BAGIAN 3

15.5K 1.1K 27
                                    

Menutup aib orang lain sangatlah dianjurkan dalam ajaran Islam, begitupula dengan menutup aib diri sendiri.

* * *

JUJUR

Ardi memperhatikan Firman yang sejak tadi membaca kitabnya namun pandangannya tak terarah pada kitab itu.

Ia memberi tanda pada Rasya untuk ikut memperhatikan pria itu.

"Ada hal apa kira-kira yang dia pikirkan, hingga Akh Firman terus seperti itu selama beberapa hari ini?," tanya Ardi, dengan suara pelan.

"Aku nggak berani tanya Akh Ardi..., Akh Firman itu bukanlah Akh Salman yang selalu terbuka pada siapa saja tentang masalahnya," jawab Rasya, tak kalah pelan.

Firman meletakkan kitabnya di lemari dan bergegas keluar dari rumah pondok santri tanpa berpamitan terlebih dahulu pada Rasya maupun Ardi.

Ia berjalan cepat menuju rumah milik Abah. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, dan ia merasa tak bisa tenang.

"Assalamu'alaikum...," ujar Firman ketika tiba di depan pagar rumah Abah.

"Wa'alaikum salam Akh Firman..., silahkan masuk," jawab Zahra.

Firman pun masuk ke dalam pekarangan rumah itu, Zahra masuk ke dalam rumah untuk memanggil Abah.

Abah keluar tak lama kemudian setelah Zahra memanggilnya. Firman langsung mencium tangan pria paruh baya yang selama ini menjadi panutannya itu.

"Assalamu'alaikum Abah...," ujar Firman.

"Wa'alaikum salam Akh Firman..., ada apa sampai kamu datang ke sini tiba-tiba?," tanya Abah.

Mereka berdua duduk di kursi yang telah tersedia di teras rumah Abah. Zahra datang dari dalam rumah dengan membawa dua cangkir teh hangat dan setoples cemilan.

Ketika Zahra kembali ke dalam rumah, barulah Firman kembali membuka percakapan dengan Abah.

"Begini Bah..., beberapa hari yang lalu saya mendengar pengakuan seseorang secara tidak sengaja, dan sejujurnya saya agak merasa terganggu dengan pengakuan itu," ujar Firman, menjelaskan.

Abah menatap Firman dengan serius.

"Pengakuan seperti apa yang kamu dengar Akh? Dan siapa yang membuat pengakuan itu?," tanya Abah lagi.

Firman terdiam sesaat, dari satu sisi ia tak mau memberitahu Abah tentang siapa orangnya, namun di sisi lain, Abah tidak akan mempercayainya jika tak mengatakan siapa orangnya.

"Orang itu..., adalah..., Ukhti Salwa Bah... ."

Abah mengangguk-anggukan kepalanya, pertanda bahwa ia mengerti.

"Lalu, pengakuan macam apa yang membuat Akh agak terganggu?."

Firman menarik nafas sesaat.

"Saya mendengar Ukhti Salwa mengakui, bahwa dia berbohong kepada Abah dan Bu Nyai mengenai alasannya tinggal di sini. Dia hanya ingin keluar dari rumah Ukhti Diva dan Akh Daniel, karena merasa tidak enak pada mertua Ukhti Diva yang selalu mencurigainya seakan dia akan kembali mengulangi kesalahannya di masa lalu," jawab Firman.

Abah tersenyum, Firman merasa bingung melihat hal tersebut. Pundaknya ditepuk beberapa kali oleh Abah.

"Kalau Akh Salman adalah santri yang paling peka dalam setiap urusan, maka beda hal nya dengan kamu. Kamu tidak peka dalam hal-hal seperti ini sehingga akhirnya terjadilah perang batin ketika kamu berusaha untuk menyembunyikannya," ujar Abah, memberi penilaian.

"Maksud Abah?," tanya Firman.

"Begini Akh..., saya dan Bu Nyai sudah tahu sejak awal kalau alasan yang digunakan oleh Ukhti Salwa adalah kebohongan. Hanya saja, kami tidak ingin memberi tahu siapa pun, karena hal itu hanya akan semakin membuat Ukhti Salwa kehilangan kepercayaan dirinya. Dia sedang dalam proses mengubah dirinya Akh..., maka sudah sewajarnya bagi kita semua untuk membantu, salah satu caranya adalah dengan tidak mengumbar apa yang menjadi rahasianya," jelas Abah secara detail.

Firman menundukkan kepalanya, ia menyesali pemikirannya yang sudah su'udzon terhadap apa yang Salwa lakukan.

"Saat ini, dia di kelilingi oleh para Akhwat yang shalehah. Insya Allah, dia akan segera menemukan jalan yang diridhai oleh Allah. Kita harus selalu mendo'akannya, mendukungnya, dan juga membantu dia untuk menutup masa lalunya," tambah Abah.

Firman pun menganggukan kepalanya, pertanda kalau ia telah mengerti tentang apa yang Abah katakan.

Usai bertemu dengan Abah, Firman bertemu dengan Rasya dan Ardi yang hendak menuju perpustakaan di pesantren itu. Mereka hendak mengembalikan kitab yang sudah mereka pinjam. Firman pun ikut dengan mereka.

Nilam menyusun beberapa kitab di tempatnya, sementara Ria memeriksa daftar peminjam buku selama sebulan terakhir.

Risya menuntun Salwa ke sebuah rak berisi kitab-kitab penting.

"Di rak ini, Ukhti bisa menemukan banyak kitab penting yang biasa kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari, jadi..., Ukhti lihat-lihat saja dulu dan baca jika ada yang menarik bagi Ukhti," saran Risya.

Salwa tersenyum.

"Seperti inikah kehidupanmu selama berada di sini, Diva? Aku bersumpah..., berada di sini adalah keputusan terbaik yang pernah kulakukan dalam hidupku," batin Salwa.

Salwa mengikuti saran Risya dan melihat satu persatu judul buku yang berjajar rapi di rak itu. Matanya begitu menikmati setiap judul yang ia baca.

"Ukhti..., menurut Ukhti kitab apa yang paling bagus untuk saya baca terlebih dulu?," tanya Salwa, yang mengira bahwa Risya masih ada di sampingnya.

"Bacalah yang ini...," suara seorang pria menyentakkan Salwa yang masih berdiri di tempatnya.

Ia tak berani berbalik untuk melihat siapa orang itu. Sebuah buku berwarna biru muda terulur di samping lengan Salwa.

"Ini adalah kitab paling dasar yang bisa dipelajari dengan mudah oleh wanita. Isinya tidak terlalu berat, dan mudah untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari," ujar pria tersebut.

Salwa menerimanya dan membaca judul buku itu sekilas. Fiqih Wanita. Pria itu pun pergi tanpa mengatakan apapun lagi. Salwa berbalik ke arahnya.

"Syukron...," ujar Salwa.

Pria itu tidak berbalik meskipun berhenti di tempatnya.

"Pelajari dengan baik Ukhti...," pesan pria itu.

"Ya..., saya akan mempelajarinya. Tapi..., bolehkah saya tahu siapa nama kamu?," tanya Salwa.

"Untuk apa?," pria itu balik bertanya.

"Untuk berterima kasih Akh..., jika suatu saat nanti saya benar-benar bisa merubah diri, saya tidak akan lupa pada orang yang menyarankan untuk membaca kitab ini," jawab Salwa, tegas.

Pria itu tersenyum meskipun Salwa tak dapat melihat senyumannya.

"Nama saya Tio...," jawabnya.

Pria itu benar-benar pergi. Salwa masih terdiam di tempatnya dan tersenyum di balik niqob-nya. Ia pun segera pergi menghampiri Risya, Ria, dan Nilam.

Tanpa mereka sadari, seseorang mengetahui apa yang baru saja terjadi di perpustakaan itu. Orang itu hanya terdiam di balik rak buku lain tanpa melakukan apapun.

'Mengapa harus orang lain yang menuntunmu? Mengapa bukan aku? Entah kenapa, aku ingin sekali jika dirimu hanya mengingatku. Bukan dia!.'

* * *

Semerbak Wangi SURGAWI [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang