12. Dekat Bosan, Jauh Kangen Mati-matian!

Mulai dari awal
                                    

Dengan loyo, Chris membuka pintu dan turun. Tidak lama kemudian, matanya terbuka lebar-lebar. Angin sejuk menampar pipi. Wajah layunya serentak merona saat sadar bahwa sekarang dia di pinggir jalanan desa, dengan sawah serupa permadani hijau terbentang di depannya.

"Daebak!"

Chris maju, nyaris jatuh ke selokan kalau saja dia tidak sigap untuk mundur lagi. Kemudian dia menoleh ke arah pematang sawah, di kejauhan Maura sedang meminta difoto oleh Darma.

Bukan sembarang pose, Maura sedang berusaha mendapatkan moment terbaik dengan foto bersama puluhan burung kuntul yang terbang rendah di sekitar sawah.

Chris tersenyum sendiri jadinya. Maura terlihat bahagia. Senyuman Maura, gelak tawa Maura, belum lagi pemandangan yang indah, oke ... itu salah satu masa keemasaan di hidup Chris.

Eh, wait!

Chris menggelengkan kepala. Tidak boleh! Itu tidak boleh kejadian!

Pemuda itu lantas bergerak menyusul. Tidak adil rasanya kalau dia cuma jadi penonton. Lagipula, Darma terlihat tidak mahir menggunakan DSLR. Maura butuh difoto pakai lensa tele agar hasil fotonya kece!

Dengan sekali tepukan, Chris membuat Darma menoleh. "Eh, Mas Chris udah bangun, toh?"

Chris mengangguk. "Sini kameranya, Mas."

Darma menyerahkan tanpa bertanya. Sementara itu Maura berhenti berpose. Lalu cemberut saat Chris membawa pergi kamera ke mobil. "Ya, rese tuh anak!"

Darma terkekeh. "Udah, Mbak. Biarin aja, sini takfoto pakai handphone ae."

"Kenapa sih tuh orang, pelit banget. Kamera dipinjam bentar aja nggak boleh!"

Tapi setelahnya, Maura berusaha tidak peduli. Dia malah berlarian di pematang. Mengejar burung kuntul. Terkadang, gantian dia yang dikejar hingga lari kocar-kacir. Atau, dia tergelak seru saat burung-burung itu terbang mengerubutinya. Malah, ada yang dengan kurangajar meninggalkan jackpot berupa kotoran di atas kepala Maura.

Tanpa Maura sadari, setiap detik dari moment itu, tidak ada yang luput dari bidikan Chris. Pemuda itu berdiri bersandar ke sebuah pohon di pinggir jalan. Tangannya lihai mengarahkan kamera yang sudah dipasangi lensa tele panjang. Dengan lensa itu, Chris bisa membidik Maura dari jarak jauh.

Chris tersenyum saat dia mendapat ekspresi Maura yang merengut kecut begitu rambutnya dijatuhi kotoran. Pemuda itu segera melihat hasil bidikannya. Candid tapi cantik.

But no!

Chris menggelengkan kepala lagi. Lalu berusaha menata hati hingga akhirnya Maura dan Darma terlihat kembali ke pinggir jalan. Chris segera masuk mobil. Melepas lensa tele dan menggantinya dengan lensa wide lagi.

Chris mengambil kabel data dan flashdisk OTG, lalu memindah beberapa foto ke ponselnya.

Maura menghela napas begitu masuk ke mobil. Lalu mencebik kesal saat dia melirik ke arah Chris yang pura-pura tidak peduli. Setelahnya, Darma menghidupkan mesin. Mobil mereka kembali melaju memasuki daerah pemukiman dan akhirnya sampai di sebuah homestay.

Mereka turun satu per satu dan disambut oleh tour guide local bernama Seno. Setelah berbasa-basi sejenak, mereka memasuki kamar masing-masing untuk beristirahat.

Maura dan Chris masih saling mendiamkan. Tapi pada akhirnya, Maura tersenyum begitu lebar saat tubuhnya mendarat di kasur, ponselnya berbunyi lirih, tanda ada pesan masuk. Begitu dibuka, ternyata itu dari Chris.

Chris mengirimkan lima foto terbaik hasil jepretannya hari itu. Maura duduk lagi dengan senyum lebarnya. Dia sudah salah sangka kepada Chris hari itu. Chris bukannya pelit, tapi Chris malah membantunya mendapatkan hasil foto yang keren.

Maura segera memilih salah satu foto untuk dia post di Instagram, lengkap dengan caption manis di bawahnya.

Setelah itu, dia keluar dari kamar. Bergegas pergi ke dapur untuk membuat teh hangat dan mengantarnya ke kamar Chris. Begitu pintu terbuka, Chris mengernyitkan dahi sementara Maura malah tersenyum sambil berkata, "Kamsahamnida, Oppa."

***

Praska menghela napas begitu keras.

Sudah lima hari dia berusaha menghubungi Maura dan berakhir sia-sia. Maura menghindar, Praska paham betul itu. Tapi ini keterlaluan, gadis itu bahkan sering terlihat online di Whatsapp, juga beberapa kali posting foto di Instagram.

Sedangkan semua pesan dan telepon dari Praska seolah dianggap angin lalu.

"Gimana sih, Pras? Ada diomelin. Nggak ada dikhawatirin." Laula terkekeh menggoda sambil fokus pada pekerjaannya.

"Nggak gitu, La. Aku nggak suka kalau dia nggak ngabarin aku kayak gini."

"Cemburu ya pacarnya lagi jalan sama oppa ganteng?"

Praska menoleh. Akhir-akhir ini, dia sering bertemu dengan Laula di luar jam kerja. Tidak aneh-aneh, sekedar ngopi bersama atau mengerjakan tugas, juga sharing hal-hal yang biasa.

Lagipula, Laula memang enak diajak bicara tentang hal yang berkualitas. Praska nyaman, tapi otaknya tidak sejalan. Wajah Maura penuh di sana, di otaknya! Sebentar-sebentar bikin Praska jengkel, sebentar-sebentar membuat Praska rindu.

"Dia emang udah pernah bilang mau break dulu sama aku selama pergi sama Chris. Tapi nggak kayak gini juga kan, La?"

Laula tersenyum lalu mengangkat wajahnya. "Ya udah sih, yang penting kan kamu tahu kalau dia baik-baik aja di sana. Chris rutin ngabarin aku kok. Itinerary yang dibikin sama Maura bagus. Mereka have fun di sana. Chris puas. Maura juga kerjaannya oke."

Praska tidak mengharapkan kabar yang seperti itu. Kalau kemarin-kemarin dia ingin Maura bersikap serius dan tidak cengengesan, sekarang dia malah kangen masa-masa di mana dia dan Maura ngobrol banyak hal remeh sampai tengah malam.

Telepon sampai pulsa habis. Chatting sampai ketiduran. Atau video call buat balapan siapa yang tidur duluan.

Praska rindu masa-masa itu.

Lalu sekarang, fokus Maura sedang ditujukan untuk pemuda lain. Praska geram dengan kelabilannya sendiri. Dekat bosan, jauh kangen mati-matian!

"Maura itu orangnya lembut banget, La. Dia gampang naruh perasaan ke orang. Aku takut dia kelewat perhatian sama Chris gara-gara cowok itu sakit aneh. Aku nggak mau Chris memanfaatkan kelembutan Maura dengan narkolepsinya."

Cukup sudah, Laula bosan mendengarnya. Dia menepuk meja dengan pelan lalu berkata, "Kamu mikir kejauhan, Pras!"

"Kejauhan gimana? Wajar, kan? Maura pacarku, aku pacarnya. Kalau Chris itu pacar kamu, dalam keadaan gini emang kamu nggak bakalan khawatir apa?"

Laula mendengkus. Agak jengah, tapi masih bisa ditahan. Seandainya saja itu bukan Praska, mungkin dia sudah meledak-ledak karena cemburu.

Sayangnya itu Praska, orang yang ia cintai, pemuda yang berhasil membuat hatinya sekarat berhari-hari.    

***Fair Unfair***

FAIR UNFAIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang