Tapi tentu saja menulis skripsi mengenai rumah tangga tidak mengubah keengganannya untuk menikah cepat-cepat. Justru dia malah makin takut, karena yang dia teliti sangat spesifik: kepuasan pernikahan.

Selama mencari data, dia banyak menemukan bahwa di balik pernikahan ada suatu kerapuhan yang jika tidak segera dikuatkan akan berujung pada perceraian. Persentasenya pun tidak kecil. Jelas saja dia makin ragu.

"Untuk yang sedang ulang tahun dan baru wisuda, nih sate daging sapi pertama!" teriakan Aji mengempaskan lamunan Kia yang tadi berada di awang-awang langsung menuju ke tanah. "Selamat, ya! Semoga apa yang dicita-citakan segera tercapai."

Kia yang tadi sempat terpekik kaget, sekarang tersenyum lebar. "Aamiin, terima kasih ya..." ucapnya tulus. "Semoga doa yang baik juga ke kamu, ke kalian semua."

Terdengar koor "aamiin" yang menggema hingga ke seluruh halaman belakang rumahnya. Aji mengangguk dan kembali memanggang daging untuk dirinya sendiri dan teman-teman yang lain. Terdengar lagi canda tawa mereka yang sekarang mengikutsertakan Kia dan Sheila.

"Anak-anak! Jangan lupa nanti pada shalat tarawih, ya!" Bunda Kia muncul untuk mengingatkan para tamunya.

"Siap, Tante!"

Bunda Kia pun mengangguk dan tersenyum sebelum kembali masuk ke rumah.

Seperti ini Kia sangat bahagia. Bersama teman-temannya, berkumpul bersama, tidak ada hal lain yang dia khawatirkan. Untuk apa menikah jika dirinya sudah bahagia dengan kehidupannya sekarang?


*


"Kia," panggil bundanya dari luar kamar. "Ada orang tuanya Rei di depan, tuh."

Kia mengernyit. Malam-malam begini? Kok nggak tadi-tadi sekalian, tanyanya dalam hati. Namun Kia tetap beranjak dari kasurnya, memakai celana training, cardigan, dan jilbab instan sebelum menemui Rei di ruang tamu.

Setibanya di ruang tamu, Kia dikejutkan dengan sebuket besar bunga mawar merah. Buket itu bergeser dan menampakkan wajah semringah ibunya Rei. Kia terkekeh melihat tingkah wanita paruh baya yang menurutnya konyol itu, dan tidak menolak ketika beliau menyerahkan buket tersebut.

"Terima kasih," ucap Kia seraya duduk di kursi di seberang kedua orang tua Rei. "Tante dan Om repot-repot banget."

"Enggak repot dong, Kia... kan untuk pacarnya Rei. Iya kan, Pak?" ibu Rei, Tante Halimah, meminta dukungan suaminya.

Pacar? Kia menahan nafasnya sembari terus tersenyum. Setidaknya dia tidak boleh terlihat tidak nyaman.

Sementara itu, Om Janu, ayah Rei, balas tersenyum dan menyerahkan satu kotak kecil yang terbungkus kertas kado berwarna biru laut—warna kesukaan Kia—kemudian berkata, "Ini dari Rei juga, Kia. Tadi hadiah ini baru di sore hari sampai di rumah. Dikirim oleh Rei langsung dari Malang."

Ah, iya. Sang taruna yang telah berpangkat Letda itu sekarang bertugas di Malang. Hampir setahun lalu Rei berpamitan padanya via video call. Saat itu, Kia sedang tidak ingin menemui siapa-siapa karena masih stres berkat tekanan dari urusan skripsinya. Rei menghormati keputusan Kia dengan tidak menemuinya karena pasti gadis itu akan lebih stres lagi. Komunikasi di antara mereka masih berjalan, meskipun tidak lagi intens karena Rei sibuk dengan tugas-tugasnya dan Kia selain sibuk skripsi memang terlalu cuek.

Kia menerima kotak tersebut dengan senang hati. "Tolong sampaikan pada Rei, Kia sudah menerima hadiahnya. Terima kasih."

"Kamu saja yang bilang, Ki. Rei sedang menunggu telepon dari kamu. Kangen, katanya," ujar Tante Halimah dengan wajah berseri-seri.

Traveloveحيث تعيش القصص. اكتشف الآن