Mua : Bagian Enam

150 8 0
                                    

Arinda tidak tau harus bagaimana ketika mengatahui Rian terkena dampak dari penendangan paksa pintu itu. Membawa Rian ke UKS juga percuma karena pada jam sekarang UKS sudah tutup.

"Aduh, gue—" Arinda tidak tau kata-kata apa yang pantas dia ucapkan sekarang. Pasalnya dia panik, bukan karena Rian semata tapi karena ponselnya yang terus saja bergetar. "Gue gak sengaja. Gue juga gak tau kalo ada lo di situ."

Rian yang masih dalam posisi sama, menunduk dengan sebelah tangan memegang hidungnya, hanya menjawab dengan rintihan kesakitan.

"Kita ke dokter aja deh ya? Gue takut hidung lo geser," usul Arinda. Berusaha membujuk Rian agar memberi tanggapan, nyatanya mau keadaan beginipun cowok itu tetap irit berbicara.

Setelah beberapa saat terdiam, akhirnya Rian buka suara, "Gak usah," katanya pendek. Dia mulai mendongak dan hidungnya terlihat merah seperti tomat. Arinda bahkan harus mengatupkan mulutnya ketika melihat itu.

"Ta—serius? Lo kayak—" Arinda belum sempat melanjutkan perkataannya ketika ponselnya bergetar hebat. Panggilan dari Adrian. Arinda tau ini bukan pertanda baik. "Aduh. Sori gue mesti pergi. Sori." Setelahnya Arinda segera berlari dari sana.

Bukannya Arinda tidak bertanggung jawab, masalahnya Adrian lebih penting saat ini. Kalau sampai Adrian tidak digubris bisa-bisa gawat.

Rasanya jarak aula dan gerbang terasa cukup jauh bagi Arinda yang notabene buruk dalam berlari. Nafasnya pun sudah memburu, rambutnya beterbangan tak keruan. Jangan ditanya bagaimana ekspresi wajahnya kini.

Ternyata Adrian tak lagi menunggu di gerbang namun dia sudah berada di lobby sekolah dengan pakaian santainya. Arinda bahkan menjengit kaget ketika melihat dia berdiri di sana.

"Dari mana aja lo? Maen sama cowok? Ada yang ngerjain lo, hah? Bilang sama gue!" repet Adrian begitu melihat Arinda. Padahal Arinda masih berjarak lima belas langkah darinya.

Arinda buru-buru menghampiri Adrian. "Gue abis beresin bola. Lo ngapain nyampe sini segala?"

"Ngapan lo bilang?" Mata Adrian melotot. "Gue nungguin orang yang dari tadi gak keluar-keluar padahal udah lima belas menit bel pulang bunyi. Jelas?"

"Kan gue udah bilang kalo gue beresin bola. Udah deh pulang aja."

Adrian menepis tangan Arinda yang hendak mengajaknya pulang. Kepalanya malah celingukan mencari sesuatu. "Lo gak bohong sama gue, kan? Gak ada yang lo sembunyiin, kan?"

"Apaan? Gak ada yang gue umpetin. Lo lebay amat dah. Intinya kan gue udah di sini."

"Gue gak percaya sama lo!" tandas Adrian. "Gue yakin ada apa-apa."

"Kok lo malah duduk sih?!" protes Arinda ketika melihat Adrian yang duduk di kursi. "Lo jemput gue kan tujuannya buat pulang. Ngapain mesti duduk?"

"Sepuluh menit. Gue mau tau ada apa. Udah lo duduk aja sini." Adrian menepuk kursi kosong di sebelahnya.

Menghentakkan kaki kesal, Arinda akhirnya duduk di sebelah Adrian. Mengamati sesuatu yang tidak jelas, beberapa orang berjalan hendak pulang ataupun yang datang kembali guna mengikuti kegiatan ekstrakulikuler. Tidak ada apapun yang terjadi. Namun sayang, tepat ketika Adrian bangun, Hans yang berjalan dari dalam sekolah menyapa Arinda dengan lantang.

"Kok lo belom balik, Arinda? Gak dijemput?" tanyanya santai, seakan tak melihat sorotan tajam dari Adrian.

Hal itu tentu saja membuat Adrian mendesis marah. Dalam hati, Arinda ingin sekali memaki Hans dengan segala karamahtamahan itu.

"Lo siapa?" tanya Adrian tajam. Dia berdiri di depan Arinda sehingga Hans tak bisa menatap langsung pada Arinda.

Hans mengernyit. Ditatapnya Adrian dari ujung kaki ke ujung kepala.

Matahari untuk Arinda ✔️Where stories live. Discover now