!" Rian berteriak menggelegar dengan sebelah tangan mencengkram tangan Teva di udara. "Lo kelewatan!" desisnya tajam.

Teva berusaha melepaskan cekalan tangan Rian tapi susah. Akhirnya dia mendengus, "Gue gak ada urusan sama lo, Yan. Gue cuma mau..."

"Mau apa?!!" Suara Rian kembali menggelegar. "Mau nampar dia?" Cengkraman tangan Rian kian mengencang, tak dipedulikannya jika itu melukai Teva.

Kerumunan itu hanya bisa terdiam kaget melihat Rian yang berbeda. Selama Rian bersekolah, dia tak pernah membentak, apalagi membentak cewek. Meskipun Teva memang sering membuat masalah, tapi Rian tetap bergaya biasa. Hanya saja kali ini Rian terlihat sangat marah.

Beberapa detik kemudian, Rian melepaskan cengkeramannya dengan kasar. Dia berbalik menatap Arinda. Tak ada sorot takut di mata itu membuat Rian lega meskipun hanya sedikit.

"Lo gak apa-apa?"

Arinda mengangguk.

Dari sudut matanya, Rian melihat Hans yang berada di kerumunan. Dipanggilnya Hans hingga cowok itu menghampirinya.

"Anter Arinda ke kelas. Gue mau urusin ini dulu," ucap Rian pelan.

Hans mengangguk lalu segera membawa Arinda pergi dari sana.

Begitu Arinda dan Hans sudah tak terlihat, Rian menarik satu tangan Teva dan membawanya menjauh dari sana menuju halaman belakang sekolah. Dihempasnya tangan Teva asal.

"Lo udah gila?"

"Gue cuma mau ngasih dia pelajaran."

"Pelajaran apa?"

Matahari untuk Arinda ✔️Where stories live. Discover now