"Ya?" tanya Eleven, membalas tatapan Spade yang heran, tapi pengusaha itu hanya mengangkat bahu dan memandangi sekeliling sebelum ikut sibuk dengan ponselnya sendiri.

"Apa kau baik-baik saja?" tanya Kelana dengan nada khawatir. "Aku dengar kau memanggil petugas forensik ke kasino. Apa terjadi percobaan pembunuhan lagi?"

Eleven mendesah. "Aku baik-baik saja dan ya, ada orang lain yang ingin membunuh Spade. Tenang saja, keadaan sudah terkendali." Terdengar napas lega dari ujung sambungan. "Bagaimana dengan makan malammu?" tanya Eleven basa-basi, berusaha untuk menenangkan partnernya yang sepertinya sudah siap meninggalkan kencan demi tugas.

"Aku meninggalkannya saat mendengar kalau kau memanggil forensik,"jawab Kelana membuat bahu Eleven turun. "Saat ini aku sudah berada di depan kamar Spade."

Eleven menoleh dan mendapati bahwa pria berkacamata itu sudah berdiri sambil memegang telepon seluler di telinga. Sebuah senyum canggung muncul di wajahnya. Kelana mengakhiri panggilan. Eleven berdecak kesal tapi tetap berusaha tenang. Masih ada banyak hal yang harus dilakukan selain meneriaki partnernya.

"Bagaimana dengan Candari?" tanya Eleven berjalan ke arah Kelana, mengabaikan mayat-mayat yang bergelimpangan. Spade mengikutinya sambil terus mengetik ponsel dengan satu tangan, berusaha tidak merusak TKP.

"Marah, tapi setidaknya aku belum dipecat dari status kekasih," balas pria itu memperbaiki letak kacamata dengan gugup. "Bagaimana dengan kondisimu?"

Eleven menghela napas. Cukup dia saja yang tidak memiliki kehidupan sosial karena memilih pekerjaan sebagai pasangan tetap. Kelana memiliki kehidupannya sendiri dan Eleven berharap partnernya memiliki masa depan yang dikelilingi anak dan istri.

"Sudah kubilang aku baik-baik saja. Seharusnya kau tetap bersama kekasihmu. Sudahlah, karena kau sudah datang, kita perlu berdiskusi tentang kasus ini." Perhatian Eleven teralihkan pada kedatangan tim forensik yang langsung dengan cekatan mengamankan lokasi dan mulai mengekstrak bukti. Mereka bertiga menyingkir untuk membiarkan para petugas itu bekerja, termasuk mengevakuasi mayat. "Spade, apakah ada kamar lain yang bisa dipakai sebagai tempat untuk berbicara?"

"Kalian baru saja melarangku memasuki dua kamar termewahku. Kamar yang lain terisi oleh tamu," desah pria flamboyan tersebut sambil menggelengkan kepala.

"Oh, kabar baik, Spade." Kelana menyahut. "Aku baru saja mendapatkan izin dari petugas forensik untuk kembali menggunakan suite-mu. Mereka sudah mendapatkan apa yang mereka mau dan tidak ada lagi yang bisa diambil lagi dari sana. Kurasa hubunganmu dengan Mayor memang melancarkan banyak hal."

Seulas senyum langsung muncul di wajah Spade. "Tidak ada salahnya menjalin relasi dengan orang nomor satu di kota Dallar, bukan?"

Kelana tertawa, semetara Eleven mengembuskan napas kesal. Dia sudah muak dengan kelakuan Spade yang arogan. Mereka bertiga memutuskan untuk menunggu sampai petugas forensik menyelesaikan tugasnya sebelum mereka kembali ke suite milik Spade. Selama menunggu, Eleven juga menanyai beberapa pengawal Spade untuk memastikan bagaimana penembak bisa masuk ke dalam kasino membawa senjata walaupun penjagaan sudah diperketat. Tidak ada yang tahu bagaimana orang itu bisa begitu dekat dengan Spade dan menyerangnya. Yang pertama, pastilah karena dia tidak termasuk dari daftar penyerang yang sudah beraksi sehingga dapat dengan mudah menyamar menjadi tamu. Yang jadi masalah adalah bagaimana dia bisa mendapatkan senjata walau area kasino harusnya sudah steril.

Pukul dua dini hari, akhirnya para pria itu bisa mengempaskan diri mereka ke atas sofa berwarna merah marun di ruang tamu. Eleven yang tangguh pun tidak bisa menyembunyikan raut kelelahan dari wajahnya dan memilih melonggarkan dasi yang mencekik leher. Setelah dibangunkan subuh kemarin, dia nyaris tidak beristirahat dan baru kali ini bisa menyandarkan badan. Kelana yang sejak datang sibuk mengakses data kasus dan memeriksa rekaman kamera pengawas, juga menunjukkan gejala yang sama. Hanya Spade yang masih bisa merayu seorang perempuan melalui ponsel. Sama sekali tidak ada guratan lelah di wajah tampannya. Sama sekali tidak seperti seorang korban percobaan pembunuhan. Eleven sudah terlalu lelah untuk mengagumi mental Spade.

[END] Eleven SpadeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang