BAGIAN 6

12.9K 942 25
                                    

Pikirkan baik-baik, mana yang lebih sulit? Mengingat yang terlupakan atau melupakan yang ada diingatan?

* * *

TAK MUDAH

Salwa sering sekali melamun di mana pun ia berada, wanita itu bahkan jarang keluar kamar sejak Nilam dan Risya menerima telepon dari Isma.

Pikirannya terus saja berputar memikirkan setiap perkataan Isma yang diucapkan oleh wanita itu.

"Kamu itu perempuan jahannam yang hampir membunuh cucu dan menantuku!!!."

Salwa menyadari itu. Kesalahan terbesarnya ketika hatinya dibutakan oleh keinginan untuk memiliki Daniel yang nyata-nyata adalah milik Diva.

Semilir angin berhembus pelan menerpa wajahnya yang terbalut oleh niqob. Di kursi bawah pohon mangga depan masjid, ia mencoba untuk melupakan kata-kata Isma dengan susah payah.

"Melamun tidak akan menyelesaikan masalah Ukhti," ujar seorang pria dari balik pohon.

Salwa hendak berbalik.

"Jangan berbalik untuk melihat saya...," cegah pria itu, "..., wanita yang paling baik di mata Allah adalah wanita yang mampu menjaga pandangannya dari pria yang bukan mahromnya," jelasnya.

"Saya tidak akan berbalik, tenang saja," balas Salwa.

Mereka terdiam beberapa saat.

"Saya tahu, kamu merasa terasingkan oleh keluargamu sendiri. Saya juga pernah merasa begitu. Tapi terus memikirkannya bukanlah hal yang bisa menghadirkan jalan keluar."

Salwa terus mendengarkan dengan baik. Pria itu menengadahkan wajahnya ke arah langit.

"Dalam surat Muhammad ayat tiga puluh satu Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman, wa lanabluwannakum hatta na'lamal-mujaahidiina mingkum wash-shoobiriina wa nabluwa akhbaarokum. Artinya, dan sungguh, Kami benar-benar akan menguji kamu sehingga Kami mengetahui orang-orang yang benar-benar berjihad dan bersabar di antara kamu, dan akan Kami uji perihal kamu."

Pria itu tersenyum ke arah Salwa, meskipun Salwa tak bisa melihatnya.

"Allah menciptakan segala sesuatu di dunia ini dengan mengikut sertakan kekurangan di dalamnya. Tidak ada manusia yang sempurna, tidak ada manusia yang tidak berbuat kesalahan, dan tidak ada manusia yang butuh bimbingan. Semua serba kekurangan. Namun ada kalanya bagi kita untuk menutup semua kekurangan itu," jelas pria itu.

"Caranya?," tanya Salwa.

"Selalu mengingat Allah..., berdoa..., dan meyakini bahwa Dia akan selalu membantu kehidupan kita. Ukhti ingat kan, apa yang Akh Rasya sampaikan di majelis pertama yang Ukhti datangi di pesantren ini?," pria itu menjawab dan mengingatkan di saat yang bersamaan.

Salwa mengingatnya, ia bahkan mencatatnya di buku kecil yang Syifa berikan untuknya.

"Untuk mempertebal keimanan, ada beberapa hal yang bisa kita coba, Yang pertama adalah banyak-banyak mengingat Allah, yang kedua adalah instrospeksi diri, yang ketiga adalah jangan sampai kita ketinggalan amalan wajib, yang keempat yaitu perbanyak juga amalan sunnah, an yang kelima adalah Tadabur Qur'an. Ukhti bisa menjalankan semua itu..., saya yakin. Ukhti orang yang punya keinginan untuk mempelajari hal-hal baru, jadi untuk mengikuti lima hal tadi, pasti bukanlah hal yang sulit," saran pria itu.

Salwa merenungi apa yang pria itu katakan. Hatinya terasa lebih nyaman.

"Baiklah Ukhti..., saya pergi dulu, Assalamu'alaikum...," ujarnya.

"Wa'alaikum salam..., Akh...," Salwa baru ingat kalau dia tak pernah tahu nama-nama santri di pesantren itu.

"Ardi..., nama saya Ardi... ."

Salwa tersenyum dari balik niqob-nya.

"Syukron Akh Ardi, saya akan mengingat nasehat ini baik-baik," balas Salwa.

Ardi pun pergi menuju rumah pondok santri. Salwa menatap ke arah langit yang berwarna biru.

'Mengapa tidak dari dulu aku di kelilingi oleh orang-orang baik seperti mereka? Mengapa baru sekarang?.'

* * *

Ardi menutup pintu rumah pondok dan melihat Rasya yang sedang membaca Al-Qur'an. Firman baru saja keluar dari kamar ketika mereka berpapasan.

"Dari mana saja Akh?," tanya Firman.

"Habis mendakwah untuk orang galau Akh...," jawab Ardi, tingkah konyolnya kembali dalam sekejap.

"Memangnya ada, orang galau di pesantren ini selain kamu Akh?," tanya Rasya, yang sudah menyelesaikan bacaan Qur'annya.

Firman terkekeh sementara Ardi melempar sarung yang baru saja dilepasnya ke arah Rasya. Pria itu pun dengan sigap menangkap sarung tersebut sambil tertawa.

"Siapa orang galau yang mau menerima dakwahmu itu Akh?," tanya Firman.

"Ukhti Salwa..., dia melamun terus di kursi bawah pohon mangga depan masjid. Aku khawatir, makanya kuberi sedikit pencerahan," jawab Ardi, jujur.

"Memangnya dia galau kenapa? Apa dia masih memikirkan telepon dua hari yang lalu itu?," tanya Rasya.

"Bukankah sudah jelas..., siapa wanita di dunia ini yang mampu menahan rasa malu akibat caci maki? Wanita itu rapuh..., tidak akan ada wanita yang memiliki hati baja sehingga tidak terguncang ketika mendapat caci maki," jawab Firman.

"Ukhti Diva bahkan tidak pernah mengeluarkan suara tinggi kecuali dia sedang marah, dan pastinya itu adalah guncangan besar untuk Ukhti Salwa, karena sudah jelas Ukhti Diva tidak akan bicara sekasar itu padanya," ujar Ardi, menilai.

"Kalau begitu, kita harus bantu Ukhti Salwa agar mentalnya tidak jatuh. Kita harus membantu agar hatinya lebih kuat," usul Rasya.

Firman dan Ardi pun menyetujuinya.

* * *

Semerbak Wangi SURGAWI [SUDAH TERBIT]Where stories live. Discover now