Eleven berdecak sekali lagi sambil menatap Spade. Pengusaha itu membalasnya dengan senyuman miring tak bisa dibantah.

"Ayolah, itu demi kebaikanmu. Lagipula tidak ada salahnya kau berdandan. Aku yakin banyak wanita yang akan mengantri di depanmu." Dia kembali mengetik sesuatu dengan telepon selularnya. "Camelia, sekretarisku, sudah kupanggil. Kau bisa memakai ruang tidur tamu untuk menginterogasinya."

Spade berjalan menuju lorong dan membuka pintu pertama, menampakkan sebuah ruangan berinterior minimalis berisi lemari pakaian, tempat tidur king size dan sebuah meja rias beserta kaca. Dindingnya tergantung sebuah lukisan abstrak dan lampu-lampu berbentuk persegi yang berfungsi sebagai lampu tidur. Spade menyalakan lampu utama yang tergantung di tengah ruangan, sementara Eleven berjalan menuju sudut ruangan di mana ada sebuah meja tulis dan kursi. Selagi Eleven memindahkan kursi rias ke meja tulis, Spade sudah datang bersama seorang wanita berusia awal dua puluh dengan gaun selutut tanpa lengan berwarna hitam yang membalut ketat tubuhnya yang ideal. Rambutnya yang berwarna coklat tua disanggul anggun, menyisakan beberapa helai rambut menjuntai di bagian pipi. Wanita itu berjalan gugup ke arah Eleven yang bertanya-tanya bagaimana Spade bisa mengumpulkan gadis-gadis cantik di sekitarnya.

"Selamat datang, Camelia," ucap Spade sambil tersenyum lebar. "Aku berani janji, Eleven tidak akan menyakitimu lebih dari aku di tempat tidur kita."

Ucapan Spade membuat rona merah menjalar di pipi Camelia dan menbuat gadis itu tersenyum malu. Walau Eleven tidak senang metodenya, hal itu membuat Camelia lebih rileks.

"Silakan duduk, Ms. Windston."

"Lakukan seperti simulasi tadi dan kau akan baik-baik saja." Spade menepuk-nepuk bahu Camelia. "Oh, tenang saja, kami hanya berlatih agar dia tidak gugup. Camelia belum pernah berhadapan dengan polisi," tambah pria itu seakan menjawab pertanyaan di kepala Eleven sebelum berjalan keluar.

Wanita itu tersenyum dan mengangguk, tampak jauh lebih santai walau gerak tubuhnya masih kaku. Dia duduk di kursi berpunggung empuk warna putih gading sementara Eleven memilih duduk di kursi rias yang tidak memiliki sandaran. Polisi itu mengeluarkan catatan kecil dan pena.

"Tolong ceritakan bagaimana Anda bisa menerima koki dan pelayan yang hendak menembak Tuan Spade."

Camelia mengambil napas panjang. Dia memandang ke arah meja tulis dengan gelisah. Beberapa kali dia memandang ke arah Eleven membuat pria itu menyadari bahwa Camelia memiliki mata coklat yang cemerlang. Tingkahnya membuat sikap Eleven melunak. Dia sadar bahwa perawakannya yang besar membuat wanita itu tidak nyaman.

"Alan Faraday dan Charles Firlenn adalah dua karyawan yang kami terima sekitar seminggu lalu karena pekerja sebelumnya mengundurkan diri. Mereka melamar sebagai koki dan pelayan khusus untuk Tuan Spade." Camelia mulai berbicara. Pandangannya tetap jatuh pada meja tulis. "Mereka lolos semua tes dengan baik dan latar belakang mereka sudah diselidiki."

Eleven mencatat keterangan Camelia. Pikirannya mulai mengolah informasi yang sudah didapatkan. Proses penyusupan ini sudah berlangsung seminggu, berarti yang mengincar Spade jelas sudah menyiapkan rencana cadangan bila penembakan di kasino gagal. Hati Eleven berdebar menyadari kenyataan ini. Seseorang sangat menginginkan kematian Spade hingga merencanakan sedetil ini. Alasan yang diutarakan Spade sepertinya terlalu remeh bila nyawanya diincar hingga seperti ini.

"Alan Faraday memiliki pengalaman sebagai koki di hotel bintang lima." Suara Camelia menarik Eleven keluar dari pikirannya. "Jadi saya tidak curiga bahwa mereka adalah orang-orang yang mengincar Tuan Spade." Tubuh wanita itu bergetar menahan emosi. Matanya berkaca-kaca. "Sa-saya sama sekali tidak berharap Tuan Spade celaka," ucapnya dengan suara sarat emosi. "Dia membantu saya melunasi utang-utang ayah saya yang seorang pemabuk dan menerima saya di sini agar bisa mencicil pembayaran utang. Saya tidak mungkin mencelakai penolong saya."

Eleven menghela napas. Dia masih saja lemah dengan air mata perempuan. "Saya hanya mencatat keteranganmu. Bukan berarti bahwa kau merencanakan semua ini. Apakah ada hal lain yang kau tahu?" tanya Eleven dengan suara lembut.

Camelia berusaha menenangkan diri dan menghapus air mata dengan punggung tangan. Dia berusaha mengingat-ingat. "Sa-saya tidak tahu apakah ini berguna atau tidak, tapi saya pernah mendengar Faraday berbicara dengan seseorang yang dia panggil sebagai Tuan Moore." Camelia terdiam sejenak, berusaha untuk mengingat-ingat.

Tangan Eleven berhenti dari kegiatannya. Dia menanti wanita di hadapannya untuk berbicara. Entah bagaimana, dia tahu kalau ini akan menjadi sebuah gebrakan untuk pemecahan kasus ini. "Apa yang mereka bicarakan?"

Camelia menutup matanya, berusaha mengingat. "Saat itu, saya hanya mendengar sekilas, tapi saya merasa pernah mendengar namanya." Mata coklat Camelia yang berkilau menatap Eleven dengan tatapan penuh harap. "Apa ini bisa membantu untuk menemukan siapa yang ingin membunuh Tuan Spade?"

"Mungkin."

Eleven kembali mencatat informasi itu sementara semangat merayap naik. Ingin sekali dia meloncat pergi dan langsung menghubungi Kelana untuk segera mencari tahu tentang Moore. Namun, Eleven memilih tetap tenang dan duduk pada tempatnya. Ada satu pertanyaan lagi yang harus dia tanyakan.

"Menurutmu, bagaimana Tuan Spade?"

Pertanyaan Eleven membuat Camelia tersentak. Gestur gelisahnya langsung lenyap, digantikan oleh sebuah senyum tulus. "Tuan Spade adalah orang yang luar biasa." Ada kilau kekaguman di matanya ketika wanita itu menyebutkan nama itu. "Dia sering mempekerjakan orang-orang yang kurang beruntung di masyarakat, seperti saya. Hampir sebagian pekerja di kompleks resort ini adalah orang-orang berasal dari wilayah kumuh seperti Doorey dan Brownsville."

Alis Eleven terangkat ketika mendengar pengakuan dari Camelia dan mencatatnya dalam buku kecil. Dia tidak menyangka Spade memiliki koneksi hingga ke dua wilayah terkumuh di kota Dallar. Doorey dan Brownsville yang terletak di bagian barat Dallar memiliki tingkat kejahatan tertinggi dari seluruh distrik dan merupakan sarang prostitusi dan geng narkoba. Gang-gang gelap berbau alkohol murahan bercampur keringat dan sampah. Sumpah serapah dan letusan senjata bersahutan bahkan di siang hari. Dia menggenggam pena erat-erat, nyaris mematahkan benda itu menjadi dua, ketika sebuah kenangan lama mencuat dalam ingatan. Eleven menghela napas dalam untuk mengendalikan diri.

"Apakah ada hal mencurigakan yang terjadi pada Spade akhir-akhir ini?" tanya Eleven dengan ketenangan air dalam.

"Dua minggu lalu," ucap Camelia sebelum matanya terbelalak kaget. Napasnya tertahan dan dia memandang Eleven dengan tegang. "Aku ingat di mana aku mendengar tentang Tuan Moore. Dia seorang pria tinggi berkulit hitam memakai setelan jas berwarna biru tua. Kepalanya botak dan rahangnya kotak. Dia datang setelah membuat janji, mengaku kalau dia punya penawaran bisnis untuk Tuan Spade." Camelia mengigit-gigit bibir bawahnya. "Aku yang mengatur pertemuannya, hanya lima belas menit. Waktu itu, dia keluar dari ruang pertemuan dengan wajah menahan marah dan tidak membalas ketika aku mengucapkan selamat jalan. Tuan Spade memberi pesan, bila Tuan Moore menelpon lagi, langsung disambungkan dengannya."

Camelia menyelesaikan ceritanya dengan tangan gemetar, sementara sebuah senyum muncul di wajah Eleven. Akhirnya, dia menemukan titik terang dari kasus ini. Jika dugaannya tepat, Moore adalah perwakilan dari keluarga mafia yang menginginkan nyawa Spade.

 Jika dugaannya tepat, Moore adalah perwakilan dari keluarga mafia yang menginginkan nyawa Spade

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Mohon maaf terlambat update :'D

Kesehatanku drop dan tekanan darahku turun drastis hingga aku hanya bisa terkapar tak berdaya tadi pagi. Untunglah malam ini kondisiku sudah jauh lebih baik.

Aku semakin semangat untuk melanjutkan kisah ini karena sudah ada titik terang dari siapa yang mengincar nyawa Spade hohoho

Sampai jumpa minggu depan!

[END] Eleven SpadeWhere stories live. Discover now