BAGIAN 21

10.6K 788 10
                                    

Bukan hal yang mustahil jika kita berusaha merubah takdir, karena ada takdir yang memang bisa diubah.

* * *

PULANG

Kedua tangan Risya tak henti-hentinya bergetar selama perjalanan berlangsung. Abah dan Bu Nyai ikut untuk mendampinginya menemui kedua Orang tuanya. Ardi mengemudikan mobil dengan tenang bersama Firman yang ada di sampingnya.

"Kamu nggak boleh takut Nak, kamu harus berani..., Insya Allah, Allah akan membantu kita semua," ujar Bu Nyai.

"Yang perlu kita takuti hanya Allah, karena semakin kita takut kepada-Nya, maka semakin besar perlindungan yang akan Dia berikan untuk kita," tambah Abah.

Risya mengangguk. Ia paham akan semua hal yang Abah dan Bu Nyai sampaikan, namun mereka tidak tahu kenyataan sesungguhnya tentang siapa yang akan mereka hadapi.

Risya menatap ke arah kaca Anti-Glare Properties dan melihat Ardi yang sesekali menatapnya diam-diam. Sesuatu yang selalu membuatnya tenang, sesuatu yang selalu saja dilakukan oleh pria yang kini telah menjadi suaminya itu, sesuatu yang selalu membuatnya merasa terlindungi.

Laju mobil mulai memasuki jalan menuju ke kampung mereka. Risya kembali dalam kegelisahannya. Kedua Orang tua Ardi telah menunggu di depan rumah mereka yang tidak jauh dari rumah Orang tua Risya.

Abah dan Bu Nyai segera menemui mereka, sementara Risya, Ardi, dan Firman masih berada di dalam mobil. Risya semakin gemetaran, Ardi berpindah ke jok belakang dan memeluk Risya agar tenang.

"Ukhti Risya..., kita akan berbicara dan menjelaskan baik-baik. Ukhti harus tenang...," saran Firman.

"Akh Firman tidak tahu..., siapa yang akan..., kita hadapi...," ujar Risya, terbata-bata.

Firman menatap ke arah Ardi.

"Isteriku benar Akh..., yang akan kita hadapi adalah orang yang tidak punya perasaan sama sekali. Kita tidak bisa menghadapinya dengan tenang," ujar Ardi.

Bu Nyai membuka pintu dan meminta Risya dan Ardi untuk ikut bersama mereka. Abah mengetuk pintu rumah Orang tua Risya di dampingi oleh ketua RT yang sudah dimintai tolong oleh Kedua Orang tua Ardi.

"Assalamu'alaikum...," ujar Abah.

Derap langkah seseorang terdengar dari dalam rumah, orang itu membukakan pintu namun tak menjawab salam sama sekali.

"Cari siapa?," tanya pria muda yang membuka pintu tersebut.

"Bapak dan Ibumu ada Nak?," tanya Abah.

"Ada! Masuk..., saya panggilkan dulu," jawabnya, kasar.

Firman mendekat pada Ardi dan membisikan sesuatu.

"Siapa itu?," tanyanya.

"Itu Rahman, Adik iparku," bisik Ardi di telinga Firman.

Yang masuk ke dalam rumah itu hanya Abah, Bu Nyai, Kedua Orang tua Ardi dan juga Pak RT. Tak lama kemudian, kedua Orang tua Risya keluar dari dalam rumah dan langsung menghadapi mereka tanpa berbasa-basi.

Firman melihat dari luar bagaimana jalannya perbincangan itu, sementara Risya tetap saja gelisah.

"Bagaimana ini Bi? Bagaimana jika terjadi sesuatu?," tanya Risya, ketakutan.

Ardi mengusap punggung Risya dengan lembut.

"Insya Allah, apapun yang akan terjadi akan kita hadapi bersama," balas Ardi.

"TIDAK!!! SAYA TIDAK AKAN MENYETUJUI PERNIKAHAN MEREKA!!! MANA ANAK KURANG AJAR ITU???," Ilyas murka.

"Pak..., sudah Pak!!! Jangan sakiti Risya lagi Pak!!!," Marni memohon pada Suaminya.

Ilyas keluar dari rumah dan berjalan ke arah Risya yang terlihat berdiri di samping Ardi.

"Ampun Pak..., jangan pukul saya...," Risya ketakutan setengah mati.

Ardi memeluknya agar terhindar dari pukulan Ilyas. Firman menghalangi Ilyas agar tak menyentuh Ardi ataupun Risya.

Pak RT memanggil bantuan, sementara Abah dan Rudi - Ayahnya Ardi - mencoba membantu Firman menghalangi Ilyas.

"Cukup Ilyas..., anak kamu adalah anakku juga sekarang..., kalau kamu menyakitinya, maka aku akan melaporkanmu pada Polisi!!!," ancam Rudi.

"Persetan dengan Polisi!!! Risya akan aku nikahkan dengan Juragan Tomo!!! Anakmu tidak boleh menjadi Suaminya!!!," balas Ilyas.

"Istighfar Pak Ilyas..., menjual anak sendiri itu dosa besar!!! Anakmu sudah menikah..., dan kamu tidak bisa memisahkan mereka...," ujar Abah.

Ardi memeluk Risya erat-erat, seakan takut kehilangan wanita itu lagi. Ia menangis seraya mengecup keningnya.

"Abi nggak akan lepasin Ummi..., Abi nggak mau kehilangan Ummi," bisik Ardi.

"Bawa Ummi pergi Bi..., bawa Ummi pergi..., Ummi takut...," pinta Risya di tengah isak tangisnya.

Warga kampung berdatangan dan membantu melindungi Risya agar tidak disakiti lagi oleh Ayah kandungnya sendiri. Mereka beramai-ramai menghalangi Ilyas sehingga pria paruh baya itu tidak bisa lewat sedikit pun.

"RISYA!!! KAMU HARUS MENIKAHI JURAGAN TOMO!!! BUKAN LAKI-LAKI PENGECUT YANG CUMA BISA MEMBAWAMU LARI DARI RUMAH!!!," teriak Ilyas lagi.

Marni menangis di teras rumah tanpa bisa melakukan apapun, Rahman keluar dengan cangkul di tangannya. Ia menghantam kepala Ilyas dengan satu pukulan paling keras.

BUGHHH!!!

Ilyas terkapar di tanah dengan darah mengalir deras. Pria itu meninggal seketika. Semua orang terdiam ketika hal itu terjadi. Ardi melepas pelukannya pada Risya dan membiarkan wanita itu berlari ke arah adiknya.

"Rahman!!! apa yang kamu lakukan???," teriak Risya, histeris.

Rahman menatap Risya sambil menahan airmatanya.

"Biar saya yang dipenjara Teh..., Teteh bawa Ibu pergi dari sini! Biar saya yang tanggung semuanya..., anggap saja saya menebus dosa karena nggak bisa melindungi Teteh meskipun saya mampu! Saya cuma mau Teteh maafin semua kesalahan saya..., dan jagain Ibu," ujar Rahman.

Risya memeluk Adiknya dengan erat. Warni - Ibunya Ardi - membantu Marni berdiri dengan cepat.

Abah mendekat.

"Kami akan bersaksi bahwa kamu membela diri demi melindungi Kakak dan Ibumu. Kamu tetap akan dipenjara, tapi setidaknya hukumanmu tidak berat," ujar Abah.

"Saya sudah mencoba menahan diri selama ini..., bahkan membiarkan Teteh dibawa oleh A' Ardi..., tapi dia tetap tidak berubah juga, dia tetap suka menyiksa Ibu," ungkap Rahman.

"Maafin aku Man..., maaf..., aku nggak bisa lindungin kamu," sesal Risya.

"Sudah seharusnya Teteh pergi, saya nggak nyalahin Teteh," balas Rahman.

Pihak kepolisian datang dan segera mengurus jasad Ilyas. Rahman dibawa ke kantor Polisi dan diproses secara hukum yang sah.

Risya memeluk Marni.

"Ibu ikut sama Risya ya..., jangan tinggal di sini lagi. Jangan ingat-ingat lagi masa lalu...," bujuk Risya.

"Iya Bu..., Ibu bisa tinggal sama kami berdua. Kami yang akan mengurus Ibu mulai dari sekarang," tambah Ardi.

"Adikmu Ris..., adikmu...," ratap Marni.

"Kita akan menengoknya setiap hari Bu..., kita bisa bawakan Rahman makanan dan mengurus kebutuhannya seperti biasa. Risya janji, Risya nggak akan menelantarkan Ibu dan Rahman begitu saja..., Insya Allah," janji Risya.

Marni memeluk Risya dengan erat.

"Maaf karena Ibu nggak bisa melindungimu Nak..., maaf...," ujar Marni.

'Karena sejujurnya, Ibu tak punya daya apapun untuk melawan Bapakmu.'

* * *

Semerbak Wangi SURGAWI [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang