BAGIAN 5

13.1K 1K 15
                                    

Jika kamu merasa punya Allah, maka janganlah menangisi urusan dunia.

* * *

SULITNYA

Drrrtttt..., drrrtttt..., drrrtttt...!!!

Getaran ponsel milik Salwa yang tergeletak di atas meja membuat Nilam dan Risya yang sedang memasak di dapur rumah Bu Nyai terkejut. Salwa sendiri sedang berada di kamar mandi.

Risya akhirnya menjawab telepon tersebut karena terpaksa.

"Halo, Assalamu'alaikum...," ujar Risya.

"Nggak perlu sok agamis kamu!!! Sudah keluar dari rumah ini masih saja membuat beban baru!!!," bentak Isma, kesal.

Risya merasa agak terkejut mendengar bentakan tersebut, ia menatap Nilam yang juga tengah menatapnya. Nilam merebut ponsel itu dan mengaktifkan loudspeaker ponsel tersebut.

"Apa sih maumu??? Susah sekali kamu pergi dari kehidupan anak dan menantuku!!! Kamu itu perempuan jahanam yang hampir membunuh cucu dan menantuku!!! Sadar kamu!!! Seharusnya kamu tidak perlu lagi hadir dalam kehidupan mereka!!!."

Isma masih saja membentak keras. Salwa sudah keluar sejak tadi dari kamar mandi, dan berdiri mematung di belakang Risya. Ria yang baru saja datang pun ikut-ikutan terdiam mendengar caci maki dari Isma.

"Kenapa kamu diam saja??? Merasa sok suci kamu???," lanjut Isma.

Nilam meletakkan sendok sayur dengan geram ke atas meja. Salwa hendak meraih ponselnya namun dicegah oleh Risya.

"Maaf ya Bu..., saya bukan Ukhti Salwa, dia sedang ada urusan di kamar mandi. Saya Nilam, teman serumahnya. Ibu seharusnya menjawab sapaan salam saya dengan baik, bukannya membentak-bentak tidak jelas seperti ini..., apa Ibu tidak merasa malu dengan perbuatan Ibu yang mencaci maki seseorang yang nyata-nyata ingin merubah jalan hidupnya??? Apa Ibu tidak malu kepada menantu Ibu yang bahkan tidak berani membunuh seekor semut??? Apakah dengan cara seperti ini Ibu berharap agar menjadi panutan yang baik untuk cucu-cucu Ibu???," tanya Nilam, pelan namun menusuk.

Isma terpaku di tempatnya ketika mendapat balasan seperti itu. Sementara Salwa diam-diam sudah terisak sejak tadi di pelukan Risya.

"Apa Ibu tidak berpikir dua kali sebelum mencaci maki Ukhti Salwa??? Apa yang akan Ibu katakan pada Ukhti Diva dan Akh Daniel jika seandainya mereka mengetahui apa yang Ibu perbuat??? Apakah Ibu juga tidak akan merasa malu jika kedua cucu Ibu tahu bahwa Nenek yang selama ini menjadi panutan mereka ternyata lebih dari mampu untuk menyakiti Bibi mereka??? Apakah Ibu sudah memikirkannya???."

Kedua tangan Isma bergetar hebat, sama dengan hatinya yang ikut terguncang setelah mendengar pertanyaan-pertanyaan dari Nilam.

"Ingat satu hal Bu..., Allah akan selalu membalas perbuatan buruk setiap manusia di muka bumi ini dengan cara yang paling adil. Ukhti Salwa sudah pernah berada di dalam penjara selama empat tahun. Apakah itu tidak cukup untuk menghukumnya??? Ibu mengatakan bahwa dia adalah perempuan jahanam??? Sekarang pikirkan baik-baik, siapa yang jahanam saat ini!!! Ukhti Salwa yang sedang berusaha memperbaiki dirinya, atau Ibu..., yang mencaci maki dia dengan kata-kata kasar!!!."

Nilam menutup telepon itu tanpa mengucapkan salam terlebih dulu. Ia menatap ke arah Risya, Ria, dan Salwa yang masih menangis.

"Tidak pantas saya mengucapkan salam pada manusia yang hatinya dipenuhi oleh Iblis..., jadi jangan bertanya kenapa saya tidak mengucap salam sebelum tutup telepon," jelas Nilam, tegas.

Bu Nyai meremas pundak Nilam dengan lembut dari arah belakang. Beliau tersenyum ketika Nilam berbalik dan menatapnya.

"Inilah yang paling saya suka dari sifatmu yang tegas, Ukhti Nilam..., kamu selalu tahu bagaimana cara membalas sesuatu dengan benar tanpa menyakiti orang lain," ujar Bu Nyai.

Nilam melihat ke arah pintu, di mana Abah, Zahra, dan beberapa orang santri yang sedang membantu Abah berdiri di sana menatap ke arahnya.

"Setiap orang punya masa lalu Bu, dan manusia tidak berhak untuk menghakimi. Begitupula dengan Ukhti Salwa, saya tidak mau ada satu orang pun yang menghakimi dia seakan-akan dia adalah wanita paling kotor di dunia. Dia tidak berhak mendapat perlakuan buruk seperti itu!," jelas Nilam.

Bu Nyai menganggukan kepalanya, pertanda bahwa ia mengerti tentang apa yang Nilam maksud. Ia pun memeluk Nilam agar emosinya mereda.

Nilam segera mendekat pada Salwa. Niqob yang dikenakan oleh wanita itu sudah basah oleh airmata yang tak kunjung berhenti.

"Berhentilah menangis Ukhti..., apa yang dikatakan Bu Isma bukanlah hal yang patut untuk kamu tangisi. Allah itu Maha Tahu, Allah juga lah yang menilai setiap perbuatan manusia. Jadi, tidak perlu menangis. Anggaplah ini adalah cobaan dari Allah dalam proses perbaikan diri yang sedang Ukhti jalani," saran Nilam.

Salwa menganggukan kepalanya. Ria mendekat dan merangkulnya.

"Ayo Ukhti..., kita mengambil air wudhu agar hati Ukhti Salwa menjadi lebih tenang," ajak Ria.

"Iya...," jawab Salwa.

'Aku lega..., kamu tidak sendiri. Mereka mendukungmu. Aku juga... .'

* * *

Semerbak Wangi SURGAWI [SUDAH TERBIT]Where stories live. Discover now