Part 9

21.5K 1.2K 19
                                    

Diharapkan lagunya dimainkan krn akan lbh masuk dan ngena di bab ini
****
"Pertama-tama" ucapku langsung, "Aku ingin kau mengerti dan tidak bertanya-tanya setelahnya" tuntutku. Aku sangat tak ingin dia menanyakan lebih jauh dari yang kuceritakan. Karena hal ini seharusnya tidak diketahui oleh orang yang baru kukenal. Bahkan Audrey saja tidak tahu.

"Oke..." katanya. Aku menghela napas, bersiap-siap menjawab.

"Jadi, dulu ayahku adalah aktor dan aku serta ibuku selalu berfoto bersamanya. Namun, setelah ayah dan ibuku bercerai, aku jadi benci segala sesuatu yang berbau kamera dan paparazi. Mengerti?" aku menghentikan penjelasanku. Kurasa itu cukup singkat dan mudah dipahami, seharusnya dia sudah tak perlu bertanya lagi.

"Eh, kau benci aku?" tanyanya tiba-tiba. Aku mengedipkan kedua mataku, tak tahu kalau dia akan mengeluarkan pertanyaan itu. Apa dia tak punya pertanyaan yang lebih bagus lagi? Misalnya, "Apa kau alergi pada kamera?". Karena itu akan lebih mudah dijawab. Namum sekarang aku benar-benar tak tahu harus jawab apa.

"Urm... Aku tak tahu. Kurasa 50 persen ya dan 50 nya lagi tidak" jawabku akhirnya sambil mengangguk-angguk, meyakinkan jawabanku sendiri.

"Mana ada hal begitu" dia memutar bola matanya, "Ayolah! Jawab yang pasti dan aku takkan bertanya lagi"

Masalahnya adalah, aku memang tak tahu apa yang sebenarnya kurasakan tentangnya. Kau tahu kan perasaan dimana sebagian kau membencinya tapi sebagiannya lagi kau merasa bahwa orang itu adalah orang yg sungguh baik. Ini sungguh membingungkan.

"Kau tidak bisa memaksa orang yang kebingungan untuk menjawab! Lagipula aku kan sudah bilang kalau aku tak mau kau bertanya-tanya" tadi mungkin terdengar kasar tapi, aku memang tak suka ditanya begitu. Bukannya aku benci hanya saja, bisa-bisa aku sakit jantung kalau terus begini.

Ryan mengangguk mengerti, "Oke, sekarang yang penting kencan kita"

Selama perjalanan kami diam saja. Aku sendiri juga tak tahu harus membalas apa. Semua ini sungguh membingungkan. Aku menemukan bayi kemudian bertemu dengannya yang kemudian aku tinggal di rumahnya. Kuharap Tuhan melakukan sesuatu yang baik untuk nasibku nanti.

"Sudah sampai" suara Ryan membangunkanku dari lamunan. Bagus, sekarang aku masih tak tahu harus bicara apa.

"Dengar Lica, aku minta maaf, aku tak suka saja karena kau tidak pernah menunjukkan sedikit pun ekspresi yang menandakan perasaanmu. Kau bisa saja menangis disaat bahagia, tapi juga bisa tersenyum disaat sedih. Kau sulit diprediksi" aku langsung menoleh menghadapnya.

"K-kau tak seharusnya peduli" suaraku bergetar. Tak pernah ada yang bilang begitu padaku, bahkan Mom saja tak peduli apa aku sedang berbahagia atau bersedih.

"Aku peduli. Yang perlu kau lakukan hanyalah bercerita dan well, aku berjanji takkan bertanya seperti barusan lagi" dia mengelus pipiku. Tangannya yang agak kasar dan hangat membuat perutku rasanya menggelombang.

"Aku yakin kau takkan mau mendengarkan" tolong, jangan biarkan aku menangis.

Tangannya yang tadinya masih berada di pipiku, secara perlahan turun ke bibirku yang bergetar. Oh ikan lele, jangan bilang kalau dia menyadari aku nyaris menangis.

"Kau mau menangis?" sialan, sudah kuduga dia tahu. Ayolah Alis, teguhkan hatimu!

"Tidak. Walaupun aku menangis, kau akan tertawa"

"Apa kau gila? Seberapapun kejamnya aku, aku takkan tega begitu! Kalau kau mau menangis well, pelukah aku. Aku justru akan berbahagia kalau kau mau" tiba-tiba, aku jadi merasa kesal lagi. Oke, bilang saja aku tak kesal, tapi aku gemas dengan sifatnya yang masih sama saja.

Found The Baby & YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang