"Kenapa dia? Aku lebih memilih kau pergi dengan Giselle daripada dia" Ryan duduk membeku, mengganti saluran televisi tanpa tujuan.

"Seperti yang kubilang, sekalian. Tenang saja, darling, kami sudah membicarakannya dan setuju untuk menjadi teman" aku berjalan menghampirinya dan memeluknya. Kalau dia tidak setuju, aku tinggal membujuknya saja. Aku tidak pernah memakai embel-embel darling atau sweetheart, tapi aku ingin membuatnya senang saat ini.

"Tidak, kalau kau mau Uber atau bodyguard, aku akan bolos kerja dan menemanimu" tidak kusangka dia akan tetap menolak setelah aku membujuknya. Ayolah, apa yang kurang dari bujukkanku? Apa aku harus bertingkah layaknya wanita pelacur?

"Apa yang harus kulakukan supaya kau bilang iya?" aku merengek. Sebenarnya aku cukup tergoda untuk membiarkannya bolos kerja dan menemaniku tapi, aku hanya akan bersikap egois.

"Entahlah, mungkin kau harus mencoba lebih keras" dia mengeluarkan senyum menggodanya.

Apa persisnya yang dia mau? Kalau begini kan, aku tidak tahu bagaimana caranya...

"Katakan saja apa yang kau mau aku lakukan, akan kulakukan" aku menantang diriku sendiri untuk mengatakannya. Masalahnya, tidak ada yang tahu seberapa aneh hal yang akan dia minta.

"Kalau begitu, aku hanya mau kau pulang dengan selamat sebelum jam makan malam dan telepon aku setiap satu jam sekali" dia terlihat khawatir yang menurutku, sangat tidak biasa. Padahal dia bisa saja meminta yang aneh-aneh mumpung dia punya kesempatan.

"Kau yakin hanya itu?" aku berusaha meyakinkannya. Bukan artinya aku kecewa atau semacamnya. Jika hanya itu yang dia inginkan, aku malah merasa bersalah dan ingin memberinya lebih.

"Iya? Apalagi yang kuinginkan selain keselamatan kekasihku tersayang" dia mengelus kepalaku dengan lembut. Sialan, aku semakin merasa bersalah.

Aku segera memeluknya sebagai balasan kata-kata cintanya. Betapa aku sangat mencintai lelaki ini.

"Aku akan pulang lebih cepat dari jam makan malam dan meneleponmu setiap menitnya" balasku. Ryan hanya tertawa dan menganggapku berlebihan. Tapi seriusan, aku akan melakukannya hanya karena aku mencintainya.

Ryan sudah pergi bekerja, meninggalkanku dengan Darrel yang sedang bersiap-siap. Yang dapat kupikirkan sekarang hanyalah entah apa yang akan kukatakan saat melihat Christ depan mata. Kuharap suasananya tidak canggung atau aku tidak akan menikmatinya.

Setelah aku sudah siap dengan perlengkapan bayi Darrel, bunyi bel kamar kami berbunyi. Aku menarik napas sebentar kemudian melepaskannya, berusaha bersikap santai.

Sambil berjalan ke arah pintu untuk membukakannya, aku mengulur waktu untuk memikirkan sapaan apa yang harus kugunakan. "Hai Christ, kau datang lebih cepat" well, sebenarnya dia telat tiga puluh menit dan kurasa dia akan menganggapnya sebagai sindiran. Atau "Christ, kau tidak perlu menjemputku, kau tahu?" yang maksudku adalah menjemputku di depan hotel kamarku karena aku kan bisa ke lobby saja tapi dia akan berpikir kalau aku berniat mengusirnya.

Semua sapaan itu malah membuatku tambah stress dan tegang.

Aku langsung membuka pintu, masa bodoh dengan semua sapaan yang kupersiapkan, aku akan spontan saja.

"Hei, Christ--" well, bukan Christ lah yang tampak di depan pintu kamarku. Tetapi seorang lelaki yang tampan dengan model rambutnya yang bagus. Apa dia model iklan shampoo tersasar berpikir bahwa ini adalah studionya?

"Maaf, apa anda sedang mencari kamar lain?" tanyaku, bersikap sesopan mungkin.

"Maaf, kurasa ini adalah kamarnya Ryan. Apa aku salah kamar?" dia membalas, membuatku terkejut dengan suaranya yang terdengar halus. Tapi yang membuatku tambah terkejut adalah fakta bahwa dia kenal Ryan.

"Well yeah, bisa iya, bisa tidak. Dia selalu berpindah tempat seperti ikan salmon. Kau kenal dengannya?" tanyaku, sedikit merasa terintimidasi dengan tatapan matanya yang tajam.

"Kurasa aku lebih berhak bertanya, kau siapanya?" dia bertanya balik. Aku hanya tercengang mendengar pertanyaannya. Tidak kusangka aku akan bertemu orang asing yang menyeramkan di depan kamar hotelku. Aku lebih memilih berada dalam keadaan canggung dengan Christ sekarang.

Saat sedang berpikir dengan apa yang akan kukatakan, Darrel tiba-tiba menangis. Kurasa dia sedang tersangkut diantara tissue yang dimainkannya.

Aku bergegas mendapatkannya, membebaskannya dari tissue-tissue yang menjerat kakinya, sejenak melupakan lelaki menyeramkan itu.

Saat aku sudah berhasil membebaskan Darrel dan berbalik badan untuk kembali berbicara dengan pria aneh itu, aku dapat merasakan rasa sakit di tangan dan punggungku. Seketika aku sudah terbentur di dinding dengan pria aneh itu yang menatapku dengan tatapan paling menyeramkan yang pernah kulihat.

"Sekali lagi aku bertanya dengan sesopan mungkin, kau siapanya?! Apa kau istrinya?!" dia seperti sedang menahan amarahnya. Well, ini tidak bisa dibilang sopan sama sekali.

"Aku hanyalah pacarnya, dia bahkan belum melamarku" setidaknya aku berusaha untuk bersikap sopan dengan tidak membentaknya. Atau lebih tepatnya, aku terlalu takut untuk membentaknya.

"Lalu, bayi itu apa?" setelah dia mengatakannya, aku sekarang mengerti mengapa dia berpikiran bahwa aku istrinya.

"Well, cerita yang panjang. Tapi yang penting, aku bukan istrinya dan itu bukan anak yang terlahir dari ovumku dan sperma Ryan" aku menekankannya. Dia terdiam, dan segera melepasku. Walaupun nampaknya dia masih belum percaya.

"Dan sekarang, setelah semua perlakuan kasar yang kau lakukan terhadapku, kurasa aku berhak bertanya, kau ini siapa?" aku mengelus tangan ku yang terasa nyeri. Aku tidak yakin dia ini pemain iklan shampoo. Mungkin lebih tepatnya dia adalah pemain silat atau semacamnya, walaupun tidak cocok dengan wajah tampannya.

"Aku Renaldo Edward, adiknya Ryan"

****
Baru kelar UAS nih hehe.. jadi baru update sekarang, padahal janjinya kemaren kemaren. Tapi, libur tlah tiba dan author bisa update sebanyak yang author mau yayy!!

Found The Baby & YouWhere stories live. Discover now