Bab 4

31.7K 1.6K 6
                                    

"Kau taruh tas nya di situ saja. Nanti aku yang antar ke kamar, sekarang, kau mau kamar yang mana? Terserah kau. Boleh juga di kamarku"

Oke, berani-beraninya dia menggodaku di saat seperti ini. Seharusnya dia menghiburku dengan cokelat panas atau sesuatu. Bukannya malah membicarakan hal mesum.

"Tidak, aku di gudang saja. Setelah itu aku akan menguncinya rapat-rapat dan kau tak boleh masuk" aku memicingkan mataku tajam kearahnya. Dia hanya cengengesan di sampingku seperti bocah ingusan.

"Ayolah sayang, tidak mungkin kan aku membiarkan tamu tidur di gudang yang jelas, memelihara tikus dan kecoak" dia mulai menarik tanganku. Benar juga, biasanya gudang identik dengan debu dan kecoak. Dan pokoknya, tidak jauh dengan tikus. Kenapa aku bisa lupa?

"Kalau kau menarikku ke kamarmu, akan kutinju wajahmu. Kemudian karirmu akan hancur dan tak akan ada perempuan yang akan mendekatimu dan kau tak akan berani menggoda wanita dan---" 

"Diam saja astaga!"

Kami berhenti di depan sebuah pintu berwarna putih dengan garis-garis emas indah. Kurasa ini kamarnya, maksudku, kamar yang akan menjadi kamarku untuk sementara. Bukan kamar dia. Oke, pikiranku mulai kacau. Aku tidak minum apa-apa kan?

"Ini apa?" tanyaku sambil menunjuk pintu dihadapanku.

"Itu pintu, sayangku. Astaga, kau sudah lulus belum sih?" aku memutar bola mataku. Memang sih kata-kataku yang aneh tapi, setidaknya dia tahu maksudku.

"Maksudku, ini kamar siapa?! Dan jangan panggil aku sayang. Apa yang akan dipikirkan Baby nanti"

"Berikan anak itu nama lain. Rasanya tak enak didengar" jadi dia mulai peduli tentang nama rupanya. Apa urusannya? Aku suka memanggil bayi ini dengan nama Baby. Memang sih terdengar agak, aneh.

"Kau tidak ada urusannya dengan hal ini. Lagipula, nama itukan lucu" bantahku tegas, masih bersikeras ingin menamainya Baby.

"Kau sadar gender bayi itu? Dia laki-laki! Apa yang akan dikatakan teman sekelasnya nanti" well, dia memang ada benarnya tapi, apa dia lupa sesuatu?

"Aku tak akan dengannya untuk waktu yang lama, hanya sampai aku menemukan ibunya. Dan disaat itu namanya pasti sudah lain lagi" ini terdengar agak menyedihkan. Walaupun baru saja dengan Baby sehari, aku sudah tak kuat melepaskannya.

"Dan kalau kau tak menemukan ibunya?" Ryan mengangkat sebelah alisnya. Aku hanya mampu terdiam. Benar juga, kemungkinan aku akan kesulitan menemukan ibunya dan suatu saat nanti aku pasti akan menyerah.

"Buka saja pintu kamarnya! Apa kau sengaja menghambatku?!" dia mengeluarkan cengiran bocahnya begitu aku menjerit kesal.

"Kupikir kau takkan sadar" dia mendorong pintu itu dari luar dan membukanya secara perlahan "Ini kamar istimewa. Kuharap kau tak merusaknya"

"Oh tenang saja, sayang. Aku akan mengobrak-abrik seprainya dan mengelupas kertas din—" suaraku terhenti begitu dia membuka pintunya lebar-lebar. Yang ada di pikiranku sekarang adalah, aku tak pernah melihat kamar seindah ini.

Dinding kamarnya berwarna biru cerah dan dihiasi dengan lukisan-lukisan indah yang dibingkai putih. Kasurnya berada di sisi sebelah kanan dengan seprainya yang berwarna putih, nampaknya terbuat dari sutera. Disebelah kiri kasur terdapat lemari kuno berwarna putih indah yang memiliki ukiran yang nampak menarik. Intinya, aku sangat menyukai kamar ini. Entah karena warnanya yang nampak sederhana atau apa.

"Ini kamar kakak perempuanku pada awalnya. Dia pindah ke Perancis untuk kuliah setahun yang lalu dan selalu berkunjung saat liburan. Kau menyukainya?" Ryan sudah berjalan mendahuluiku dan meletakkan koperku di dekat kasur. Aku hanya dapat berdiri tercengang di ambang pintu.

"Kau bercanda? Rasanya seperti seorang ayah yang mendekor ulang kamarku dengan segala warna kesukaanku" aku berjalan masuk dan mulai menelusuri meja kayunya, kasurnya yang lembut dan lukisan-lukisan di dinding.

"Kau suka warna biru muda dan putih?" tanyanya agak terkejut, "Tak kusangka seleramu sejelek selera kakakku"

"Well, aku sebenarnya tak pernah menyukai warna biru dan putih, Nenekku lah yang menyukai warna biru dan putih. Lalu, setelah nenekku meninggal entah mengapa, aku jadi menyukai warna biru dan putih. Rasanya seperti sedang berada di kamar nenek" jelasku. Suasana tiba-tiba menjadi tidak enak. Sudah kuduga seharusnya aku tidak menceritakannya. Keadaan seperti ini benar-benar membuatku merasa sesak dan menjadi tak enak juga.

"Maaf, maksudku, benar. Biru dan putih adalah kombinasi yang sederhana dan sempurna" katanya kemudian.

"Tak apa. Aku tahu laki-laki sepertimu tak pernah menyukai apapun" aku berjalan kearah kasur untuk meletakkan Baby yang mulai terlelap. 

"Aku suka dengan sesuatu saat ini. Memangnya kau pikir aku cowok tak normal?" katanya. Aku hanya tersenyum menantang. Rupanya dia menyukai sesuatu? Kupikir dia hanya lelaki mata keranjang yang hanya peduli dengan ketampanan, uang, dan kesenangan. Memang sih dia nampak lembut dan baik tapi dalamnya, buruk. 

"Apa itu? Boneka beruang?" godaku.

"Bukan. Aku sedang menyukai penata rambutku karena dia sangat berbakat" Ryan berkata dengan sombongnya, membuatku agak meringis.

"Sudahlah, aku tidak ingin Baby tidur dikasur denganku, itu sungguh berbahaya. Aku mau kau membeli keranjang tidur untuknya" Ryan langsung meringis tak suka begitu aku mengatakannya. Well, jangan bilang kalau aku suka memerintah tapi, dia lah yang memaksaku untuk tinggal di rumahnya sementara waktu. Cukup masuk akal kalau aku menyuruhnya membeli keranjang tidur.

"Kenapa tidak kau saja? Aku masih ada pekerjaan yang tertinggal karena harus mengantarmu ke rumah" sudah kuduga dia akan membantah. Aku memang tahu kalau dia masih ada pekerjaan tapi, tidak bisakah dia meninggalkannya sebentar untuk mampir ke toko bayi dan langsung asal mengambil keranjang tidur kemudian bekerja? Kurasa itu tidak sesulit kedengarannya, kecuali kalau kau harus mengantri untuk membayar.

"Kau kan bisa mampir sebentar" aku memutar bola mataku, "tidak usah yang bagus-bagus. Ambil saja apapun yang kau lihat pertama kali dan langsung bayar"

"Tidak semudah kau mengatakannya, sayang. Keranjang tidur bayi harus dipilih berdasarkan kualitasnya, apakah kuat atau tidak. Kau mau bayi itu terjatuh saat tidur karena keranjangnya roboh?" dia membuatku terdiam. Well, memang sih harus dipilih berdasarkan kualitasnya terlebih dahulu tapi, bukankah kalau yang dijual mudah roboh orang itu akan rugi?

"Well, setelah kau pulang bekerja juga boleh. Aku akan menunggu" aku tetap berpendirian keras dengan keputusanku. Dia menghembuskan napasnya lelah.

"Kau tahu pekerjaanku apa saja? Yang pertama, aku harus melakukan pemotretan untuk majalah Vogue, setelah itu aku harus mengecek ke perusahaanku apa saja yang mesti kutanda tangani dan biasanya itu mencapai sekitar 200 lembar yang harus kuperiksa. Ketiga aku harus mengisi acara televisi dan biasanya aku akan pulang pukul 5 pagi. Kau tahu? Aku hanya tidur sekitar tiga jam tiap harinya" jelasnya panjang lebar. Kuakui pekerjaannya memang sungguh banyak. Mendengarnya saja aku sudah pusing.

Well, aku tak mungkin menunggunya sampai pukul lima pagi. Aku juga punya rasa manusiawi. Tidak mungkin aku menyuruhnya untuk mencari toko bayi yang buka dua puluh empat jam disaat dia sudah kelelahan. Belum lagi aku mungkin juga membutuhkan bantuannya untuk memasang keranjang tidurnya.

Rasanya aku tak punya pilihan lain kecuali...

"Oke, biarkan aku ikut denganmu"

Found The Baby & YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang