MUA : Bagian Lima Puluh Delapan

80 6 0
                                    

Sejujurnya Arinda tak ingin mengeluarkan air mata setetes pun atas apa yang baru saja terjadi. Namun hatinya berkata lain. Air matanya turun tanpa bisa dicegah, bergulir melalui pipi dan menetes. Semuanya bagaikan mimpi yang datang begitu cepat dan tidak terduga. Kembalinya Helen tentu saja menjadi hal yang ditunggu-tunggu oleh Rian dan Arinda yakin akan hal itu.

Lagipun Rian tidak akan memilihnya, perlakuan yang diberikan oleh Rian semata-mata hanya untuk melindunginya. Bukan perlakuan istimewa seperti yang ditunjukkan cowok itu pada Helen.

Pandangan Arinda tetap terarah keluar, menilik bangunan dalam matanya yang berkaca-kaca. Driver taksi online yang ditumpangi Arinda hanya bisa menatap heran namun tidak bertanya apapun.

Tak mau terlalu lama berlarut, Arinda mengusap air matanya menggunakan punggung tangan. Kedua matanya masih memerah.

Bodoh! Bodoh! Bodoh!

Arinda terus merutuki dirinya hingga mobil yang dia tumpangi sampai di depan rumahnya. Langkah Arinda terlihat cepat, dia hanya ingin cepat sampai ke kamar agar bisa menumpahkan segala emosi dalam dada.

Benar saja, ketika Arinda membuka pintu air matanya kembali keluar. Menetes membasahi kasur tempat Arinda merebahkan tubuh.

Arinda bersyukur karena Adrian sedang tidak ada ketika dia kembali. Tak bisa terbayangkan apa yang akan dilakukan oleh Adrian jika tau dirinya menangis. Marah tentu saja. Bahkan Adrian bisa saja segera mendatangi Rian.

Arinda sukses menutupi sisa hari itu dalam senyumnya tanpa Adrian tau.

Namun, niatan Arinda untuk menjauhi Rian pagi itu seakan buyar ketika suara klakson mobil Rian terdengar. Arinda tentu saja tidak mau Adrian tau jika dia mempunyai masalah, oleh karenanya Arinda memilih ikut dengan mobil Rian.

Seperti yang bisa ditebak, di dalam mobil Arinda hanya diam tanpa suara. Rian berusaha berkomunikasi tapi Arinda tak mau menjawab barang satu katapun.

Ketika sampai, Arinda segera saja keluar dari mobil dan bergegas. Namun baru lima langkah tangannya ditarik hingga tubuhnya kini berbalik menghadap Rian.

"Apa-apaan sih? Lepasin tangan gue!" kata Arinda kasar.

"Rin, gue harus ngejelasin sesuatu sama lo," sahut Rian.

"Jelasin apaan? Lepasin tangan gue, bentar lagi masuk dan gue gak mau telat masuk kelas!"

"Masih ada lima menit, Rin. Gue mau ngomong sama lo."

"Emang dari tadi lo gak ngomong?"

Rian menghela nafasnya. "Gue mau minta maaf soal kemarin."

"Gak perlu," potong Arinda cepat. Telinganya tidak mau mendengar apapun dari Rian. "Dan gak usah!"

"Tapi Rin, gue bener-bener gak berniat kayak gitu," Rian berkata pelan.

Arinda mendengus. Lalu jika tidak berniat mengapa Rian membuat janji? "Gue gak peduli!" serunya. Memancing perhatian orang yang berada di parkiran. "Mau lo jungkir balik kek, tiduran kek, gandeng dua cewek kek, bodo amat!"

Rian menyugar rambutnya asal. "Dia bukan siapa-siapa gue, Rin, dia cuma..."

"Gue gak peduli," potong Arinda lagi. "Lagian gue juga cuma adek kelas lo, gak lebih, kenapa jadi lo harus jelasin segala?"

"Arinda."

"Waktu lima menit lo habis!" tandas Arinda. Memutus percakapan dengan sentakan keras.

Arinda pergi dari sana diikuti dengan pemandangan berjuta tanya. Arinda sudah tidak peduli bahkan jika satu sekolah menjadikannya bahan gosipan. Apa yang harus dia sesali selain sikap bodohnya yang menganggap rasa peduli Rian sebagai rasa suka.

Matahari untuk Arinda ✔️Where stories live. Discover now