Mua : Bagian Tujuh Belas

98 6 0
                                    

Rian menutup telponnya begitu mendengar pemaparan dari Andri teman satu kelasnya mengenai Arinda kemarin. Dari hasil pemaparan temannya itu diketahui bahwa Arinda mendapatkan perlakuan tidak enak dari Teva secara langsung. Rian tau bagaimana jika Teva yang sudah langsung turun tangan. Semuanya akan kacau. Dilemparnya ponsel ke atas kasur berseprai putih itu.

Sejak kemarin sore, lebih tepatnya setelah sidang perceraian kedua orangtua Reki, mereka berempat pergi menuju Jakarta dengan menggunakan pesawat dan menginap di hotel. Rencananya mereka akan berada di sini untuk tiga hari lamanya. Menghabiskan waktu untuk menghibur seorang Reki yang terlihat kuat seperti karang namun nyatanya rapuh.

Rian memandang keluar jendela pada suasana kota Jakarta yang padat lebih dari kota Bandarlampung. Dihembuskannya nafas perlahan.

"Ah diluar panas banget," keluh Hans yang baru saja memasuki kamar. "Lo gak keluar?"

Rian menggeleng.

Hans merebahkan badannya. "Kenapa? Mikirin soal Arinda yang kena sama Teva?"

Rian segera melirik ke arah Hans.

"Gue punya banyak orang yang mau ngasih informasi tanpa gue minta," jelas Hans seakan bisa menebak apa yang hendak Rian tanyakan. "Dia udah kena Teva itu artinya dia dalem masalah besar. Tapi beruntungnya dia ditolongin sama Eza. Ya seenggaknya dia bakal aman."

"Why do you think so?" Rian kembli memandang kelur jendela.

"Karena dia sodara Teva." Kasur yang ditiduri Hans itu berbunyi ketika Hans bangkit dan berjalan menuju Rian. "Masalah lo ada di Eza, kan? Dan ini ada hubungannya sama Helen. Gue bener, kan?"

Rian diam, tak mau menjawab. Dia bahkan lupa untuk bercerita mengenai masalah yang terjadi antara dirinya dan Eza.

"I would appreciate if you want to protect her, tapi gue cuma khawatir sama lo juga sama Arinda. Lo ngelibatin orang yang gak salah, Yan. Lo pasti ngerti, kan?"

Suasana kota Jakarta ntah mengapa terlihat lebih menarik bagi Rian menarik ketimbang ucapan Hans.

"Gini deh, kalo lo pikir Eza emang gak pantes untuk deket sama cewek yang menurut lo masih polos ataupun gak tau apa-apa, gue rasa lo cukup dengan pancing sifat Eza aja, atau lo bisa pake gue buat deketin Arinda. Orang-orang udah pada tau kalo gue ini playboy jadi gue rasa gak ada masalah, kan? Gue bukannya mau cari keuntungan tapi kalo lo yang turun... Arinda juga yang kasian. Dia jadi berurusan sama Teva, belum lagi dengan tingkah lo yang... jujur gue aja jarang liat. Yang paling gue takutin adalah perasaan Arinda nanti."

Hans mungkin tau jika apa yang dibicarakannya ini akan sia-sia, meskipun Rian mendengarkan dan menangkap isinya namun cowok itu dipastikan tidak akan buka suara. Tapi ternyata, Rian bertanya kemudian.

"Maksud lo apa?"

Hans menghembuskan nafasnya terlebih dahulu sebelum memulai ucapan yang menurutnya terdengar seperti pakar perempuan. "Sejatinya, cewek itu gampang kebawa perasaan, mereka bisa ngerasa nyaman lebih dulu ketimbang cowok. Bisa aja lo nganggep semuanya biasa tapi bagi cewek belum tentu kayak gitu. Itu yang gue takutin antara lo sama Arinda. Gue cuma gak mau ya kalo nanti Arinda sakit hati."

"Gue rasa Arinda bukan cewek yang kayak gitu."

"Lo gak bisa cuma nilai dari luar doang, Yan. Mau gimanapun juga Arinda itu cewek. Percaya deh sama kata-kata gue. Tapi kalo lo emang serius ya udah lo bisa lanjut tapi kalo gak, mending lo mundur."

Sorot mata Rian menatap langsung pada iris mata Hans. Temannya itu memang sudah berpengalaman dengan banyak cewek namun ntah mengapa rasanya susah sekali untuk membiarkan Eza mendekati Arinda.

Matahari untuk Arinda ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang